Politik Seni

Memang benar, jika hidup bukan perihal gampang. Melanjutkan roda jiwa hingga dianggap orang lain sebagai manusia yang "mampu" pun membutuhkan setebal-tebalnya alasan. Serupa ada sebalik latar belakang kehidupan yang turut dilirik. Ya, boleh kusebut politik seni, misalnya. Atau bahkan seluar biasanya seni berpolitik? Entah.

Aku kembali menemukan diriku berbincang dengan sanubari. Disaat-saat itulah mereka sedang asyik memainkan bolpen lalu mecoret-coretkannya di dinding jiwa. Sedang rasa menghamburkan segalanya mejadi puitis. Aku mulai kembali pada titik melankolis yang sangat menyentuh sisi "per(empu)an-ku". Begitu lembut.

Di situlah, datang menjemput aksara untuk kususun menjadi sebait doa. Agar kelak aku menemukan diri orang-orang pada setiap kekata yang kupasung. Begitu aku mendekat, perlahan ia jauh. Ketika politik itu kembali dimainkan pada aksaraku yang seakan "ingin" berlatih terbang. Mengepakkan sayapnya yang kaku bukanlah persoalan yang mudah. Ia amat sakit. Barangkali, itulah perjuangan.

Aku tahu, jika banyak orang mengenalku, pasti benarlah jika mereka akan dengan segan menuruti permintaanku. Meskipun dengan perasaan entah atau pekewuh yang membuncah. Tapi, kurasa tak masalah untuk sebuah "ikatan" yang sama. Tentu akan lebih legowo menerima segala inginnya.

Untuk sebait ungkapan atau kisah sepanjang usia, kekataku memang tak ada sempurnanya. Sebab telah kusimpan rasa utuhnya pada jiwa, napas, hati, jantung, dan segala penghuni yang "mati". Agar kau tahu, pada masanya kelak, yang abadi adalah rerimbun iman yang tak akan mampu tertulis serupa dengan omong kosongku, lembut bebaitmu, atau merdu lantunan puisi kita. Bukan!

Jika benar segala "abadiku" akan menembus lapisan yang melebihi berlipat-lipat agung "kefanaanmu", maka lihatlah pepohon yang kini mulai menampakkan aroma bunga.

Sragen, 7 Agustus 2016
~Mutia Senja

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal