Kesaksian: Jika Dia adalah Aku
Aku tak pernah tahu mengapa ia memperlakukan ini padaku.
Ia
melakukan sebuah hal seperti apa yang aku buat.
Ia
menginovasikan karya seni yang pernah aku ajarkan.
Bahkan
dia mampu menciptakan karya yang lebih menakjubkan dari siswa-siswiku yang
secara khusus aku istimewakan.
Apakah
hal ini akan terjadi tanpa sebab? Sedangkan goresan penanya kini melayang
ditanganku.
Tertera
kata-kata, ucapan terimakasih dengan bingkisan istimewa yang ia hadiahkan
khusus untukku.
Justru,
sekarang aku sedang memikirkannya dengan sedikit rasa yang membuatku ingin
mengulang kejadian yang lalu. Tentu dengan keadaan yang lebih baik “baginya”.
Ya,
tidak ada satu hal pun yang mampu kupikirkan. Hanya seorang dia, entah harus
kusebut apa dia sekarang.
Dahulu, dia selalu diam ketika aku
menjelaskan banyak hal tentang ilmu pengetahuan. Tak pernah sedikit rasa untuk
hanya bertanya, “Apakah kau mengerti apa yang aku jelaskan tadi?” Karena aku
tak suka dengan sikapnya terhadapku. Lagi-lagi hanya diam, selebihnya mengangguk
tanda paham. Walaupun rasanya memang tak meyakinkan selain memasang tampang
sadar, mengikuti teman yang lain tanpa basa-basi. Namun pada akhirnya aku
putuskan untuk berhenti memikirkannya. Entahlah, jika ia paham maka kusebut
sebagai ‘keajaiban’. Begitu saja pikirku.
Bagaimana mungkin hal yang tak
pernah ia bayangkan akan terjadi padanya tanpa sepengetahuan? Tanpa terduga?
Bahkan datang tiba-tiba, dengan tak disangka-sangka?
“Mungkin!”
tegasku.
Sebait cerita yang tak pernah
kubayangkan akan kutulis menjadi sebuah kenyataan, kini ku tulis juga. Deretan
aksara yang kuciptakan ketika purnama hidupku menghias gulita, sedang raga
masih tersandar dibawah gugusan bintang-bintang. Aku masih berkedip bersama
keindahan malam, sedang yang lain terjaga dalam ‘mimpi’ panjangnya. Entah
cerita seunik apa yang mereka impikan, hanya saja hal itu ‘hanya mimpi’. Ya,
sebuah hal yang tak akan mungkin menjadi realita kehidupan.
Jiwaku yang malang, seperti
keindahan malam yang tak sempat mendapat tempat istimewa untuk sekedar bermain
dengan jiwa yang tenang. Aku hanya berdialog dengan sepi. Karena aku tahu,
kesepian mampu membawaku untuk kembali berbincang-bincang tentang keadaan
diriku. Kehidupan ini yang banyak membawa pertanyaan rumit bagiku. Ketika aku
tak sanggup menjawabnya, maka selalu kuingat bahwa manusia hidup dengan
kehidupan yang berbeda-beda. Termasuk diriku sendiri.
***
Melangkah beberapa lompatan
saja, berhasil membawaku untuk memikirkan bagaimana asal mula keadaanku. Yang
membawaku pada kiprah diri ini yang sempat terombang-ambing dengan keterbatasan
diri. Seperti makna kiasan yang telah aku paparkan di awal kisah ini, yang
mengantarkan seorang manusia untuk kembali berfikir bagaimana menyikapi hidup
dengan perannya masing-masing.
Tentulah tak asing lagi bilamana
guru memberikan pengajaran yang tepat, sehingga siswa-siswinya mampu menangkap
untuk diserap dalam ingatannya. Tetapi akankah hal itu terus berlanjut setiap
hari, sedangkan pendidikan bukan hanya masalah mereka mengerti atau tidak,
mampu mengerjakan ataupun tidak. Tapi usaha terbesar dari keberhasilan seorang
guru di sini yaitu ketika mampu membawa anak didiknya pada jalan yang
seharusnya ia tempuh. Ya! Bakat! Kemampuan yang mampu berkolaborasi dengan
minat untuk mampu menghasilkan sebuah keajaiban bagi siapa saja. Mengapa saya
bilang siapa saja? Ya, karena realita berkata demikian.
Sekitar 6 tahun sebelum aksara
ini kususun, seorang anak perempuan menciptakan sebuah keajaiban pada dirinya
sendiri. Setelah beberapa tahun menempuh pendidikan di Sekolah Dasar yang
menurutnya ‘susah untuk memperkenalkan siapa dirinya’. Dia tak sempat menjadi
salah satu diantara puluhan siswa untuk menunjukkan kebolehahnnya dalam bidang
yang secara kilas ia tak mampu untuk melakukannya, menurut pandangan orang lain.
Karena tak mungkin dipercaya bila tiba-tiba ia bisa berkoar-koar di depan
masyarakat luas, sedang sedikitpun lisannya tak biasa mengucapkan kata-kata.
Namun seperti yang kutegaskan
tadi. Semua bisa terjadi seolah bumi membalikkan segala kenyataan di dunia ini.
Mawar
kuncup suatu saat akan mekar begitu indah pada waktunya tiba.
Kupu-kupu
yang bermula dari ulat yang menjijikkan mampu terbang, mengitari luasnya alam
dengan sepasang sayap cantiknya.
Bahkan
manusia yang menentang apa yang tidak mereka sukai, kini menjadi keahlian
sebagai profesionalitasnya.
Bukankah
semua tanpa diduga-duga?
***
Perempuan kecil itu selalu
berharap akan terpilih menjadi siswi yang mewakili sekolah dalam sebuah
kompetisi. Namun karena ia diam dan dirasa tak mampu untuk menjadi perwakilan
sekolah, maka tak pernah sampai cita-cita itu hanya untuk sekedar membuktikan
sedikit kemampuannya. Hingga suatu saat seorang guru agama Islamnya mempercayakan
sebuah amanah untuk memberikan kesempatan padanya mengikuti perlombaan lukis
kaligrafi. Namun, bukan tanpa syarat untuk ikut dalam kompetisi ini. Gadis
kecil itu harus mengikuti babak seleksi di sekolahnya, bersama dengan
teman-teman yang lain. Sehingga, pada akhirnya ia mendapatkan peluang untuk
masuk menjadi perwakilan dalam lomba tersebut.
Menjelang hari yang ditunggu-tunggu
itu tiba, ia menegaskan kepada dirinya sendiri untuk tidak membuat kecewa. Berkali-kali
ia memupuk semangat yang menggebu untuk berbuat yang terbaik. Karena kesempatan
yang diberikan kepadanya belum tentu akan terulang kembali seperti saat itu.
Alhasil, perasaan khawatir yang
menghijab jiwanya seakan terbang terbawa semilir angin mengisi ruang itu.
Menyapa peserta yang dihinggapi rasa letih setelah beberapa jam mereka
menggoreskan karya terbaiknya pada sebuah kertas gambar berukuran 40x60. Namun
perempuan kecil ini dengan lihai memainkan pensil dan cat warna dengan lukisan
arab yang menakjubkan.
Pada akhirnya, Allah
mengijinkannya mendapatkan gelar terbaik dalam kompetisi tersebut. Sungguh
perasaan gembira mengembang dalam hatinya. Melepas penat yang ia korbankan demi
sebuah karya yang menarik para juri untuk diberikan apresiasi terbaik dari
peserta lain. Otomatis, pembinaan terus diadakan untuk melatih keterampilan
para juara ini agar mampu merail gelar juara terbaik di tingkat selanjutnya.
Sehingga tak ada pilihan lain untuk terus belajar melukis aksara arab dengan
bentuk yang unik, agar kembali mendapat perhatian di perlombaan berikutnya.
Namun ketika Allah memutuskan
untuk memberikan yang terbaik pada hambanya, meskipun berbagai langkah telah
ditempuh, tak ada yang mampu menggugat segala ketentuannya. Pada akhirnya, ia
tak bisa melanjutkan kompetisi berikutnya. Karena hanya mampu menyandang gelar
juara ketika sampai pada tingkatan kotamadya. Meski demikian yang terjadi, ia
memiliki pandangan bagaimana membentuk dirinya tanpa keluar dari apa yang telah
dikaruniakan Allah kepadanya. Kata yang selalu dia ingat, “Jika nuraniku
berkata maju, aku akan maju entah apapun hasilnya nanti. Karena aku yakin, tak
akan rugi untuk mengikuti berbagai kegiatan selama semua itu bernilai positif
dan bermanfaat.” Kemudian lanjutnya lagi, “aku ingin berhasil menaklukkan
diriku sendiri dengan cara yang aku buat sendiri. Maka bila aku ingin
mendapatkan kesuksesan yang aku impikan, cara terbaik yang kulakukan adalah
membiasakan diri untuk hidup dengan apa yang aku inginkan.” Begitulah
pemaparannya dalam sebuah naskah yang sempat ia tulis ketika lulus dari Sekolah
Dasar. “Aku hidup sebagai manuasia yang punya agama. Aku hidup dibawah aturan agamaku,
dan aku juga punya aturan untuk diriku sendiri. Selagi Allah ridho, maka tak
ada salahnya untuk tidak menghentikan langkahku.”
Sebingkis rasa yang entah
berkata apa saat keinginan sempat ia wujudkan. Meski hasil tak memungkinkan
untuk ia gapai dengan waktu dan pengalaman yang kurang memungkinkan pula. Namun
kebahagiaan untuk menjadi perwakilan sekolah sebelum ia lulus dari Sekolah
Dasarnya mampu ia dapatkan.
Disini bukan akhir yang membuat
ia berhenti menggali potensi dengan segala kemampuan sebagai “karunia Illahi”
baginya. Tetapi bagaimana ia melewati jalan itu agar sampai pada tujuan yang
selanjutnya, tanpa berhenti berkreasi. Hingga mungkin sampai pada waktunya
bahwa wajah mungil itu tak lagi seimut dulu. Tapi tetap, bahkan aku yakin bahwa
perempuan itu akan berada didepan orang-orang hebat, yang kemudian menyandang
namanya dengan harum. Mengukir sejarah kehidupannya, sebagai inspirasi bagi
calon orang-orang hebat hebat lainnya (kelak).
***
Siapa sangka ketika jasa seorang
guru dikenang oleh murid yang dia rasa bodoh baginya, ternyata kembali untuk
mengucapkan sebingkis ucapan terima kasih yang begitu tulus.
Meski
deretan kata-kata puitis yang menggoda hati untuk menikmati rangkaian
aksaranya,
Meskipun
seindah kata dari orang-orang tercinta bergemulai mengisi pendengarannya,
Tak
ada sedikit rasa bahagia melebihi rangkaian kata dari seorang anak didik yang
datang mengetuk pintu rumahnya, memberikan kabar tentang keberhasilannya, juga
rangkaian bunga sebagai simbol cinta terhadap segala jasa baiknya.
Sungguh
kebahagiaan yang cukup berarti dari sebuah petuah yang dia rasa hanya
biasa-biasa saja.
(bersambung...)
Komentar
Posting Komentar