Simfoni



Aku kira setelah menuntaskan segala beban, aku akan berteriak sekuat suara di belantara Srenggi. Namun tidak, aku hanya diam dalam kepasrahan (yang perlu kau tahu) bahwa aku tidak akan menyesalinya kelak. Tidak akan!
Sebelum memutuskan perkara mana yang lebih penting antara dua hal bahkan tiga yang menggumpal di pikiranku, aku sempat ambil pusing untuk lagi-lagi memilih mana yang lebih kupilih. Padahal jelas, aku tahu mana yang lebih prioritas di antara ketiganya. Bahkan tanpa berpikir panjang. Sementara, dengan bodohnya aku sempat mengambil jalan aman hanya untuk “diriku sendiri” tanpa memikirkan “sebuah tujuan besar” dalam hidup banyak orang. Aku melupakannya seolah hanya menuruti egoku dan kembali mencari aman untuk sekedar singgah di perwilayahan fana ini. Di balik fondasi “materi”.

                Seorang aku yang nampak lemah ini tak berdaya untuk ambil pusing menjalani hidup yang seolah “bergantung” pada apa yang bukan menjadi tujuan besar kami. Sementara aku sendiri hanya sibuk memikirkan diriku, profesiku, tujuan individuku. Aku nampak dilupakan dan lalai terhadap apa yang mejadi kewajiban seorang insan. Aku benar-benar lupa dan entah apa yang aku rasakan saat itu. Aku merasa asing dengan diriku yang masih terus memikirkan hal lain, sementara janji Allah pasti. Barang siapa yang memikirkan akhirat, maka dunia mengikutinya. Bukan hanya itu, janjiku pada Rabb-ku seolah hanya menjadi bebunyi yang tak lagi bernada. Sungguh, aku sangat lupa.
                Dalam jangka waktu yang benar-benar singkat, aku memutuskan membelokkan arah. Mencari celah mana yang bisa kumasuki agar aku dapat menjalin kembali hubunganku dengan Rabb-ku yang mungkin telah berpaling arah padaku saat itu. Aku kembali menyebut namanya, berdoa padanya agar aku senantiasa dapat bernaung dibawah lindungannya.
                Dengan usaha semampuku, aku memberanikan diri untuk menemui orang demi orang untuk mendapatkan sesuatu yang mungkin mustahil untuk kudapatkan. Ya, benar. Aku sedikit menemukan kegagalan berada di depanku. Sementara waktu terus mengejarku dalam waktu yang saling berseteru. Hingga aku ingin meluapkan segalanya saat pikirku benar-benar terpuruk. Aku kebingungan dan sangat hancur saat itu. Namun dengan membawa satu keyakinan, bahwa resiko apapun yang akan menimpaku, aku hanya tahu bahwa “Allah bersamaku”. Allah bersamaku. Allah bersamaku.
                Langkahku yang diambang problema serta dilema perlahan seperti kejenuhan yang jatuh berguguran bak ranting pohon yang melepas dedaunan kering. Aku kembali pada aksi yang penuh perjuangan. Dalam bimbingan Illahi aku kembali dimudahkan. Meskipun aku tahu, dampak apa yang akan menimpaku dengan dugaan-dugaan yang membuatku hanya mampu membisu. Namun sejatinya segala hidupku hanya tertuju pada Satu Dzat. Aku hanya tahu bahwa segala urusanku akan kembali kepada-Nya. Dan segala kenikmatan yang kini kurasakan pun, pasti atas kehendak-Nya.
                Kau tahu, barangkali aku seakan mahasiswa nakal yang tak taat aturan, aku lebih tahu bagaimana menjalani kehidupanku yang hanya paham satu hal ini. Bahkan jika kau pun tak mengerti, aku yakin bahwa serangga kecil yang bersembunyi disebalik rerumputan Srenggi pun akan menjadi saksi perihal “aku”. Ia mengerti apa maksudku melakukan apa yang tak kau tahu.
                Bagiku kemenangan diriku tak berarti apa-apa tanpa adanya kemenangan yang lebih besar. Itu sebabnya, aku menulis catatan kecil ini untukku dan untuk saudaraku yang tahu akan hal besar itu. Bahwa kita hanya mendamba pada satu cinta yang hakiki. Maka tak perlu merisaukan hal-hal yang menurut kita “penting” sekalipun. Sebab, Allah senantiasa membersamai langkah kita selama jejak kaki kita selalu menuju pada keridhaan-Nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal