Membangun Fondasi Akhlak Sejak Dini

Oleh: Muthi’ah
*Telah dipublikasikan di Republika Edisi Minggu, 3 Juli 2016
           
            Serupa menulis sambil menutup muka karena malu. Bagaimana tidak, jika pembahasan ini menyangkut pemuda dan perannya dalam pendidikan. Artinya, sebuah pukulan dahsyat seolah tertuju kepada pelaku pendidikan yang ‘dipertanyakan’ tentang sumbangsihnya dalam mewujudkan kualitas pendidikan yang lebih baik. Sedangkan yang terjadi, status ‘pemuda’ yang semestinya tergambar berbudi luhur, gigih, serta bermental tangguh belum berjalan sesuai harapan.
            Tak dapat dipungkiri, problema pendidikan tak henti-hentinya muncul dari berbagai aspek. Kasus kejahatan, pembunuhan, pemerkosaan, kekerasan, turut menunjuk pendidikan sebagai salah satu faktor penyebabnya. Jika memang benar, kemerosotan pendidikan yang bukan hanya membawa predikat ‘buruk’, namun seolah menelanjangi pendidikan kita hingga benar-benar telah ‘telanjang’.
Realitanya, virus kebodohan lebih dahulu singgah di hati dan pikiran mereka. Bayangkan, maraknya fenomena pasca UAN, telah membuktikan betapa bobroknya pola pikir masyarakat terpelajar yang hanya mengandalkan kesenangan sesaat. Jika hal ini terjadi tanpa rasa berdosa, lalu apakah yang akan terlintas dipikirkannya untuk membangun bangsa? Sedangkan dirinya sendiri saja mereka biarkan ‘hanyut’ terbawa arus.
            Muhammad Quthb berkata, “Seorang anak yang rusak masih bisa menjadi baik selama ia pernah mendapatkan pengasuhan ibu yang baik. Sebaliknya, ibu yang rusak akhlaknya hanya akan melahirkan generasi yang rusak pula akhlaknya.” Dalam konteks ini, orangtua dan pendidik memiliki peran lebih terhadap pengasuhan anak sejak dini sebagai uswatun khasanah.
Berkaitan dengan pendidikan anak, potensi pun muncul dari dalam diri mereka. Q.S. Ar-Ra’d ayat 11 menyebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Hal ini merujuk pada kondisi dimana setiap manusia dibekali potensi sebagai kemampuan individualnya.
Usamah bin Zaid telah membuktikan ayat tersebut. Pemuda kecintaan Rasulullah ini pernah mendapat amanah sebagai pemimpin perang di usia 18 tahun. Hingga pada akhirnya, ia mendapatkan kemenangan menghadapi Romawi. Karakter pemuda semulia Usamah, tentu tak lepas dari hasil didik orangtuanya. Zaid bin Haritsah dan Ummu Aiman, mereka berdua adalah sosok yang dikasihi oleh Rasulullah. Sehingga perintah agama pun dilaksanakan dengan ikhlas, termasuk mengaplikasikannya dalam mendidik Usamah.

Sesungguhnya, anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Tergantung bagaimana orang tua mendidiknya. Dari sini terlihat jelas pengaruh besar orangtua dan pendidik sebagai pemicu berbakat terhadap kehidupan seorang anak. Pola pendidikan yang diterapkan dengan baik, maka akan menghasilkan ‘panen’ yang baik pula. Inilah yang akan menghantarkan generasi kita untuk andil dalam perjalanannya menuju pembangunan pendidikan Indonesia yang lebih baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal