Ketika Kami Melukis Cinta



Di malam yang sesunyi ini, mungkin ribuan bintang sedang memangku kekata untuk sejenak berdialog dengan awan. Mereka tak nampak, seperti malam-malam yang biasa kusebut lampu-lampu langit. Memancarkan sehinggap sinar untuk menemani serangga malam yang saling berbisik.

                Sedangkan malam ini, aku ingin menceritakan kepada malam yang senantiasa duduk menemaniku. Menungguku menuliskan kekata yang tersirat pada layar monitor yang seolah ingin memberikan seberkas cahayanya teruntuk mataku yang lelah. Meskipun aku pun tahu, ketika semua hal di sampingku kurasakan dengan gejolak cinta, maka rasa syukur selalu tercurah sebagai kedekatan yang bermakna.


                Menemani langkah hingga menginjakkan kakiku diperbukitan fana ini, bagiku sudah menjadi situasi yang harus aku jalani. Keharusan dan kemampuan untuk berdiri di atas kaki sendiri. Melewati langkah yang mungkin akan kembali pada nada yang seirama, suara yang sama, bahkan dentingan jarum jam yang tak bisa terlepas dari lingkup rotasinya. Berlalu, dan terkadang harus kembali untuk menengok masa lalu. Ya, meskipun hanya menoleh kebelakang untuk sementara saja.

                Oleh sebab itu, aku mengingat sebuah memori yang sempat lewat dalam lintas pikirku dan menyapaku dengan malu-malu. Ia seakan tersenyum, namun dihadapanku linang air mata kami seakan bercumbu. Masa lalu yang membuat aku dan adikku dapat belajar tentang sebait hidup dan kehidupan. Salah satu perjalanan cinta yang dilabuhkan ibu, sehingga berlayarlah kami dengan perahu-perahu doa pada setiap lantunan doanya. Hingga kami mampu mengeratkan jemari dan menyamakan langkah pada jalur yang sama.

                2 tahun yang lalu..
               
                Masa bahagia mugkin sempat terlukis dalam benak kami. Aku dan adikku, Fida. Sebuah peluang lomba melukis antar siswa se-kabupaten Sragen akan terlaksana demi memperingati Pekan Seni yang rutin diadakan setiap tahunnya.
               
                Seperti biasa, tak ragu kulangkahkan kaki dan berharap akan menggores sejarah indah untuk kembali berkompetisi dengan seorang Senja. Ya, perlu kuceritakan bahwa aku, adikku, Senja dan adiknya Senja, kami menyukai seni. Hingga tak ingin melewatkan kompetisi yang sampai waktunya untuk kita saling menghadiahi senyum kepada orang-orang tercinta.

                Pada kesempatan yang mungkin akan menjadi kenagan di penghujung putih abu-abu, aku berusaha sebaik mungkin untuk berpuisi di atas kertas dengan solilokui warna menghambur semesta putih menjelma rupa. Menjadi terbaik diantara keakuanku yang lalu, demi mengharapkan terbaik pula dari para seniman lainnya. Menjadi menang, untuk sebuah perbaikan.
               
Ya, aku mempelajari kekalahanku yang lalu. Di mana saat pertama kali jemari ini belum terampil memainkan warna, disitulah aku harus benar-benar akrab serupa cat dan air yang menyatu. Hingga tak terhitung waktu untuk senantiasa membujuk kekata agar hadir menjelma suasana di sebalik goresan warna.

                Aku dan adikku selalu memberi ruang untuk mengisi pikiran dengan saling memberi dukungan. Serasa jelas dalam doa yang terus berikrar dan genggaman tangan yang serasa semakin rekat. Hingga gejolak kami saling berirama pada lembar-lembar kertas yang menatap lelehan keringat di wajah kami. Keyakinan kuat pun tumbuh sebagai prinsip, “kita bisa saat kita sendiri. Bahkan harus lebih bisa ketika kita bersama.” Hingga nafas kami, jiwa kami, lelantun doa kami, serta cita yang tak pernah enggan untuk saling berbisik, “Kita bisa.”

                Menjelang perlombaan, sedikit kendala menghalangi jalan adikku. Persyaratan perihal surat tugas dari sekolah yang seharusnya ia dapat dari SMP tempatnya menuntut ilmu, tak bisa memberikan secarik kertas sebagai bukti keikutsertaannya. Entah karena alasan apa, kupikir tak ada guru yang tak bangga jika anak didiknya mampu berani tampil dengan keinginannya sendiri. Menampakkan apa yang ia mampu, serta berusaha menggali potensi. Hanya saja, alasan tak jelas itu sempat membuat adikku ragu. Ah, sebagai seorang kakak, aku tak bisa membiarkan usaha adikku gagal hanya dengan secarik kertas. Hingga aku berpikir, aku bisa membuatkannya untuk adikku.

                Sebuah pilihan kulontarkan padanya, “kamu memilih berhenti sampai di sini atau melanjutkan perjuangmu bersamaku?” tanyaku diantara lembar-lembar lukisan kami. Ia merasa ragu menjawabnya, tampak ketakutan untuk tidak mematuhi perintah guru. Ya, adikku bukan hanya gagal mendapatkan surat pengantar lomba, namun ia tidak diperbolehkan ikut. Alhasil, ini menjadi sebuah dilema bagi gadis seumurannya.

                Namun bujukanku untuk sedikit membangkang demi kebaikan pun kulakukan. Ia memilih melanjutkan langkah, melihat usahanya lumayan untuk dikompetisikan. Akhirnya, kenakalan kami membuat adikku membolos sekolah demi lomba, dan aku membuatkannya surat pengantar palsu, tanpa tanda tangan guru. Lagi-lagi ini semua kulakukan demi kebaikan. Semoga yang Maha Pemberi Inspirasi senantiasa mengampuni segala dosaku.

                Semangat kami semakin membara. Hingga sampailah jejak-jejak langkah di lokasi lomba. Kami sontak kaget melihat kehadiran Senja. Dia juga akan mengikuti kompetisi bersama dengan adiknya yang menjadi lawan adikku. Aku hanya bisa memberikannya kekuatan dan perihal penting sebagai bekal terakhir sebelum memasuki ruangan. Meyakinkan dia seolah menjadi kekuatan bagi jiwaku yang turut menyatu. Karena kami pun tahu, jiwa kami telah bersatu untuk saling memberi candu positif bahwa kami mampu.

                Tujuan utamaku saat itu merupakan salah satu dedoa yang selalu ku senandungkan. Bahwa untuk terakhir kalinya sebelum aku meninggalkan status “siswa”, aku ingin mengukir prestasi di ajang melukis seperti hari itu. Terlebih mampu meyakinkan diriku, bahwa aku mampu. Serupa Senja yang tak henti-hentinya berkarya dan seringkali mendapat juara di setiap lomba.

                Waktu semakin kikis. Begitu pula cat air kami yang lambat laun semakin habis. Sedangkan wewarna dilembar putih, kini menjadi berwarna layaknya sebuah puisi yang bercerita. Dalam ruangan yang berbeda, aku dan adikku saling melantunkan doa agar kami senantiasa diberikan kemudahan dari-Nya. Tak henti rasa harap semakin menebal didinding jiwa. Selesilah aku setelah adikku juga telah mrampungkan karyanya, dan segera menungguku di depan ruangan. Sungguh, senyuman kami saling bertemu, dan sama-sama menyiratkan rasa puas yang seolah bernapas.

                Ya, singkat saja. Penjurian, hingga pengumuman lomba itu benar-benar membawa kami pada dugaan yang begitu berarti. Pada tingkat cabang lukis SMP, adikku menduduki peringkat 1 lomba melukis putri, dan aku menempati peringkat yang sama pada cabang lomba tingkat SMA. Sedangkan Senja, ia menduduki peringkat yang sama pula dengan kami, sebagai juara 1 putra lukis SMA, dan adiknya Senja, menduduki peringkat 2 setelah adikku pada tingkat yang sama, SMP Putri. O ya, aku hampir lupa, sebelum lomba ini terlaksana, lomba melukis tingkat SD juga terlaksana sehari sebelum perlombaan tingkat SMP dan SMA. Dan adikku, Fauzan, ia menduduki peringkat 3 pada lomba yang sama dengan kami kategori putra. Alhamdulillah. Sungguh limpahan nikmat Allah yang datang kepada kami tak akan terlupakan begitu saja.

                Pada akhirnya, Pekan Seni 2014 membuat satu kebahagiaan lagi bagi seseorang yang tentu kami cintai. Ia berkali-kali mengucap syukur. Ketiga anaknya pulang dengan membawa piala yang menjelma senyum dibibir manisnya. Sungguh, inilah yang tak dapat ternilai harganya. Ibu tersenyum bangga padaku, pada adik-adikku, pada kami, anak-anaknya.


Sukowati dalam catatan sunyi. 
Sambil menyapa hari baru, 5 Agustus 2016.
Salam cintaku untuk segala pengisi hidupku. ^^


NB: Surat palsu tadi hanya sebagai syarat peserta. Sehingga tak menimbulkan masalah yang berarti. Hehehe..
Sedangkan aku, tanpa maksud yang lain, hanya ingin menjembatani adikku agar sampai pada tujuannya dalam berkarya. Selamat berjuang kembali untuk adik-adikku. Jika kita sudah terikat dalam satu jiwa, maka tanpa hadirku pun, kalian pasti menemukan jiwaku dalam dirimu yang akan terus memberi dukungan dalam setiap langkah kalian. Sungguh, aku sangat mencintai kalian, kakak dan keempat adikku.
Tiada dokumentasi dalam pengalaman berharga ini. Sebab, tak ada media untuk mengabadikannya. Semoga tetap mengabadi pada tiap-tiap hati kami. :D


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal