Kepemimpinan Wanita dalam Islam

Sumber gambar: nahimunkar.com

            Dalam kehidupan sehari-hari umat Islam, tentu tidak dapat terlepas dari persoalan kepemimpinan. Bahkan pentingnya kepemimpinan ini telah dibuktikan setelah wafatnya Rasulullah SAW. Sehingga umat Islam tidak seharusnya dibiarkan tanpa pemimpin. Maka dalam lingkup kehidupan, semestinya dapat mempercayakan kepemimpinan kepada orang-orang yang mampu. Baik secara jiwa, fisik, maupun faktor lain yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu Sayyidina Umar r.a. pun pernah berkata, “Tiada Islam tanpa jamaah, tiada jamaah tanpa kepemimpinan dan tiada pula kepemimpinan tanpa ketaatan.

            Namun tatkala membahas kepemimpinan, persoalan pun muncul ketika mendapati seorang wanita memimpin wilayah dalam suatu negara. Hal inilah yang akhirnya melahirkan gejolak perdebatan hangat di kalangan ulama. Bahkan ilmuan tafsir dan para pemuka agama turut serta menanggapi permasalahan yang menyebabkan adu argumen mengenai hal ini. Sehingga dikajilah tanggapan-tanggapan tersebut demi membangun jalur penengah dalam menghadapi argumen yang berbeda-beda.

Membaca Fenomena Masa Lampau
            Memandang perihal sejarah, dapat ditelusuri jejak Ratu Balqis yang pernah memimpin kaumnya saat zaman Nabi Sulaiman a.s. Namun pernyataan ini ternyata menjadi bahan perbincangan yang cukup unik. Sebagai seorang perempuan, Ratna Adining Tyas dalam Kompasiana Online bertajuk Kepemimpinan Wanita dalam Islam mengaku bahwa Ratu Balqis dengan segala kemampuannya mampu memimpin negeri Saba’. Sehingga rakyatnya dapat hidup dengan baik, makmur dan sejahtera. Bahkan dinyatakan pula bahwa Nabi Sulaiman tertarik memperistri sang ratu dan mempersatukan kedua kerajaan tanpa merendahkan Balqis sebagai Ratu.
            Berbeda halnya dengan Muhammad Faisal yang menyatakan bahwa “tidak ada Nabi dan Rasul wanita”. Menurutnya, Nabi dan Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil, dan suka atau tidak suka, mereka adalah contoh, pedoman atau acuan bagi manusia lainnya. Itulah sebabnya, mengapa dalam sholat wanita tidak diperbolehkan menjadi imam atas laki-laki, namun hanya diperuntukkan menjadi imam dalam kalangan kaum wanita.
            Selanjutnya, tanggapan Muhammad Faisal mengenai kepemimpinan Ratu Balqis menjadi kepala negara, dianggap jauh adanya ketika Balqis belum mengenal Islam. Sehingga ketika ia telah ditundukkan oleh Sulaiman dan menjadi istrinya, barulah secara otomatis yang menjadi kepala negara adalah Sulaiman, bukan lagi Balqis. Merujuk Q.S. An-Nisaa’ ayat 34, kaum laki-laki merupakan pemimpin bagi kaum wanita, sudah tentu menjadi rujukan dalam fenomena rumah tangga. Dimana laki-laki sebagai suami berhak atas kepemimpinannya kepada istri, apalagi jiwa dalam suatu negara yang melibatkan sekelompok besar manusia. Tentu lebih diutamakan laki-laki sebagai pemimpin.
            Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits ‘Abdur Rohman bin Abu Bakroh dari ayahnya menyatakan, “Laki-lakilah yang seharusnya mengurusi kaum wanita. Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, sebagai hakim bagi mereka dan laki-lakilah yang meluruskan apabila wanita menyimpang dari kebenaran. Lalu ayat                                                              (yang artinya), ‘Allah melebihkan sebagian mereka dari yang lain’, maksudnya adalah Allah melebihkan kaum pria dari wanita. Hal ini disebabkan karena laki-laki adalah lebih utama dari wanita dan lebih baik dari wanita. Oleh karena itu, kenabian hanya khusus diberikan pada laki-laki, begitu pula dengan kerajaan yang megah diberikan pada laki-laki. Hal ini didasarkan pada sabda kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.”                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      
            Namun dalam hal ini diperlukan pertimbangan ketika suatu kaum memilih wanita sebagai seorang pemimpin. Pastilah terdapat faktor-faktor yang melatarbelakanginya sehingga haruslah wanita yang menjadi kepada dalam suatu wilayah. Begitu pula yang menjadikan pertimbangan atas kemaslahatan, kebaikan bersama, serta hal lain yang tentu menjadi penguat seorang wanita memimpin suatu negeri.


Memaknai Kepemimpinan Wanita Era Kini
Menghadapi era kepemimpinan saat ini, tentu tidak asing dengan banyaknya wilayah yang dikepalai oleh seorang wanita. Tak kalah dengan kaum adam, banyak golongan kaum hawa menjadi kebanggan dalam memimpin bangsa. Begitu pula kepemimpinan di kelas, yang barang tentu melibatkan wanita sebagai penyokong tanggung jawab bersama. Hal ini menjadi titik ukur penyebab kaum wanita menjadi pemimpin suatu wilayah termasuk pemimpin kaum pria.
  Sebagaimana yang terjadi di Surabaya, keterlibatan Tri Rismahani tampak nyata dalam mengukir sejarah kepemimpinannya. Wanita yang kerap kali disapa dengan panggilan Risma ini membuktikan adanya bukti nyata dalam membangun Walikota Surabaya. Sehingga tidak menuntut kemungkinan bahwa Risma menjadi fakta adanya keberhasilan wanita dalam memimpin perwilayahannya. Namun sebaik apapun kerja nyata Risma, ternyata tetap membawa perdebatan atas kepemimpinannya sebagai seorang wanita.
Sama halnya dengan lengsernya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari tahta kepresidenannya. Sehingga tergantikan oleh naiknya Megawati Sukarnoputri menjadi presiden pertama di Indonesia. Hal ini tentu membawa gejolak yang lebih besar. Karena melibatkan perwilayahan yang lebih luas pula.
            Sehingga jika memperhatikan fenomene masa kini, memang wanita boleh memimpin dengan prasyarat yang ada jika mampu. Namun lebih baik apa bila ada laki-laki yang memang Allah berikan kepadanya amanah untuk memimpin disertai dengan rasa tanggung jawabnya, keadilan, serta hal lain yang baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal