Alam pun Bercengkrama



Ketika sebuah pandangan jatuh pada lubang keputusasaan;
Jiwa bagai udang

Terbang dikedalaman

Melayang-layang

Lalu mati

Sedang titik api masih menyala pada tungku pengharapan.
Saat tetesan air hujan mengawan dan becengkrama dengan bebatuan, bahkan ketika keberadaannya harus melelehkan sebuah tawa dalam aliran air mata. 
Terputuslah sudah ikatan sejoli. 
Benda mati mengisyaratkan perlakuan manisnya.
Pada sepasang mata hati sang pemuda.
Meski miris. 
Bisu memanis. 

Dengarkan goyah langkah yang tertuju pada jiwa semu seorang manusia. Ia mengeluh. Kepasrahan lebih kuat menarik kebungkaman dalam sunyi. Raganya menyendiri. Serupa sepesang mata yang saling berpaling dari tempatnya berada.
Gesekan kecil membingkai gema pada bebatuan hingga parasnya terkikis. Sang pemuda pun lekas beranjak sambil melemparkan penat menggendong berat pasrah yang terbungkuk di pundaknya. Ia membaca sebuah tanda tanpa diminta. Rindunya memalingkan muka, pada ketabahan tentang hidup yang bukan hanya tanda tanya. Ia pun mengerti. Lekas kembali.
Aku lukiskan tentang rindu yang mendayu itu, seperti Rendra yang menggambarkan kerinduannya dengan “tungku tanpa api".

Sejak pertama kali matanya melihat dunia, tak sangka dunia melihatnya pula.

Membaca malam.  
*Tentang hujan dan seorang pemuda yang putus asa.
Kartasura, 18 Mei 2016.
19:08

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal