Pada Permulaan Senja
Barangkali, seperti kata bapak:
"sebab, ada alasan dibalik setiap kejadian". Tepatnya, begini kata bapak “kabeh
kedadean mesti ono sebabe.” Ribet amat rasanya
memikirkan kata yang “pas” untuk kau baca. Ya, untuk kau yang kusemogakan dapat
mengambil hikmah dari setiap goresan tintaku ini. Sebab, tak ada lagi yang
mampu kuandalkan daripada pengalaman dan pengetahuanku yang minim. Semoga kau
menikmatinya. Ya, semoga!
Seperti yang kupelajari dibangku
kuliah tentang apersepsi yang biasanya tertulis di-RPP. Semacam Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran, agar ketika aku mengajar anak-anak orang, aku bisa polah
sebagaimana aturan yang tertuis didalamnya. Sedangkan terkadang aku agak nakal,
tak suka terkesan formal hanya untuk mencapai 1 tujuan yang kupikir terlalu
bodoh jika hanya mengandalkan pokok-pokok yang biasa tertulis disilabus
Pendidikan Agama Islam. Tapi ya sudah, memang segala kebenaran seolah dibungkam
dengan faham-faham konyol yang sama sekali tak bersinggungan dengan ajaran
baginda Rasulullah salallahu alaihi wassalam. Begitulah ketika aku
menyadari bahwa kekejaman yang terjadi di film-film ataupun sinetron memang
bukan mengada-ada. Tapi memang kenyataannya kebohongan besar nampak bertengger
dengan gagahnya bak burung garuda yang dipajang bersama bubuhan simbol-simbol
dasar negara. Duh, betapa nampak kekacauan ketika segala yang seharusnya
dilakukan telah dikesampingkan bahkan bagai dikubur hidup-hidup? Lihat saja,
sebab kebenaran tidak mudah untuk diterawang dan diraba.
O iya, aku meh crita apa
malah sing tak critakke apa?
Abaikan tulisanku yang di atas.
Sebab hanya orang-orang yang berpikir saja yang bisa menafsirkan maksudnya.
Begitu ya? Tenang saja, kula mboten mekso njenengan maos kok!
Bagi beberapa temanku, mungkin hari itu adalah hari yang special
dan penuh kebahagiaan. Betapa tidak, jika mereka berhasil melakukan
“mungkin” apa yang diinginkan maupun harapan yang menjadi kenyataan. Atau
barangkali, sebuah senyum mendarat ketika mereka sedang asyik-asyiknya
merayakan kebahagian bersama teman-teman. Atau apalah, intinya saat itu memang
aku merasa kebahagiaan banyak singgah dihadapan banyak orang. Aku melihatnya
dari berbagai sisi pandang ketika media sosial mengabarkan perihal mereka. O
iya, tentu saat itu kau juga sedang bahagia bukan? Ya, lagi-lagi kusemogakan
agar kau selalu bahagia.
Seperti yang dikatakan bapakku
di awal tulisan ini, saat itu aku sedang berada di ruang tunggu sebuah rumah
sakit yang dulu pernah dihuni beberapa minggu oleh kakekku yang sempat
dirundung kesakitan. Aku hanya memikirkan bagaimana sebuah topik pembicaraan
akan menjadi obrolan hangat antara aku dan bapak. Kau jangan cemburu ya. Sebab
tak ada tempat yang lebih baik dari seorang lelaki selain suami dari pemilik
rahim yang tabah; ibuku. Jadi, tolong harap mengerti. Sekalipun aku lebih
mencintainya daripada kau. Yang terpenting, biarlah cintaku benar bernilai
ibadah.
Ya, aku bertanya kepada bapakku
banyak hal. Tentu tentang hari itu, dimana sebuah tragedi menghampiriku dan
membuat tawamu terhenti sejenak (mungkin). Benar saja, aku lupa bagaimana
mengendalikan fungsi ragaku yang biasa kurepotkan ini. Aku lupa bagaimana
mungkin sebuah kendaraan berada tepat dihadapanku tanpa ku tahu. Aku lupa
bagaimana bisa ragaku tergeletak tak berdaya di sebuah jalan yang biasa
kulewati demi mengikuti langkahmu. Bahkan aku lupa bagaimana lagi aku harus
menceritakan kepadamu ketika tak ada lagi yang kuingat kecuali tentang sebuah
sebab. Hanya saja, aku merahasiakan ini dengan Kekasihku yang pasti lebih
mengerti diriku hingga saat ini. Segalanya kutumpahkan melebihi berkali-kali lipat tulisan ini
kepada-Nya. Sungguh, aku menemukan ketentraman hati, meskipun aku harus rela
kehilangan tempat untuk sejenak menyapa teman-temanku. Karena kejadiannya
begitu tiba-tiba. Maka kepadamu, maafkan aku untuk keterlambatanku mengabarkan
hal sepele ini padamu saat itu. Ketiga kalinya, semoga kau memaafkanku. Bersedia
ya? Kumohon.
Lengkap saja, saat kau
menghubungiku dan tak kujawab, mungkin kau sudah tahu sebab apa yang membuatku
tak menjawab panggilanmu. Karena begitu cintanya Ia, sehingga tegurannya sampai
kepadaku dalam satu hari itu. Berkali-kali, bahkan ketika handphone-ku
tak lagi bisa kugenggam dan lepas begitu saja. Aku merelakannya setelah
aku teringat bahwa hartaku bukan milikku. Termasuk diriku pun, bukan milikku. Sehinggga kapan pun Ia mau mengambilnya, biarkan saja, demi
kecintaanku kepada-Nya. Ah, sungguh beruntungnya aku, memiliki Kekasih yang
tiada henti merahasiakan kasih pada manusia hina sepertiku. Sedangkan
berkali-kali selalu datang kenikmatan yang tiada tara jika dibandingkan dengan
apa yang kau berikan padaku.. haha. Namun aku manusia yang tak tahu etika ya,
terkadang larut dalam nafsu yang mengantarkan pada hal-hal jemu. Maka ketika
itu Ia pun menegurku dengan peringatan-peringatan kecil serupa tragedi yang
sempat menjadi kabar duka bagimu. Tapi tenang, aku masih diberikan kesempatan
untuk revisi diri. Sehingga kelak aku dapat kembali melabuhkan cintaku
bersama-Nya. Begitulah abadinya cinta (kita) ya? InsyaAllah..
Aku kembali mempertanyakan
perihal dosa apa yang membuatku “jatuh” dan benar-benar jatuh saat itu.
Barangkali aku telah menduakan cintaku kepada selain-Mu? Atau barangkali
keridhoan-Mu tak sampai jika aku mencintai selain-Mu tanpa ikatan serupa
bapak-ibukku, ya? Eh, jika bukan tentang cinta, apakah aku saat itu sedang
diambang jatuh cinta pada asal masal jasadku diramu? Sehingga nampaklah
predikat burukku sebagai manusia yang memiliki kecintaan pada dunia? Ya,
mungkin hal ini termasuk menjadi suatu renungan yang akan membawaku pada tahta lebih
mulia untuk lagi-lagi mendekat pada-Mu. Sebab aku tak ingin menjadi buta dengan
kebodohanku yang pernah menghamba pada nafsu. Lagi-lagi benar, aturanmu
membawaku pada posisi yang pantas, sebagaimana fitrah yang terarah.
Sebenarnya aku mengelak tentang
permintaanmu untuk menceritakan kronologis kejadian yang menimpaku. Lihat saja,
kekataku tak ubahnya mengalihkan pembahasan yang lain. Seolah ingin lepas dari
cengkraman untuk tidak menimbulkan rasa “kasihan” yang mendalam dilubuk hatimu.
Karena aku tahu, jika sampai aku membuat setitik air mata menetes dipipimu,
maka haruslah aku bertanggung jawab untuk mengusapnya dengan cara yang
barangkali tak kusangka-sangka. Sebab kau seringkali mengajarkanku banyak hal
tanpa berkata apapun. Itulah mengapa selalu kuambil jalan untuk menyaksikan
segala tindakan yang pasti menoreh ilmu baru bagiku. Sungguh, tentu tanpa kau
sadari, banyak hal yang kucuri selagi kau duduk maupun berdiri sambil menikmati
pahit-manis kehidupan ini. Wah, rasanya senang sekali jika sesekali kau datang
meski tanpa sengaja ada hal yang membuatmu terkagum saat aku sedang bercinta
dengan-Nya. Atau ketika kau menyambutku dengan senyum saat sama-sama kita
tersenyum dipintu keabadiann? Bergandeng tangan sambil melepas segala yang fana
menuju surga. Barangkali kisah kita akan lebih indah di sana. Semoga.
.
.
.
Cukup ya, aku tidak ingin
berlama-lama menatap layar monitor sambil membayangkanmu membaca rentetan
aksaraku pada permulaan senja ini. Sebab setelah ini aku harus menyambut malam
dengan beribu pandang sebelum suasana mengantarkanmu pada cahaya dikeheningan.
Di situlah, kita akan kembali berjanji untuk bersama-sama menggali masa yang
akan menjadi tempat kita bertatap muka. Kita akan bicara banyak hal, bukan?
Kurasa tentu. Sebab pada waktu yang lain kau pernah mengatakan tentang
pertemuan kita kelak. Di samping taman penuh bunga dengan aroma wewangian
surga, tentu dengan bibir kita yang saling menyuarakan tawa.
Salam
rindu,
Senja.
Komentar
Posting Komentar