Menikmati Indahnya Berproses
*Rilis pengalaman Lomba Resensi Buku Arpusda Kota Surakarta hingga mendapat Juara Harapan 2 tahun 2015.
“Seperti
‘mengulang’ masa lalu dalam ketakutan. Aku kembali ‘dipaksa’ oleh waktu untuk mempertanggungjawabkan
karyaku.”
Seperti yang tercantum dalam papan
pengumuman di Kantor Arpusda Surakarta, namaku masuk menjadi nominator 15 besar
dalam lomba Resensi Buku yang diadakannya. Begitu juga dengan dua orang
nominator lain yang namanya tak asing lagi di telingaku. Uniknya, kami memiliki
nomor peserta yang berurutan. Gilar Prasetio yang merupakan teman satu jurusan memiliki
nomor peserta 66, aku bernomor peserta 67, serta Pak Romi Febriyanto Saputro
bernomor peserta 68. Aku mengenal Pak Romi semenjak SMP ketika memberikan
pembinaan lomba menulis di Arpus Semarang. Beliau juga penulis bertaraf
nasional yang bekerja di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen. Nah, dari
Perpusda Sragen inilah aku mendapatkan info lomba yang di-share lewat
akun facebook miliknya.
Aku membiarkan waktu terus bergulir,
sampai tak terasa waktu deadline semakin dekat. Hingga muncul motivasi
untuk mengumpulkan niat bersamaan dengan pertemuan LKPM (Lembaga Kepenulisan
dan Penerbitan Mahasiswa) yang diagendakan di Arpusda Surakarta pada tanggal 11
September 2015 lalu. Di hari Jumat itulah, aku mendapat cukup informasi untuk
meyakinkan diriku lewat penuturan salah satu petugas perpustakaan. Sambil
memilah-milah buku yang tersedia untuk diresensi, beliau menjelaskan cukup
banyak informasi, terlebih tentang seluk-beluk perpustakaan.
Ketika petugas menyarankan untuk
mendaftar besok, akhirnya aku kembali lagi pada hari Senin, 14 September 2015.
Banyak calon peserta yang mendaftar menjadi anggota sebagai syarat wajib dan
meminjam buku untuk bahan resensi. Begitu pula denganku. Hingga sampailah
ditanganku sebuah buku yang berjudul “Aksentuasi Perpustakaan dan Pustakawan”
dengan tebal 405 halaman. Entah apa yang membuatku begitu yakin untuk
membawanya pulang. Yang terbesit dalam pikirku hanyalah inspirasi yang muncul
dari seorang pemustaka dan tentang tulisan serupa yang pernah kutulis yaitu
“Menulis, Kunci Mewujudkan Generasi Cerdas dan Mandiri.” Lebih dari itu, aku
yakin dengan pilihanku.
Tak dapat dipungkiri, H-2 sebelum
pendaftaran ditutup aku belum juga membaca buku tersebut bahkan meresensiya. Padahal
aku telah mengkopinya agar dapat kubaca sewaktu-waktu. Namun ada saja yang
menjadi kendala, hingga tak jarang mendekati deadline barulah kubuat
karya yang akan dilombakan. Ditambah lagi dengan ketidaktahuanku tentang “apa
itu resensi?”.
Aku mengambil solusi untuk segera
menyelesaikan bacaanku dan langsung membuat poin penting yang akan kutulis. Pada
beberapa halaman yang tak ku paham, ku tinggalkan begitu saja dengan harapan aku
dapat membacanya lain waktu. Kemudian mencari tahu berkenaan dengan pembuatan
resensi hingga aku memahaminya. Yang membuatku bimbang, bahwa sempat kutemukan
ungkapan “sebaiknya meresensi buku serumpun dengan latar pendidikan peresensi. Hal
ini akan menjadi penguat terhadap teori-teori yang akan diambil.” Namun ku
pikir, lebih baik berkarya sesuka diri kita, daripada enggan dan tak
menghasilkan apa-apa. Apalagi, tema perpustakaan akan menjadi universal ketika
dikaitkan dengan problematika minat baca.
Masih dengan sisa waktu satu hari,
tanggal 29 September aku berjanji pada diriku untuk turut serta dalam
perlombaan. Walaupun hanya mengikutinya, kuharap semangat menulisku kembali
menggelora. Dengan menjatuhkan fokus untuk membuat satu karya ini, aku
benar-benar harus membuang sejenak pikiranku terhadap tugas yang lain. Sedangkan
batinku terus berbisik untuk ikut! Ikut! Ikut! Yang membuatku semangat untuk
kembali berkarya walaupun sejelek apa pun hasilnya. Akhirnya, halaman demi
halaman terpenuhi dengan aksara yang mengalir entah dari mana. Allah membantuku
menyusun kata demi kata. Hingga batas maksimal 5 lembar mampu kuselesaikan di
hari itu juga.
30 Sepetember 2015 “BATAS PENDAFTARAN
DAN PENGUMPULAN KARYA”. Keesokan harinya, aku menyiapkan semua berkas. Mengingat
hasil resensiku belum juga di-print out sekaligus jadwal yang padat
karena setiap hari Rabu harus mengikuti empat mata kuliah. Maka kuputuskan
selesai sholat dhuhur, langsung ku-print berjumlah 3 rangkap sesuai
permintaan penyelenggara. Selanjutnya, aku berencana untuk mengumpulkannya
setelah pulang kuliah.
“Nikmatnya berproses,” pikirku. Hambatan
selalu datang menyapa setiap kali raga ini melangkahkan kakinya untuk maju. Ya,
aku harus berhenti di sebuah bengkel karena suatu alasan. Padahal, berkas yang
kubawa harus lekas dikirim sebelum panitia benar-benar menutup pendaftaran. Batinku
terkoyak, tapi aku tak dapat melakukan apa-apa. Sembari menunggu, dan sesekali
membuat seorang bapak terburu-buru dengan pekerjaannya.
Sekitar jam 16.30 WIB, aku telah
dinyatakan sebagai peserta lomba resensi. Seperti yang diharapkan peserta yang
lain, tentunya menjadi nominator adalah anganku juga. Namun yang kubisa hanyalah
bertawakal, sambil memohon sesuatu yang terbaik menurut-Nya. Usahaku sebagai
pengejar deadline mungkin tak sesempurna dengan mereka yang
mempersiapkan karyanya sejak lama. Sambil bertawakal, aku mencari info lomba
lainnya yang mungkin akan menggugah mood-ku untuk terus berproses.
Walaupun hanya mempresentasikan
karya sebagai pertanggungjawaban atas tulisanku, bagiku cukup membuatku teringat
peristiwa yang sempat membuatku terpuruk atas kegagalan saat menyampaikan
maksud terhadap karyaku. Ya, aku masuk nominator 15 besar kategori Perguruan
Tinggi dari peserta yang mungkin mencapai hampir 100 orang. Diantara nominator
tersebut, terdapat pula peserta dari UNS, ISI Surakarta, Universitas Terbuka,
UMS dan bahkan UGM. Aku mencoba memanfaatkan kesempatan ini untuk meyakinkan
kelayakan atas karyaku. Karena pada akhirnya hanya akan diambil 6 peserta
sebagai pemenang. Aku tidak banyak berharap, hanya berjanji kepada diriku bahwa
aku akan melakukan yang lebih baik daripada sebelumnya. Ibuku juga
meyakinkanku. Karena beliaulah yang sempat melihat perjuanganku dulu, dimana aku
gagal bicara waktu itu. Seirama dengan pengalaman itulah, aku mampu berpuisi. Membacakannya,
dan menghayati keindahan makna seperti aku menikmati setiap terjal dalam hidupku.
Setelah dinyatakan sebagai nominator
tanggal 12 Oktober, aku harus mempersiapkan diri untuk presentasi menjelang 3
hari ke depan. Tepatnya tanggal 15 yang kebetulan tidak ada jam kuliah waktu
itu. Namun karena sebuah amanah untuk nge-MC disebuah acara seminar pada hari
Rabu, akhirnya aku memampukan diri untuk fokus terhadap tugas yang lebih dulu
datang kepadaku. Barulah setelah tugas pertama sukses, aku mempersiapkan materi
pada Kamis pagi, sebelum tiba jam 13.00 WIB waktu presentasi kategori Perguruan
Tinggi.
Allah kembali menuntun lisanku untuk
berkata. Ketika nomor undi 2 jatuh kepadaku dan masuk ruang juri, segala
pertanyaan mampu terjawab dengan begitu meyakinkan. Kata-kata seolah tercecer
dan kupungut satu per satu untuk menjawab pertanyaan di hadapan ketiga juri. Mereka
bergantian memberikan pertanyaan terhadap karyaku berjudul “Kiprah Perpustakaan
sebagai Pondasi Masyarakat Informasi”. Mereka berasal dari latar belakang yang
berbeda, diantaranya; akademisi, budayawan dan pers. Setelah dirasa pertanyaan
cukup, seorang juri yang kukira dari golongan akademisi menahan argumenku dan
menyanggah terhadap kekurangan buku yang kutuliskan. Maka dengan yakin kujelaskan
maksud penulisanku dan sempat pula ku ambil buku asli dari resensi itu untuk
memperkuat argumen. Akhirnya beliau mengerti maksudku dan aku pun juga tahu di
bagian mana kekurangan tulisanku. Entah akan membuat nilaiku bertambah atau
berkurang, namun yang aku tahu bahwa aku telah berhasil mempresentasikan
karyaku dengan baik. Tentunya lebih baik dari yang lalu.
Setelah sepuluh hari berlalu, dengan
membawa angan untuk kami bertiga, aku terus meminta agar diberikan kesempatan
masuk kategori 6 besar. Dimana saat pengumuman pemenang aku mewakili diriku dan
juga 2 rekan yang kebetulan berhalangan hadir di sana. Sesampainya di parkiran
bersama dengan seorang teman, aku mendengar pengumuman pemenang kategori SMA sedang
dibacakan. Kami memutuskan untuk tetap berada di parkiran sembari mendengarkan
pengumuman pemenang kategori Perguruan Tinggi. Juara 1-3 telah dibacakan, dan
aku pun tak mengenal mereka. Yang aku tahu mereka mahasiswi UNS dan UGM.
Aku kembali mendengarkan pemenang
harapan, dan nama IAIN Surakarta pun disebut. Akhirnya terucaplah nama Gilar Prasetio
di sana. Aku pun bersyukur dan tetap menaruh harap untuk dapat menyusul
kemenangan Gilar. Namun tak terhitung menit, nama IAIN kembali disebutkan. Tanpa
mendengar kelanjutan pembacaannya aku yakin namaku yang akan disebut. Di
parkiran, aku dan temanku menebar suka cita. Aku tak mendengar juara harapan
ketiga. Setelah memasuki area penggung, aku menanyakan siapa pemilik juara
harapan ketiga. Ternyata terpampang jelas nama Pak Romi di sana. Akhirnya kami bertiga
kembali menduduki peringkat yang kebetulan juga berurutan. Alhamdulillah.. Unik
bukan?
NB: Karya hasil resensi dapat dibaca di link http://aksaramutiasenja.blogspot.co.id/2015/10/kiprah-perpustakaan-sebagai-pondasi.html#more
NB: Karya hasil resensi dapat dibaca di link http://aksaramutiasenja.blogspot.co.id/2015/10/kiprah-perpustakaan-sebagai-pondasi.html#more
Komentar
Posting Komentar