Tiada Celah untuk Kalah!
*Esai ini telah dipublikasikan dalam rubrik Wacana di web http://www.iain-surakarta.ac.id/?p=5363
Masih terbingkai nuansa Le Nausee, dalam sajak Acep Zamzam Noor
sebagai salah satu puisi pilihan PEKSIMIDA Jawa Tengah di Universitas Muria
Kudus tanggal 27-28 Juli 2016 lalu. Aksara Acep bersyair, Jejak bulan telah
hapus/ Bumi tinggal rawa peradaban/ Kata-kata menjadi belantara nilai/ Tak
terbaca. Puisi ini mengisyaratkan tentang dunia yang carut-marut tanpa
bahasa. Maka akan tergambar layaknya kehidupan tanpa pedoman.
Sama halnya dengan sebuah fenomena hidup yang harus terus berjalan.
Meskipun terkadang perlu istirahat sejenak dan mengumpulkan perbekalan. Mungkin
juga harapan yang terkadang harus pupus sebagai humus yang menghidupkan
benih-benih kehidupan baru. Pada intinya, setiap perjalanan kehidupan
memerlukan pengorbanan yang terkadang harus merelakan harapan mulia sekalipun.
Namun sebagai insan berpedoman, tentu akan segera beranjak dari
puing-puing harapan yang musnah. Mengikuti kekata Helvy Tiana Rosa dalam Risalah
Cinta-nya, “Ketika kau masih bertemu pagi dan putuskan diri untuk berdiri
menghadapi, berjuang dengan hati di jalan Illahi maka saat itu kau telah
mengakhiri hari dengan satu lagi kemenangan sejati.”
Itu sebabnya, kegagalan bukan untuk disesali dengan kekecewaan yang
tiada henti. Karena selalu ada Pemberi Harap yang senantiasa menepati janji. Maka belajar dari kehidupan adalah
solusi. Sebab belajar kehidupan serupa belajar tentang kesabaran. Kedua-duanya
memiliki pengaplikasian yang tiada batas.
Mempelajari kekalahan, misalnya. Tentu
sebagian besar orang akan menganggap Si Kalah lebih buruk dari pemenang. Hal
ini dianggap biasa terjadi dalam sebuah kompetisi. Karena juri juga harus
berperan menentukan yang “terbaik” dari yang baik diantara para peserta.
Sehingga di sinilah akan terjadi penempatan posisi yang akan menduduki bangku
kelayakan atas hasil yang mereka usahakan. Maka pada kesimpulannya, ada yang
kalah serta ada pula yang menang.
Begitu pula bagi sebagian orang yang
lain, keputusan juri dianggap bijak. Karena telah memenuhi porsi penilaian yang
sama dengan yang ia pahami. Namun pada kenyataannya, banyak pula yang justru
menjatuhkan juri karena persepsi yang berbeda. Hal ini sering terjadi dalam
perlombaan seni. Seperti yang saya amati pada sebagian lomba yang terjadi
setelah PEKSIMIDA Jawa Tengah pada akhir Juli 2016 lalu.
Perdebatan batin muncul, sehingga menimbulkan gejolak negatif untuk
saling menghakimi, menyindir dan perbuatan lain yang tak sepantasnya dilakukan.
Tentu yang menjadi korban adalah pemangku kejuaraan itu sendiri. Dicari-cari
letak kesalahannya sebagai wujud penggugatan dan penolakan terhadap keputusan
juri. Itu sebabnya, tak jarang kita jumpai kompetisi yang menegaskan perihal
“keputusan juri mutlak dan tidak dapat diganggu gugat”. Maka benarlah ungkapan
Titon Rahmawan, bahwa kemenangan
sejati tidak akan pernah lahir dari tindakan kekerasan, unjuk kekuatan, ataupun
penindasan. Pemenang sejati adalah mereka yang memperoleh kejayaan tanpa harus
melakukan penghancuran, pertumpahan darah dan air mata.
Hal senada seakan
memutar ulang sebuah memori yang terjadi saat kompetisi Baca Puisi Festival
Seni di Universitas Negeri Yogyakarta pada bulan November 2015 lalu. Di mana
setiap kemenangan dan kekalahan haruslah di awali dengan persiapan untuk
menerima dan sabar terhadap perlakuan
orang-orang. Inilah tips sederhana, agar mampu mengendalikan emosi dan tetap
menjaga diri sebagai insan berbudi. Karena menaklukkan diri sendiri adalah
kemenangan yang paling akbar, imbuh Plato.
Pada akhirnya, salah
satu juri menawarkan pilihan kepada peserta yang lain untuk menjadi “matang
atau pecundang”. Karena pada hakikatnya penentu menang-kalah adalah diri kita
sendiri. Seperti yang kerap kali kita dengar, bahwa musuh terbesar adalah diri
sendiri. Artinya, kemenangan akan menghampiri setiap orang yang
bersungguh-sungguh dalam berusaha. Terlebih, mereka yang berusaha menjadi lebih
baik dari usahanya yang lalu. Dialah pemenang yang sesungguhnya.
Dalam novel berjudul 99 Cahaya di Langit Eropa, Hanum
Salsabiela Rais juga sepakat bahwa esensi sejarah
bukanlah hanya siapa yang menang dan siapa yang kalah. Lebih dari itu, siapa
yang lebih cepat belajar dari kemenangan dan kekalahan. Penulis yang mampu
memahami kehidupan sebagai pembelajaran, bahwa benar jika hidup bukan terletak
pada siapa yang lebih unggul diantara mereka. Tetapi dialah yang mampu memahami
dirinya terhadap tujuan hidup yang ingin dicapai. Maka kita akan kembali
mengingat letak keunikan manusia, bahwa setiap diri memiliki potensinya
masing-masing.
Putu Wijaya dalam puisinya Menang Tanpa Seorang pun Kalah (2014)
sebagai materi Lomba Baca Puisi 45 Tahun Teater Mandiri, September mendatang.
Dalam puisinya ia menulis, Melepas malam,
membelah kabut/ Aku pun menukik ke sanubari/ Walau hanya cahya kecil di atas
laut/ Tapi kapal telah bergerak ke langit untuk bermandi terang/ Dalam suci-Nya,
di situ waktu akan bangkit/ Lurus ke depan memotong cakrawala/ Tak ada gentar
menembus medan perang baru.
Pada akhirnya, kita tak akan moksa
untuk tetap mengikuti jejak yang digariskan Tuhan. Meskipun aral melintang dan
ombak hampir-hampir menghancurkan karang, tetaplah beranggapan bahwa kasih
sayang Tuhan masih tercurah pada tiap-tiap penciptaan. Tiada langkah terhenti
ketika raga masih mampu berdiri di atas kaki sendiri. Maka kita akan memahami
proses hidup sebagai pembelajaran bagi diri.
Motivasi yang membuat W.S. Rendra menuliskan
syairnya, “merenung seperti gunung, bergerak bagai ombak”. Merenung untuk
menciptakan gagasan laksana gunung-gunung, meski diam namun tetap kokoh dengan
aktivitas bara api di badannya. Sehingga ketika action, serupa ombak yang mampu menggapai bibir pantai di lautan.
Tetap bertahan pada komitmen hingga sampai pada cita-cita yang diinginkan.
Tujuan kita adalah melanjutkan perjalanan. Berusaha
menjadi pemenang dan sabar menerima kekalahan. Karena tidak akan ada kekalahan
jika semua orang terus berupaya menjadi pemenang bagi kehidupannya yang lalu.
Tidak ada alasan pula untuk tidak berusaha melakukan apa saja yang kita rasa
bisa. Selagi kegagalan pun masih menyimpan benih hikmah sebagai pembelajaran
hidup yang lebih mulia.
Komentar
Posting Komentar