Memori Temanggung; Liku-Liku Syahdu
Keluarga.
Segala yang hadir seperti embun yang menyejukkan. Serupa mentari pagi yang
menghangatkan. Serupa pundak yang menjadi tempat bersandar paling nyaman. Sejatinya
keluarga adalah mukjizat-mukjizat kecil yang dihadirkan Allah kepada hamba yang
mendamba cinta.
Aku ingin berada di antara
puisi-puisi yang basah. Menyeruakkan wewangian dapur aroma rempah racikan ibu. Dentingan
palu bertubi-tubi memenuhi relung hati saat sebuah pagar direnovasi, suara
serupa gamelan kecil seakan menyertai syahdunya hidup. Sepasang mata kecil
menatapku begitu ungu. Aku ingin seperti mimpi yang mereka harapakan
akan datang menjadi sebuah kenyataan. Aku ingin benar-benar hidup di hati
mereka tanpa seorang pun tahu dan bertanya perihal kita.
Oktober telah berlalu, bingkisan
memori masih menyeruak kalbu. Aku terjebak dalam liku-liku yang begitu syahdu. Bermain
cinta diantara indahnya panorama kecil di kebeningan mata. Terlihat sesosok
Ayah menyanyikan birama. Meneteskan embun cinta dikeheningan jiwa. Ia seakan
lelaki perkasa yang Tuhan kirimkan untuk menjadi pria tempatku mendamba cinta
yang semestinya. Anak kepada ayahnya.
Ketulusannya semakin terasa saat
kami bersama menapakkan kaki menuju kota Temanggung yang mendung. Sebuah hikayat
seakan tertuang menjadi angin-angin puisi yang menyertai langgah kami. Senandung
nada suci mengiramakan nadi tentang serpihan darah dan daging yang menjadi
saksi. Ya, bukan hanya tampak nyata. Namun ketulusan cintanya begitu berharga
jika hanya digoreskan pada kekataku yang beku.
Sepasang matanya seakan lelah. Namun
jiwanya mengatkan raga agar tetap bertahan pada kewajibannya memberi sepucuk
impian yang akan kulanjutkan disebaris kekata pada lembar-lembar yang selalu
mengisyaratkan makna. Aku mengikuti lomba menulis puisi Indonesia dan Jawa di Pendopo
Pengayoman Temanggung yang diadakan Balai Bahasa Jawa Tengah. Ribuan raga seakan ingin menggoreskan sejarah sebelum
habis sisa usia. Aku hanya sesekali memandangi mereka. Begitupun kepada seorang
Ayah yang tampak lelah meskipun lisannya tak pernah mengeluhkannya.
Ia ibarat bunga sepatu nan merah
merekah, yang ingin agar aku memetiknya dan menaruh dirinya disebalik rambut
dan daun telinga. Seperti semasa kecil, aku
melakukan hal yang sama di taman bunga kakek yang dirambatkannya bunga-bunga. Ia
serupa lelaki yang lebih tangguh dari lelaki manapun yang kutemui. Maka bila
cinta Kau sisakan untuk insan lelaki yang Kau punya, biarkanlah kucintai Ayah,
meski banyak kisahku yang menyisakan ulah.
Sepasang
mata ini masih memandangmu.
Tertanda,
aku yang selalu menjelma linang di antara kelopak matamu.
Maafkan aku,
Bapak.
Komentar
Posting Komentar