Analisis Puisi Karya "Bocah" Sukowati
Rindu Bumi Sukowati
Karya: (No. Peserta 18)
Kota kecil penuh kenangan
Tempat diriku dibesarkan
Tempat tubuh ini
dilahirkan
Walau tak banyak tempat
wisata
Tetapi
Aku bahagia tinggal disana
Rindu.. rindu..
Singgah dihati ini
Kala mengingatnya
Andai diriku bisa ke sana
Menikmati indahnya
Bumi Sukowati
Sayang
Tugas di sini seakan
menahanku
Untuk tidak pulang
Rindu hati ini
Pada kota kecil
Penuh kenangan
Sragen, 16 Februari 2016
Impian Anak Jalanan
Karya: (No. Peserta 57)
Anak itu
Sedang bernyanyi di tengah
jalan
Menggunakan gitar kecilnya
Ia bernyanyi
Lampu hijau menyala
Ia menepi
Menunggu kendaraan
berhenti
Sembari berlatih bernyanyi
Lampu merah kembali
menyala
Anak jalanan itu berjalan
Memetik gitar untuk
menyanyi
Agar mendapat uang
Adzan terdengar
Anak itu berhenti menyanyi
Berjalan menuju masjid
Untuk beribadah
Anak jalanan itu berdoa
Kepada Yang Maha Kuasa
Agar ia mendapat rezeki
Untuk ibunya yang sedang
sakit
Malam hari
Ia pulang ke rumah
Menengok ibunya
Untuk merawatnya
Ibunya tertidur
Wajahnya pucat
Dengan lembut
Anak itu mengelus kening
ibunya
Anak itu berucap
Kepada ibunya yang sedang
tidur
Ibu adalah malaikatku
Cepat sembuhlah ibu
Anak itu menangis
Meratapi nasibnya
Ia hanya bisa berdoa
Kepada Tuhan
Impiannya sangat banyak
Tetapi..
Ada satu yang ingin
terkabul untuknya
Ia ingin
Ibunya cepat sembuh
Tetapi..
Itu tidak akan terjadi
Ibunya telah meninggal
Setahun yang lalu
Kini..
Ia tinggal sebatang kara
Tidak punya siapa-siapa
Kecuali Tuhannya
Sragen, 16 Februari 2016
Catatan kecil ini saya
khususkan sebagai bentuk apresiasi terhadap karya-karya sastra (puisi)
adik-adik SD/MI sederajat Kabupaten Sragen yang diselenggarakan tanggal 16
Februari 2016 lalu. Dengan menuliskan kembali 2 buah puisi diatas, yang
merupakan karya dengan perolehan nilai tertinggi dari 60-an peserta, saya
merasa bangga dan bersyukur. Ungkapan ini berdasarkan atas karya adik-adik yang
secara fisik maupun psikis mampu menyihir saya untuk “harus” memberikan point
plus. Bagaimana tidak? Dari sekian banyak karya yang saya baca, saya kembali
tersadar bahwa setiap anak memang memiliki naluri kejujuran yang utuh.
Analisis Puisi “Impian
Anak Jalanan”
Kita paham, karya ini
tersaji dengan sangat sederhana ala anak-anak. Penulis (siswa SD) memang tidak
peduli bahkan belum mengenal aneka diksi dan majas. Namun penggambaran puisi
ini bisa diungkapkan dengan runtut.
Anak itu
Sedang bernyanyi di
tengah jalan
Menggunakan gitar
kecilnya
Ia bernyanyi
Lampu hijau menyala
Ia menepi
Menunggu kendaraan
berhenti
Sembari berlatih bernyanyi
Lampu merah kembali
menyala
Anak jalanan itu
berjalan
Memetik gitar untuk
menyanyi
Agar mendapat uang
Adzan terdengar
Anak itu berhenti
menyanyi
Berjalan menuju masjid
Untuk beribadah
Bahkan dalam puisi ini
situasi dan setting dapat digambarkan dengan baik. Kelihaiannnya dalam
mendeskripsikan keadaan perlu mendapat apresiasi positif. Dalam hal ini,
penulis mungkin sedang menggambarkan apa yang pernah ia lihat sebagai sesuatu
hal yang berkesan. Ditambah dengan pengalaman dirinya serta ketertarikannya
dengan fiksi membuat puisi ini terkesan memiliki warna. Sebab, anak-anak pada umumnya
menuliskan puisinya tanpa memandang kesesuaian tema dan kreativitas yang
diharapkan dalam penilaian. Namun, dalam karya peserta no. 57 ini memiliki
keduanya. Meskipun lebih menonjol dalam penyesuaian tema dibandingkan
kreativitas.
Di bait selanjutnya,
Impiannya sangat banyak
Tetapi..
Ada satu yang ingin
terkabul untuknya
Ia ingin
Ibunya cepat sembuh
Ada harapan tentang impian
sebagaimana tertera dalam judul. Impian terbesar dalam puisi tersebut adalah
keinginan agar ibunya segera sembuh. Kemalangan ini memang terkesan rancu.
Terbukti dengan bait satu dengan yang lain, dimana penulis menggambarkan bahwa
sebelumnya ibunya masih ada (keinginan agar ibunya sembuh) namun selanjutnya dituliskan
bahwa ibunya telah tiada;
Tetapi..
Itu tidak akan terjadi
Ibunya telah meninggal
Setahun yang lalu
Selanjutnya,
Kini..
Ia tinggal sebatang
kara
Tidak punya siapa-siapa
Kecuali Tuhannya
Meskipun di bagian awal
sempat menimbulkan kesan dramatis, bahkan kurang sistematis, namun di bait
terakhir puisinya, terdapat makna akan nilai karakter yang langka. Sebab, tidak
saya temukan pada karya puisi yang lain. Hal ini kembali menyadarkan kita akan
niai-nilai ketuhanan. Di mana penulis secara sadar maupun tidak sadar menggambarkan
kekayaan ruhani dengan “meng-ada-kan Penciptaan” dari ciptaan yang ia ciptakan.
Tidak peduli seburuk apa ia menggambarkan Anak Jalanan tersebut, namun kekuatan
moral yang menutup barisan kekatanya dirasa memiliki nilai yang tiada
bandingannya dengan karya peserta lain.
Saya kembali teringat
sebuah proposal penelitian rekan satu kelas yang pernah meneliti bagaimana
perilaku anak jalanan. Dalam tulisannya, ia menggambarkan berbagai tingkah
salah anak-anak jalanan yang cenderung kepada kenakalan. Padahal, saat membaca
puisi ini saya tersadar bahwa kehidupan memang seharusnya seimbang. Sama halnya,
tidak semua anak jalanan adalah menggambarkan kenakaan. Justru dengan membaca
puisi ini, batapa mulianya hati seorang anak (tanpa memandang sisi luarnya
saja). Bagus!
***
Maka saya ucapkan selamat
atas terselamatkannya moral anak bangsa yang masih mencerminkan nilai-nilai
ketuhanan. Dimana pada era serba modern ini, jarang ditemui “insan kecil” yang yakin
dengan Tuhan sebagai teman setia, meskipun tiada siapa-siapa lagi dalam
hidupnya. Hal ini dapat memicu kepercayaan diri untuk menegakkan kebenaran
dalam menghadapi tantangan kehidupan. Jika saya berposisi sebagai orangtua,
tentu bangga memiliki anak dengan potensi untuk—bukan hanya berkarya, namun
lebih dari itu, menanamkan karakter untuk mengingat Penciptanya. Sebab inilah
yang paling sulit, dari sekian banyak tips mendidik anak yang saya tahu selama
ini.
Kembali saya tegaskan,
bahwa puisi ini bukan hanya memiliki nilai religius. Namun lebih kepada perspektif
kebangkitan jiwa yang turut menyihir pembaca. Keunikan ini ada, saat kejenuhan
membaca karya-karya lain yang hampir-hampir minim kreativitas. Maka, bukan
berarti menuliskan “Tuhan” dalam puisi lalu mendapat nilai lebih. Bukan! Karena
saya menilai adanya karakter anak ini untuk bicara atas apa yang ia lihat,
sehingga seolah saya pun turut melihat, apa yang ia rasa, saya pun turut
merasakannya. Dan apa yang bergejolak dalam jiwanya, bukan hanya saya ikut
bergetar, namun menampar saya dari kenyataan-kenyataan hidup yang serba
melenakan ini. Ituah sebabnya karya ini begitu istimewa dibandingkan
karya-karya yang lain. Maka, dengan harapan besar, kelak penulis ini dapat
membawa perubahan besar serta kemanfaatan pula bagi banyak orang ke arah yang
positif. Aamiin.
Selain puisi si atas, saya
juga tertarik dengan puisi mini ini. Alangkah puitisnya suasana saat
menuliskannya, ya?
Rindu Bumi Sukowati
Kota kecil penuh kenangan
Tempat diriku dibesarkan
Tempat tubuh ini
dilahirkan
Walau tak banyak tempat
wisata
Tetapi
Aku bahagia tinggal disana
Rindu.. rindu..
Singgah dihati ini
Kala mengingatnya
Andai diriku bisa ke sana
Menikmati indahnya
Bumi Sukowati
Sayang
Tugas di sini seakan
menahanku
Untuk tidak pulang
Rindu hati ini
Pada kota kecil
Penuh kenangan
Analisis Puisi “Rindu
Bumi Sukowati”
Yang saya temukan pertama
kali saat membaca puisi ini adalah kepekaan. Penulis menggambarkan hal-hal
terdekat dirinya dengan tanah kelahiran. Dimana jarang sekali peserta lain yang
menuliskan tentang Sukowati (sebutan Kota Sragen) yang saat perlombaan ini berlangsung,
masih anget-anget-nya untuk diperbincangkan. Maka jelas, perbedaan
inilah yang biasanya membawa keunikan tersendiri bagi pembaca. Meskipun tertulis
sederhana dengan mengusung rasa rindu,
puisi ini terkesan begitu puitis dan syahdu. Betapa, pembaca yang merasakannya
sebagai sama-sama wong Sragen, sadar bahwa kota kita lebih dari segala
untuk kembali melabuhkan harapan. Hanya saja, inspirasi serupa ini lho yang
menjadi pertanyaan,
Sayang
Tugas di sini seakan
menahanku
Untuk tidak pulang
Mungkin, ini saja. Cukup
menyejukkan bukan?
Komentar
Posting Komentar