Kupu-kupu di Kamar Kakak

 [Cernak]



Oleh: Muthi’ah

*Karya ini pernah dikompetisikan dalam Lomba Penulisan Cerita Anak pada tanggal 12 Februari 2016 oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Solo Raya.

Sepulang sekolah siang itu, mataku kembali sembab. Langkahku langsung tertuju pada sebuah kamar dan menyembunyikan tangis rindu sendirian. Tak ada kebahagiaan yang ku rasakan semenjak ibu dan ayah meninggalkan kami untuk sementara.

Aku, Kak Ahmad dan seorang adik bernama Ida harus tinggal di rumah kakek dan nenek. Hal ini dikarenakan ibu akan melahirkan lagi adik kami yang merupakan anak ke-empat. Sehingga aku pun yang masih TK harus berangkat sekolah sendirian dan lebih mandiri untuk mengurus diriku sendiri.
            Untunglah selalu ada Kak Ahmad yang selalu mengajakku bermain agar aku dan adik dapat melupakan sejenak kerinduan kami. Walaupun ia masih kelas 2 SD, namun tanggung jawabnya untuk mengurus kami sangatlah memberi arti. Kak Ahmad selalu menemani kami dan menceritakan banyak hal yang belum kami ketahui. Hingga kami tertawa geli mendengar tingkahnya.
***
            Ibu pulang ke rumahnya. Dia membawa 2 adik laki-laki yang ternyata adalah kembar. Ya, aku memiliki adik kembar yang sangat menggemaskan.
            Namun kenyataan ini membuat kami dihadapkan dengan pertanyaan yang sulit oleh kakek, nenek, bahkan ibu dan ayah. Mereka semua memintaku dan Kak Ahmad untuk tinggal bersama kakek dan nenek agar meringankan beban orang tua.
            Aku menolaknya sambil berkata, “aku berjanji Bu, aku tidak akan minta dimandikan ibu lagi. Aku akan belajar sendiri dan membantu ibu menyapu halaman. Aku juga akan merawat adik bayi. Tapi aku mohon kepada Ibu dan Ayah untuk tidak meminta kami berpisah dengan adik.”
            Kakak terlihat sedih. Matanya seakan berlinang mendengar perkataanku. Tapi mengapa kakak hanya diam? Ia hanya memainkan jemarinya di samping tempat tidur adik kembar.
            Nenek berkata banyak pada kami untuk menjelaskan keadaan ibu dan ayah. Ia menceritakan semua hal untuk meyakinkan kami. Katanya, uang ayah akan habis untuk membelikan susu dan peralatan untuk adik kembar apalagi untuk membayar uang sekolahku dan kakak. Sehingga jika aku tinggal bersama kakek dan nenek, maka uang sekolah akan ditanggung olehnya. Ibu dan ayah tak perlu kerja keras memikirkan masa depan kami.
            Mendegar hal itu, aku berlari ke kamar dan tak terasa lagi bahwa aku tertidur bersama air mata yang masih membasahi pipi.
***
            Saat terbangun, aku memperhatikan semua ruangan rumah untuk memastikan bahwa kakek dan nenek telah pulang ke rumahnya. Ia tidak akan membujukku lagi. Sehingga aku memutuskan untuk bermain di kamar adik kembarku.
            Hingga selang beberapa jam, aku tersadar bahwa kakak telah pergi bersama kakek dan nenek di kampung.
***
Saat itu, sebuah keputusan nyaris membawa kita pada hal yang membuat kami tidak dapat lagi bermain bersama. Namun kenapa saat itu aku tidak bersedia untuk tetap tinggal bersama kakak?
Jarak tinggal kami memang tidak terlalu jauh. Namun bagi anak kecil seperti kami, jarak itu terlalu jauh untuk sekedar menawar rindu. Hingga aku harus menerima kenyataan bahwa kakak siap untuk "di adopsi" oleh kakek dan nenek. Sedang aku tidak sanggup untuk berpisah dengan ayah dan ibu, dan memutuskan untuk tetap tinggal.
Hampir setiap hari, aku hanya bermain sendiri, bebicara sendiri, seolah-olah ada kakak di sampingku. Aku tak lagi bisa bermain seperti biasanya. Bermain kelereng, menangkap belut di sawah, mencari buah talok, menjelajah kebun hanya untuk menangkap ulat putih menjijikkan di balik daun pisang, dan membuat tembak-tembakan dari bambu, lalu mencari belimbing dan timun kecil di rumah kosong seusai pulang sekolah. Bahkan bermain petak umpet yang membuat kami lupa mandi hingga adzan Magrib berkumandang. Dan masih banyak lagi hari-hari istimewa itu. Meskipun, tak luput dari omelan ayah dan ibu.
Yang aku tahu, kakak menjadi pendiam sekarang. Apakah mungkin bahwa kakak kecewa kepadaku karena aku menolak tinggal dengan kakek dan nenek? Apakah kakak tidak menyayangiku lagi seperti dulu?
***
Suatu hari, kami sekeluarga akan membawa adik berkunjung ke rumah kakek dan nenek di kampung. Aku sangat bahagia. Karena kesempatan ini akan mempertemukan aku dengan Kak Ahmad. Sehingga aku berencana untuk memberikan sesuatu untuknya.
Sesampainya di sana, aku bersalaman dengan orang tua ayah dan ibu. Kemudian kulangkahkan kaki dengan cepat menuju kamar kakak.
“Kak, Kak Ahmad keluarlah! Aku membawakan sesuatu untukmu!” pintaku dengan girang.
Namun, Kakak menjawab dengan keras “Jangan masuk!”
Aku pun kembali bersama ibu di beranda rumah tanpa menceritakan kepada ibu bahwa kakak tak memperbolehkanku masuk ke kamarnya. Aku hanya bisa menyembunyikan tangis sambil menundukkan kepala.
Tak lama kemudian, kakak keluar dan berjabat tangan sambil diciumi oleh ayah dan ibu. Dia terlihat sungkan dan menyimpan rindu dari raut wajahnya. Tanpa berkata, ia menarik lenganku dan mengajakku pergi bersamanya menuju kamar.
“Tunggu di sini,” pintanya. Dia pun masuk ke dalam kamar.
Ia keluar kembali dan berkata, “tutup matamu, masuk hati-hati,” sambil menuntunku, ia pun memintaku membuka mata.
Tak kusangka, banyak sekali kupu-kupu di kamar kakak. Aku sangat bahagia dan berteriak kegirangan. Kupu-kupu itu berterbangan mengelilingi kami berdua.
Hari itu merupakan pertama kalinya kakak memberikanku kejutan. Kata kakek, kebiasaan kakak setiap harinya menangkap kupu-kupu untuk ditaruhnya dikamar dan mengeluarkannya kembali. Dia lebih senang bermain dengan kupu-kupu. Daripada bermain dengan mainannya yang cukup banyak.
Aku mengerti, bahwa kakak seringkali mengajakku menangkap kupu-kupu. Karena itulah yang akan membuatnya senang. Ya, sama seperti yang sering kita lakukan ‘dulu’. Bahwa kasih sayang kakak, tidak akan pernah habis untukku.
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal