Public Speaking vs Keterampilan Menulis
Sumber Gambar: http://coretantakberdawat.blogspot.co.id/2015/12/tentang-berbicara-menulis-dan.html
Mendengar
pernyataan yang sempat terlontar, bahwa tanpa public speaking maka orang
tersebut akan tertinggal oleh peradaban. Sama halnya ketika kita mendapati
seorang penulis saat menjadi pembicara. Baginya, tanpa menulis mereka juga akan
tertelan oleh zaman. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Pramodya Ananta Toer,
bahwa “menulis adalah bekerja
untuk keabadian”.
Ini yang kemudian membuat sebuah alasan, bahwa jangan hanya menciptakan kisah,
tetapi ciptakanlah sejarah.
Seorang penulis
Romi Febriyanto Saputro juga pernah berpesan, bahwa “seorang dokter butuh
menulis, guru perlu menulis, apalagi dosen juga butuh menulis. Semua profesi
butuh menulis. Hanya saja ada yang memang dikhususkan untuh kepenulisan, yaitu
jurusan komunikasi, sastra, dan
lain-lain. Maka turuti hati nuranimu. Karena
semua orang butuh menulis”.
Begitulah ungkapnya saat ditanya perihal pengambilan jurusan setelah tamat
SLTA.
Ini yang
kemudian membuat saya lantas berpikir, bahwa setiap orang sejatinya memang
mengunggulkan profesinya. Hanya saja, apakah ada yang lebih penting di antara public
speaking dan keterampilan menulis?
Mengikuti alur
hidup dan realitas yang dihadapi para penulis dan pembicara pada acara seminar
maupun talkshow, tak jarang keduanya saling berkaitan. Mengingat kembali
teori dalam pelajaran Bahasa Indonesia mengenai teori belajar. Seseorang akan
memerlukan proses belajar yang meliputi mendengarkan, menyimak, membaca dan
akhirnya seseorang akan mampu menulis. Kesinambungan ini merupakan proses hidup
yang dijalani kebanyakan orang sukses dalam hal ini. Mereka akan mampu menulis
setelah melakukan proses yang panjang.
Teori menulis
Fauzil Adhim memang menggugah
kita untuk semangat dalam
menulis. Sebab menulis adalah puncaknya belajar. Inilah yang membuat kita
lantas berpikir, jika seseorang belum mampu menciptakan karya tulis, maka dalam
proses pembelajarannya ia boleh dikatakan gagal. Kegagalan ini bukan berarti
membuat argumen bahwa orang yang berhasil hanyalah seseorang yang memiliki
sebutan penulis. Bukan! Orang yang mampu menulis adalah mereka yang membiasakan
perilaku menulis sebagai sebuah kebutuhan.
Sebab
orang-orang yang dikatakan pandai menulis juga melakukan pembiasan ini. Karena
keterampilan berawal dari kebiasaan. Bisa mergo kulino, jika orang Jawa
menyatakannya. Lantas bagaimana kita berpikir untuk mampu menulis jika runtutan
proses belajar belum kita lewati? Public speaking ini dikatakan harus
mampu dilakukan. Sebab inilah sebagian proses belajar yang harus dilakukan
sebelum menuju kepada keterampilan yang selanjutnya. Oleh karena itu keduanya
memang perlu dikaitkan demi tercapainya keberhasilan
belajar.
Komentar
Posting Komentar