Menjumpa Rupa


Ah! Wacana akan mengembalikanku kembali ke rahim itu. Sedangkan benalu yang menempel erat di sanubariku sepertinya akan singgah dalam waktu yang lama. Berjalan dengan arah yang pasti, namun kakiku menyeret berjuta kenangan yang membuatku selalu ingin mencumbu dengan suasana itu.
Dua jam setelah ini wajah-wajah pemain kanvas itu akan menampakkan geliatnya menuju pementasan yang ku sebut Sanca. Entah apa yang membuatnya melangkahkan kaki perwilayahan yang berbeda dari dunianya, sedangkan kemegahan telah mereka dapatkan. Dunia yang pernah mengisi relung jiwaku, hingga aku tak pernah sedikitpun mengusirnya dari cinta dan kecintaanku terhadapnya. Mereka kuanggap minor. Ternyata banyak dari mereka yang tak puas dengan perlakuan yang ia dapatkan untuk mengekspresikan diri dengan tinta warna-warni. Oh, apakah ini serupa rasa rindu akan goresan-goresan cinta?

Jogja, lengkungan batang bambu menghiasi singgahku. Menunggu ribuan detik dengan bau bangkai tikus yang sayup-sayup menusuk rongga hidungku. Seperti sepintas nama yang sempat singgah kudengar dari balik lamunan. Bukan lagi terasa muak. Hanya muak dengan alih-alih yang membuatku tak dapat menolak untuk mengunci emosi 'positive' itu. Lagi-lagi aku harus mengalah dengan ragu-ragu. Walaupun semakin hari aku tak dapat menahan gejolak yang ingin kumuntahkan menjadi sebuah potret wanita berwajah gradasi.
***
Ruangan yang ku tuju semakin penuh dengan gemuyon orang-orang. Mereka akan berpesta dengan aksara (katanya). Setelah beberapa bulan yang lalu jemarinya kaku dengan cat dan tinta yang turut mengering bersama waktu. Sedang di samping kananku lima orang pemuda menceritakan perjalanan mereka dengan kostum hitam pekat tanpa tau apa maksud dari warna yang ia kenakan itu. Sama halnya denganku. Gaun hitam membalut tubuhku dengan jilbab hitam yang semakin membuat suasanya semerdu lautan kopi. Mungkin kita hanya ingin berduka dengan puisi, pikirku. Hingga percakapan kembali berlangsung, aku tak lagi memperdulikannya. Mata ini selalu dan ingin menatap bayangan yang akan datang dengan tangan-tangan emas itu. Hingga benak selalu diliputi pertanyaan-pertanyaan yang menggodaku untuk kembali mengumpulkan serbukan debu dari pensil yang hampir patah. Lalu melukiskan sebuah objek di kening mereka untuk menunjukkan bubuhan kata-kata tentang jiwa yang luka. Aku ingin menggeser sedikit ruang untuk diriku diantara mereka. Seperti halnya aku ingin merobek waktu dan mencabutnya untuk mengembalikan diri ini pada tempat asalku dulu.
Ah, biarlah aku jauh dari mereka. Agar tatapan ini tak liar memandang ke arah para pelaku masa laluku. Aku harap, barisan kursi itu menjadi tempat singgah yang kuyakini akan menentramkan hatiku dari lamunan yang berkoyak-moyak. Aku hanya ingin fokus dengan hidupku sekarang!
Ah! Aku tak mengenalnya. Pria berkumis dan berjenggot tipis itu seperti perumpamaan dari ketakutanku. Namun kuharap cemas tak menghanguskan konsentrasiku untuk tampil dalam Sancha ini. Biarlah ia membelakangiku. Semoga perlakuannya tak memutar otakku perihal sejarah lalu. Sementara jiwaku tenang, sebab ia tak berkutik dengan benda di genggamannya.
Di mulailah penampilan yang membuat semua peserta tegang. Termasuk aku dan pria di depanku yang diam-diam menelan cemas. Aku mencari kesibukan kecil, sambil menunggu giliran. Sedangkan ia merogoh-rogoh tas ranselnya seolah akan beraksi melakukan kegiatan yang berharap akan menjadi penghibur diri. Ia diam. Seketika kembali mencari sesuati dari benda berbahan kulit itu, setelah beberapa saat matanya melihat penampilan peserta di atas panggung. Ah, aku tak peduli! Maka ku kembalikan lagi tatapanku pada teks yang akan ku baca. Mengulangnya, sambil memperhatikan penampilan peserta lainnya.
***
"AR" diakhir goresan tinta itu. Aku menatapnya tajam. Seoalah merebut alih pandanganku yang tadinya hanya tertuju pada teks bertuliskan aksara-aksara itu. Kertas HVS polos dengan sebuah pen yang tersentuh tangan emas itu menjelma guratan dua orang wanita. Aku melihat ke arah MC, ia telah terekam dalam goresan tinta. Seakan dunia beralih menjadi ruang kecil sekecil kertas makalah itu. Aku menjadi saksi diantara tarian jemari yang menciptakan subjek kembar di dunia yang kedua. Apakah aku akan kembali terperanjat dengan keinginanku untuk melakukan hal yang sama dengan pria itu? Seperti rasaku yang seolah ternganga melihat keelokan rupa yang tercipta hanya dalam hitungan menit saja?!
Ini benar-benar sebuah peristiwa yang kutakutkan. Aku kembali memutar kenangan. Membiarkan rekaman itu berputar dan tercecer di pangkuanku sendiri. Bersamaan dengan hal itu, berpasang-pasang mata turut menyaksi pertunjukan di dalam pertunjukan dengan dunia yang entah dapat dikatakan sama atau berbeda. Kekaguman mereka terkesan biasa saja. Tanpa ingin menarik lengannya dan meminjamnya sesekali saja. Bukan seperti aku, yang bernafsu untuk mengambil kesempatan yang sama sambil berbincang tentang kisah yang sama dalam hidup kita. Aku benar-benar menginginkannya. Dunia itu, apakah ia tak ingin menyapaku dulu?
***

Komentar

  1. Balasan
    1. Aaaaa... salam kenal Kak Alfin ^^. Sepertinya sampeyan mengenali tulisan saya.. Wkwkwk.. Punten, saya benar-benar takjub saat itu hehe. Anda luar biasa!

      Hapus
  2. Saya baru sadar kalau sudah dibalas komentar saya. Wah, maafkan saya lupa.. apakah waktu itu kita sempat berkenalan ?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal