Pasar Klewer, Tetap Eksis dengan Batik Solo
Oleh: Muthi’ah
*Artikel ini telah mendapat juara 2 di HMJM UNS tanggal, 21 Januari 2014
Modernisasi merupakan transformasi zaman tradisional kearah yang lebih
modern. Dengan adanya era modern, mendorong manusia agar lebih kreatif,
inovatif dan berwawasan luas. Sehingga dapat membawa pegaruh positif terhadap
kemajuan bangsa. Sementara itu, Kota Surakarta menjelma diri menjadi kota
modern. Keikutsertaan membuntuti kemajuan zaman membawa perubahan terhadap
perkembangan Kota Surakarta. Dengan memanfaatkan kacanggihan teknologi dan
mengolah sebaik-baiknya sumber daya yang tersedia.
Upaya Kota Surakarta mengikuti laju modernisasi memang membuahkan hasil.
Kota ini mampu menduduki peringkat kesepuluh terbesar di Indonesia. Bahkan, Solo
tetap mencintai tradisi budaya dan selalu menjaga sifat ramah dan sopan
santunnya.
Sementara itu, Pasar Klewer sebagai
saksi sejarah perkembangan Kota Solo ikut berperan terhadap eksistensi kota
ini. Dibuktikan dengan Batik Solo yang mendominasi pasar ini. Bahkan Pasar
Klewer menjadi populer dengan sebutan pasar batik terbesar dikawasan Indonesia.
Di sini barulah terjadi keseimbangan antara modernisasi dan budaya yang ada.
Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai tradisi. Oleh karena itu,
apa arti Kota Solo tanpa adanya Pasar Klewer?
Menelaah lebih detail mengenai Pasar
Klewer, pasar ini merupakan pasar batik yang identik dengan pasar tradisional.
Dengan tumbuhnya modernisasi sempat membuat pasar tradisional tersisih dengan
keberadaan supermarket. Sehingga keadaan inilah yang menyebabkan kegelisahan
dikalangan pedagang tradisional.
Keberadaan pasar modern merupakan goncangan sementara terhadap pasar
tradisional. Mengapa demikian? Bayangkan saja dengan produk kecantikan baru
yang mahal dengan menawarkan hasil yang baik dari pemakaiannya. Sebagai contoh,
kosmetik ini akan berpotensi memutihkan kulit. Sehingga orang-orang berdesakan
untuk membeli produk ini. Namun dengan harga yang mahal tak sedikit orang
berhenti berlangganan walaupun hasilnya memang nyata membuat kulit putih.
Sebagai hasil karya tangan manusia
batik menjadi salah satu barang yang tak sepantasnya ditawar. Ungkap Hatta
Rajasa (Dalam Abdul Hakim MS, dkk, 2012), Menko Perekonomian yang lahir pada 1953 di Palembang mengatakan. “Jangan pernah
menawar harga batik! Anda membeli batik itu tidak sekadar mengganti biaya kain,
bahan-bahan pewarna, malam dan cantingnya. Tetapi harus dihargai pula
desainnya, konsentrasi membuat karya seninya, tenaga kerjanya, energi
membuatnya, semangat dan ketekunannya. Itulah harga psikologis, harga
emosional, harga yang tidak bisa ditawar,” demikian ucap Hatta Rajasa pada
sebuah kesempatan.
Selain itu, beliau juga mengaku
memiliki seluruh motif batik tradisional. “Hampir semua motif batik tradisional
dari berbagai daerah, ada di lemari saya. Gaya Solo yang dominan dengan warna
sejuk, gelap dan coklat tua itu paling sering saya kenakan,” ujarnya.
Perjalanan hidup Nelson Mandela juga
membuktikan kecintaannya terhadap batik Indonesia. Almarhum mantan Presiden
Afrika Selatan ini telah lama melawan penyakit paru-paru yang diidapnya. Di
tengah kegalauan akan penyakit yang dideritanya, beliau sempat jatuh cinta
terhadap batik dan berjasa memperkenalkan batik Indonesia di kancah
Internasional.
Tradisi merupakan ciri bangsa.
Banyak cara untuk mengembangkan tradisi Indonesia sebagai bekal kesuksesan
bangsa. Jangan sampai Indonesia kehilangan satu per satu budayanya akibat
terhipnotis dengan adanya kemajuan zaman. Apalagi harus mengatakan bahwa
tradisi dan kebudayaan Indonesia semakin ngenes (memprihatinkan)! Jadi,
manfaatkan modernisasi untuk tradisi dan budaya bangsa. Sebagaimana asal
terbentuknya nama Pasar Klewer. Biarkan batik Indonesia tetap nglawer
hingga kekancah internasional.
Daftar Pustaka
MS, Abdul
Hakim, dkk. 2012. HR Harapan Rakyat Catatan dan Opini Blogger, Jakarta : DCSC
Publishing.
Komentar
Posting Komentar