Peran Agama sebagai Jembatan Menuju Praksis Penyadaran
*Resensi ini telah masuk nominasi 15 besar dalam Lomba Resensi Buku Kategori Umum, yang diadakan oleh Arsip dan Perpustakaan Kota Surakarta tahun 2016.
Identitas Buku:
Judul :
Agama dan Politik Moral
Penulis :
Subhan Setowara dan Soimin
Penerbit :
Intrans Publishing
Cetakan :
Desember 2013
Tebal : xx
+ 178 halaman
ISBN :
978-979-3580-60-9
Kota Terbit :
Malang
“Agama adalah mata airnya optimisme dan harapan. Sudah
berulang kali saya katakan bahwa jika ada satu ayat saja dalam al-Quran yang
mengajarkan manusia akan pesimisme, tentu saya adalah orang yang pertama kali
akan pesimis. Nyatanya agama memang harus menjadi pembuka arus besar optimisme.”
Semacam
kritik diri (self-critique) seakan menjadi dampak yang kita rasakan
setelah melahap habis buku ini. Mungkin sama halnya yang dirasakan Ahmad
Syafi’i Ma’arif saat menulis prolog mengenai buku Agama dan Moral Politik ini.
Kita akan dibawa dalam alur pikir yang mengajak untuk “melepas kejenuhan”.
Membawa kepada sebentuk praksis penyadaran, pembebasan, dan perlawanan agar
tercapainya moralitas dalam pola hubungan manusia dengan alam, tepatnya
hubungan antara dunia manusia (human world) dan dunia alam (non-human
world) yang dibangun secara dikotomis.
Subhan
Setowara dan Soimin, kedua penulis buku Agama
dan Moral Politik hingga saat ini
berprofesi sebagai dosen. Jika diamati dari profil penulis, keduanya merupakan
aktifis Muhammadiyah yang memiliki harapan terwujudnya masyarakat bermuatan
moral-spiritual demi pencerahan peradaban. Terbukti dari pemaparannya yang
mengarah kepada praktik penyadaran karakter massa yang diungkapkan secara open minded.
Bukan
sekedar gambar. Ilustrasi sampul buku ini rupanya ingin menggambarkan keadaan
manusia yang jauh dari rasa nyaman. Seakan kebingungan dan kemiskinan
yang nampak. Sebab agama bukan lagi menjadi falsafah hidup untuk memperkaya rohani.
Sehingga pembahasan buku ini diawali dengan fenomena kemiskinan untuk
menunjukkan aksi perlawanan.
Kemiskinan
yang dimaksud dalam buku ini bukan saja berarti defisit ekonomi atau kondisi
termarjinalkan. Orang-orang yang mapan secara materi serta memiliki kebebasan
penuh dalam menentukan jalan hidupnya, bisa jadi miskin secara rohani. Ketika
terjadi proses pemiskinan, penindasan, pembunuhan, pemarjinalan, yang
sebenarnya terjadi adalah pemiskinan manusia atas manusia, penindasan manusia
atas manusia, pembunuhan manusia atas manusia, dan seterusnya. Maka para
penindas itu adalah orang-orang yang kaya secara materi namun miskin secara
rohani, hampa secara spiritual (hal 8).
Sehingga
penyebab utama krisis kemanusiaan adalah konsepsi teisme tradisional yang
menganggap Tuhan berada di atas langit. Jauh dari kehidupan dan sejarah umat
manusia. Tuhan, dalam konsepsi itu, dianggap sebagai: God out there atau outsider
God. Sebab jika mereka menganggap Tuhan berada di dekat manusia dan menjadi
penolong bagi mereka, mengapa manusia justru tega membunuh sesamanya? (hal 37).
Penulis menegaskan, agama mungkin hanya akan tampak anggun di atas langit. Dan
tatkala ajarannya itu turun ke bumi, agama tak lagi memiliki vitalitas (hal 67).
Agama tidak lagi menjadi instrument Ilahiyah
untuk menghayati kehadiran Tuhan (omnipresence
of God) dalam diri kita. Agama hanya bisa merambah pada aktvitas-aktivitas
simbolik serta formalisme agama yang tidak mengena pada titik substansi. Tentu
saja, itu berarti bahwa nilai-nilai normativitas agama mulai tercabut dari
akarnya (hal 66).
Krisis
kemanusian yang terjadi di muka bumi ini disebutkan oleh penulis, selalu
bermula dari pembusukan moralitas personal yang dilakukan oleh seorang manusia.
Sehingga ketika moral individu tidak berjalan sebagaimana mestinya, bagaimana
dengan keadaan moral publik? Sedangkan publik pun dibangun dari sekumpulan
individu. Maka fenomena inilah yang menjadi tugas kaum agamawan sebagai
pemegang tombak untuk mengadakan perbaikan moral. Namun realitanya, pemegang
tombak ini justru disibukkan dengan pentasnya di panggung perpolitikan.
Dengan percaya diri penulis menuliskan kritik
tentang gerakan politik rakyat dan kritik kekuasaan. Meskipun dalam bab 4
penulis nampak sungkan memaparkan pendapatnya, tapi pada akhirnya terungkaplah
gagasan yang tertuang di bab 5 sebagai hasil penulis memandang fenomena politik
bangsa kita. Sehingga pada bab 5 halaman 127-130 dibahas pula Membumikan Semangat Vox Populi Vox Dei yang
berarti “Suara Rakyat Suara Tuhan”. Setidaknya, itulah cara yang paling tepat
dilakukan ketika penguasa tidak lagi peka terhadap kondisi rakyat yang semakin
memprihatinkan. Selain untuk membebaskan rakyat dari realitas ketertindasan, hal itu
sekaligus agar para pemimpin kita tidak masuk dalam jebakan kekuasaan (trap
of power).
Uniknya,
buku Agama dan Politik Moral ini mengambil solusi terkait permasalahan kemanusiaan dengan
melibatkan kedua organisasi masyarakat (ormas) yang mendominasi di Indonesia.
Di antaranya Nadhlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai representasi gerakan
kultural. Dengan harapan, keduanya mampu mengubah moral politik masyarakat yang
damai demi terwujudnya kesejahteraan bersama.
Dalam bab 3, penulis menyampaikan pula tentang gerakan
kultural dan godaan kekuasaan. Disebutkan bahwa NU dan Muhammadiyah yang
dikenal paling “getol” melakukan gerakan kultural selalu tergoda untuk
berpartisipasi dalam politik praktis. Di luar NU dan Muhammadiyah, memang masih
terdapat organisasi lain yang juga concern dalam melakukan gerakan
kultural, di mana mereka lebih peduli pada pembenahan kesejahteraan sosial (social
welfare) masyarakat ketimbang ikut dalam politik praktis.
Ditegaskan kembali pend apatnya,
bahwa sekalipun NU dan Muhammadiyah akhirnya menjadikan kekuasaan sebagai
instrumen perjuangan, sebaiknya ada batas-batas normatif yang tetap menjadi
pegangan. Hal itu mutlak diperlukan, karena jika kedua ormas itu terlampaui
jauh terlibat dalam politik praktis, kita cemas masalah sosial dan kultural
masyarakat bisa terabaikan oleh godaan kekuasaan (hal 69). Jika harus diambil
pilihan moderatif, sebaiknya NU dan Muhammadiyah tetap berpolitik, tapi itu
cukup menjadi jalan sekunder, dan yang utama adalah peran sosial (hal 70).
Meskipun dengan latar belakang penganut Muhammadiyah
yang kental, penulis justru memberikan masukan sebagai pertimbangan terhadap peran
dari masing-masing ormas dalam memperbaiki moral kemanusiaan. Sebab penulis
sadar bahwa keduanya pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing
dalam menjalankan fungsinya. Hal ini banyak dipaparkan penulis pada bab 3
tentang Teori Kritis Muhammadiyah serta Intelektual NU dan Kesadaran
Multikultural.
Secara kontekstual, buku ini mudah dipahami dengan
adanya alternatif pembagian masing-masing bab. Sehigga pembaca seolah
dipahamkan kepada alur berpikir yang runtut dan sistematis. Terlebih ke-istiqomah-an
penulis yang selalu berpegang teguh dengan inti pokok, membuat pembahasan buku
ini berjalan sesuai alur dan jauh dari kesan membosankan.
Dibumbui pula dengan fenomena sehari-hari manusia yang
lekat dengan unsur ketuhanan, alam, dan sosial menjadikan pemahaman pembaca
lebih hidup dan mampu melakukan nalar logis. Lebih mendalam, dijelaskan pada
bab 2 yang berisi gerakan egalitarian berbasis iman, konflik global Islam
barat, nasionalisme dan fanatisme kabilah, hijrah dan pembentukan kepribadian
bangsa, menuju peradaban post jahiliyah, serta teologi lingkungan yang (tidak)
humanis. Pembahasan serupa inilah yang mampu membuka wacana menjadi sesuatu
yang perlu diimplementasikan dalam kehidupan.
Dilengkapi dengan prawacana bertajuk Peran Agamawan
di Ruang Publik mengawali kesepakatan penulis terhadap pendapat William
Durant yang mengatakan bahwa agama memiliki seratus jiwa. Dalam buku ini
pula disebutkan analisa Rayan terhadap realitas beragama di Asia. Penelusuran
realitas inilah yang mendukung keakuratan teori di dalamnya. Dalam prawacana
pula, penulis mengembangkan kembali elaborasi Rayan menjadi lima bagian.
Sehingga secara tersirat penulis mampu memberikan pemahaman yang lebih rinci.
Inilah salah satu dari sekian banyak teori para ahli yang akan sering dijumpai
saat membaca buku ini.
Selain itu, sebuah prolog disampaikan pula oleh Prof.
Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif yang patut dijadikan pertimbangan terhadap penilaian
buku ini. Kesempurnaan buku Agama dan Politik Moral ini terasa lebih
lengkap, sebab terdapat pesan dari “gurunya” penulis sebagai pemangku ilmu yang
lebih tinggi. Tentu hal ini akan menjadi semacam pemantauan atau wujud
pertanggungjawaban terhadap isi buku yang disampaikan.
Mengkritik namun tidak menjatuhkan. Sebuah hal yang
perlu diteladani dari seorang penulis buku ini terletak pada keterampilan
beretika. Meskipun penulis menuliskan perihal ormas tetangga, namun bahasa yang
disampaikan mengandung dorongan moral untuk bersama-sama membangun tata kehidupan
yang lebih baik. Bukan menjatuhkan, namun membangkitkan semangat bersama untuk
saling memahami kekurangan dan kelebihan lembaganya.
Sedangkan kelemahan buku ini terletak pada; tidak
disebutkannya ayat al-Quran secara lengkap. Dalam hal ini hanya disebutkan
surah dan ayat tanpa menyampaikan bunyi dan artinya. Sehingga pembaca perlu
membuka kembali makna ayat tersebut dalam al-Quran. Hal ini dirasa kurang
efektif. Sebab dengan dituliskannya isi kandungan, pembaca dapat menangkap apa
yang dimaksudkan secara langsung melalui buku yang disajikan ini.
Menyinggung tentang kisah kabilah Khajraj dan Aus,
hingga disebutkan 3 kali dalam buku ini, yaitu pada halaman 46, 49, dan 56 tentu
membuat pembaca penasaran. Sebagai contoh dalam hal 49 dituliskan, “hijrah memang
tidak bisa dilepaskan dari budaya yang sudah mengakar dalam sebuah peradaban.
Tugas pertama-tama yang dilakukan Muhammad di Madinah adalah memangkas akar
budaya nenek moyang yang bertentangan dengan ajaran kemanusiaan. Hal itu tentu
harus dilakukan melalui cara-cara akomodatif dan demokratis (konstitusional),
seperti rekonsiliasi suku Aus dan Khajraj, distribusi hak dan kewajiban kaum
Anshar dan Muhajirin serta konstruksi tat tertib sosial antara umat Islam dan
non-Muslim, yang semuanya tertuang dalam Piagam Madinah”.
Namun rasa penasaran ini ternyata tidak mendapat respon
dari penulis. Sebab dalam buku ini tidak dijelaskan apa dan bagaimana kisah
kaum Khajraj dan Aus pada saat itu. Lagi-lagi pembaca perlu mencari sendiri
kisah dua kabilah ini untuk mampu memahami makna yang sebenarnya. Sebab
dikhawatirkan pembaca benar-benar minim paham keilmuannya, sehingga
kebingunganlah yang melanda.
Keteraturan penulisan yang terstruktur telah terjawab
dalam buku ini. Namun sebaiknya dapat diimbangi dengan bahasa yang mudah
dipahami oleh orang awam. Karena penggunaan bahasa yang tinggi akan menyulitkan
pembaca dalam memahami inti yang disampaikan penulis. Sehingga hanya
orang-orang tertentu saja yang dapat menyelami makna yang terkandung di dalam
tulisan yang dipaparkan.
Bersamaan dengan kekurangan pasti terdapat kelebihan
pada setiap penciptaan. Sama halnya dalam buku Agama dan Politik Moral ini.
Meskipun masih terdapat kekurangan yang perlu diperbaiki, besar manfaat dalam
buku ini untuk membangkitkan rasa toleransi, saling memahami, dan kesadaran
terhadap peran dalam menjalani kehidupan. Khususnya dalam hal beragama dan
berpolitik. Karena segala hal pasti memiliki aturan dan landasan yang
diharapkan mampu menuntun kepada perbaikan moral.
Ingin menegaskan kembali peryataan penulis, bahwa
kesadaran beragama tidak hadir an sich dalam ruang-ruang doktrinal yang
rigid, namun benar-benar mendarat dan menyatu dengan kesadaran publik. Agama,
akhirnya benar-benar dapat kita rasakan secara rasional dan emosional dalam kehidupan
sehari-hari kita. Buku ini, adalah bacaan yang tepat untuk menghadirkan ruh
positif terciptanya pencerahan peradaban bangsa!
Komentar
Posting Komentar