Pada Permulaan Senja


          Barangkali, seperti kata bapak: "sebab, ada alasan dibalik setiap kejadian". Tepatnya, begini kata bapak “kabeh kedadean mesti ono sebabe.” Ribet amat rasanya memikirkan kata yang “pas” untuk kau baca. Ya, untuk kau yang kusemogakan dapat mengambil hikmah dari setiap goresan tintaku ini. Sebab, tak ada lagi yang mampu kuandalkan daripada pengalaman dan pengetahuanku yang minim. Semoga kau menikmatinya. Ya, semoga!

          Seperti yang kupelajari dibangku kuliah tentang apersepsi yang biasanya tertulis di-RPP. Semacam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, agar ketika aku mengajar anak-anak orang, aku bisa polah sebagaimana aturan yang tertuis didalamnya. Sedangkan terkadang aku agak nakal, tak suka terkesan formal hanya untuk mencapai 1 tujuan yang kupikir terlalu bodoh jika hanya mengandalkan pokok-pokok yang biasa tertulis disilabus Pendidikan Agama Islam. Tapi ya sudah, memang segala kebenaran seolah dibungkam dengan faham-faham konyol yang sama sekali tak bersinggungan dengan ajaran baginda Rasulullah salallahu alaihi wassalam. Begitulah ketika aku menyadari bahwa kekejaman yang terjadi di film-film ataupun sinetron memang bukan mengada-ada. Tapi memang kenyataannya kebohongan besar nampak bertengger dengan gagahnya bak burung garuda yang dipajang bersama bubuhan simbol-simbol dasar negara. Duh, betapa nampak kekacauan ketika segala yang seharusnya dilakukan telah dikesampingkan bahkan bagai dikubur hidup-hidup? Lihat saja, sebab kebenaran tidak mudah untuk diterawang dan diraba.
           O iya, aku meh crita apa malah sing tak critakke apa?
           Abaikan tulisanku yang di atas. Sebab hanya orang-orang yang berpikir saja yang bisa menafsirkan maksudnya. Begitu ya? Tenang saja, kula mboten mekso njenengan maos kok!

9 Januari 2017..
Bagi beberapa temanku, mungkin hari itu adalah hari yang special dan penuh kebahagiaan. Betapa tidak, jika mereka berhasil melakukan “mungkin” apa yang diinginkan maupun harapan yang menjadi kenyataan. Atau barangkali, sebuah senyum mendarat ketika mereka sedang asyik-asyiknya merayakan kebahagian bersama teman-teman. Atau apalah, intinya saat itu memang aku merasa kebahagiaan banyak singgah dihadapan banyak orang. Aku melihatnya dari berbagai sisi pandang ketika media sosial mengabarkan perihal mereka. O iya, tentu saat itu kau juga sedang bahagia bukan? Ya, lagi-lagi kusemogakan agar kau selalu bahagia.
         Seperti yang dikatakan bapakku di awal tulisan ini, saat itu aku sedang berada di ruang tunggu sebuah rumah sakit yang dulu pernah dihuni beberapa minggu oleh kakekku yang sempat dirundung kesakitan. Aku hanya memikirkan bagaimana sebuah topik pembicaraan akan menjadi obrolan hangat antara aku dan bapak. Kau jangan cemburu ya. Sebab tak ada tempat yang lebih baik dari seorang lelaki selain suami dari pemilik rahim yang tabah; ibuku. Jadi, tolong harap mengerti. Sekalipun aku lebih mencintainya daripada kau. Yang terpenting, biarlah cintaku benar bernilai ibadah.
         Ya, aku bertanya kepada bapakku banyak hal. Tentu tentang hari itu, dimana sebuah tragedi menghampiriku dan membuat tawamu terhenti sejenak (mungkin). Benar saja, aku lupa bagaimana mengendalikan fungsi ragaku yang biasa kurepotkan ini. Aku lupa bagaimana mungkin sebuah kendaraan berada tepat dihadapanku tanpa ku tahu. Aku lupa bagaimana bisa ragaku tergeletak tak berdaya di sebuah jalan yang biasa kulewati demi mengikuti langkahmu. Bahkan aku lupa bagaimana lagi aku harus menceritakan kepadamu ketika tak ada lagi yang kuingat kecuali tentang sebuah sebab. Hanya saja, aku merahasiakan ini dengan Kekasihku yang pasti lebih mengerti diriku hingga saat ini. Segalanya kutumpahkan melebihi berkali-kali lipat tulisan ini kepada-Nya. Sungguh, aku menemukan ketentraman hati, meskipun aku harus rela kehilangan tempat untuk sejenak menyapa teman-temanku. Karena kejadiannya begitu tiba-tiba. Maka kepadamu, maafkan aku untuk keterlambatanku mengabarkan hal sepele ini padamu saat itu. Ketiga kalinya, semoga kau memaafkanku. Bersedia ya? Kumohon.
            Lengkap saja, saat kau menghubungiku dan tak kujawab, mungkin kau sudah tahu sebab apa yang membuatku tak menjawab panggilanmu. Karena begitu cintanya Ia, sehingga tegurannya sampai kepadaku dalam satu hari itu. Berkali-kali, bahkan ketika handphone-ku tak lagi bisa kugenggam dan lepas begitu saja. Aku merelakannya setelah aku teringat bahwa hartaku bukan milikku. Termasuk diriku pun, bukan milikku. Sehinggga kapan pun Ia mau mengambilnya, biarkan saja, demi kecintaanku kepada-Nya. Ah, sungguh beruntungnya aku, memiliki Kekasih yang tiada henti merahasiakan kasih pada manusia hina sepertiku. Sedangkan berkali-kali selalu datang kenikmatan yang tiada tara jika dibandingkan dengan apa yang kau berikan padaku.. haha. Namun aku manusia yang tak tahu etika ya, terkadang larut dalam nafsu yang mengantarkan pada hal-hal jemu. Maka ketika itu Ia pun menegurku dengan peringatan-peringatan kecil serupa tragedi yang sempat menjadi kabar duka bagimu. Tapi tenang, aku masih diberikan kesempatan untuk revisi diri. Sehingga kelak aku dapat kembali melabuhkan cintaku bersama-Nya. Begitulah abadinya cinta (kita) ya? InsyaAllah..
         Aku kembali mempertanyakan perihal dosa apa yang membuatku “jatuh” dan benar-benar jatuh saat itu. Barangkali aku telah menduakan cintaku kepada selain-Mu? Atau barangkali keridhoan-Mu tak sampai jika aku mencintai selain-Mu tanpa ikatan serupa bapak-ibukku, ya? Eh, jika bukan tentang cinta, apakah aku saat itu sedang diambang jatuh cinta pada asal masal jasadku diramu? Sehingga nampaklah predikat burukku sebagai manusia yang memiliki kecintaan pada dunia? Ya, mungkin hal ini termasuk menjadi suatu renungan yang akan membawaku pada tahta lebih mulia untuk lagi-lagi mendekat pada-Mu. Sebab aku tak ingin menjadi buta dengan kebodohanku yang pernah menghamba pada nafsu. Lagi-lagi benar, aturanmu membawaku pada posisi yang pantas, sebagaimana fitrah yang terarah.
              Sebenarnya aku mengelak tentang permintaanmu untuk menceritakan kronologis kejadian yang menimpaku. Lihat saja, kekataku tak ubahnya mengalihkan pembahasan yang lain. Seolah ingin lepas dari cengkraman untuk tidak menimbulkan rasa “kasihan” yang mendalam dilubuk hatimu. Karena aku tahu, jika sampai aku membuat setitik air mata menetes dipipimu, maka haruslah aku bertanggung jawab untuk mengusapnya dengan cara yang barangkali tak kusangka-sangka. Sebab kau seringkali mengajarkanku banyak hal tanpa berkata apapun. Itulah mengapa selalu kuambil jalan untuk menyaksikan segala tindakan yang pasti menoreh ilmu baru bagiku. Sungguh, tentu tanpa kau sadari, banyak hal yang kucuri selagi kau duduk maupun berdiri sambil menikmati pahit-manis kehidupan ini. Wah, rasanya senang sekali jika sesekali kau datang meski tanpa sengaja ada hal yang membuatmu terkagum saat aku sedang bercinta dengan-Nya. Atau ketika kau menyambutku dengan senyum saat sama-sama kita tersenyum dipintu keabadiann? Bergandeng tangan sambil melepas segala yang fana menuju surga. Barangkali kisah kita akan lebih indah di sana. Semoga.
.
.
.
            Cukup ya, aku tidak ingin berlama-lama menatap layar monitor sambil membayangkanmu membaca rentetan aksaraku pada permulaan senja ini. Sebab setelah ini aku harus menyambut malam dengan beribu pandang sebelum suasana mengantarkanmu pada cahaya dikeheningan. Di situlah, kita akan kembali berjanji untuk bersama-sama menggali masa yang akan menjadi tempat kita bertatap muka. Kita akan bicara banyak hal, bukan? Kurasa tentu. Sebab pada waktu yang lain kau pernah mengatakan tentang pertemuan kita kelak. Di samping taman penuh bunga dengan aroma wewangian surga, tentu dengan bibir kita yang saling menyuarakan tawa.  
                 

Salam rindu,
Senja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal