Surga Kecil
Sekarang, hal yang paling kuinginkan adalah pulang.
Kerinduanku pada ibu memang sebuah harapan yang tak bisa ditawar. Mungkin
diusiaku menuju dewasa ini, waktu tak lagi lama untuk membersamai orangtua. Aku
terlampaui sibuk dengan duniaku yang baru, menuruti kemauanku dan lupa untuk
sesekali mendengarkan cerita mereka. Aku lupa, kesepian tak ubahnya membuat
lukisan-lukisan tentang raut wajah ibu yang semakin renta dan layu. Aku hanya
mampu memandangi kesendirian serta harapan yang tak hentinya mengisyaratkan
doa.
Memoriku menyeruak. Kurang lebih enam belas tahun yang
lalu, ibu dihadapkan pada pilihan yang sulit. Yaitu melepaskanku dan kakak agar
hidup bersama orang lain, yang tak lain adalah kakek dan nenekku. Bagiku,
dahulu segala keputusan akan dibatalkan dengan cara menangis. Tapi rengekanku
ternyata meninggalkan bekas yang membuatku sadar bahwa menangis bukan cara
menyelesaikan masalah. Sedangkan saat itu, kakak harus berpisah denganku yang
tentu membuatku seolah kehilangan nafas. Bagaimana tidak, setiap kegiatanku
selalu mengahadirkan dirinya. Mulai saat itu, aku suka menuliskan
"kesepian" dengan tinta yang hingga kini menjadi sahabat dalam
mencurahkan segala rasa. Aku merasa lebih pendiam dari biasanya.
Sedangkan lima tahun yang lalu, ibu memberikanku pilihan
untuk tidak tinggal bersamanya dengan sebuah alasan. Kupikir saat itu adalah
sebuah keberuntungan, tapi kenyataannya tidak. Aku merasakan ketidaknyamanan
yang mungkin serupa dengan kehidupan kakak dahulu. Meskipun aku tahu,
pengorbanan kakak lebih besar daripada hanya menuruti egoku dan meninggalkan
orang-orang tercinta dalam hidupku. Maka tak ada pilihan lain untuk pulang.
Sebab kepergianku akan mengisahkan sakit sebagaimana yang kukisahkan pada ibu.
Setelah berkali-kali aku harus dan selalu meninggalkannya,
aku pun mengerti bagaimana ia mendidikku. Tentang jarak, kasih sayang,
menghadapi pilihan, menidurkan kemalangan, hingga sampai saat ini aku dapat memahami
bagaimana bergaul dengan kehidupanku sendiri. Maka tak hentinya kupanjatkan
harap, agar kelak aku akan menjadi sosok ibu yang tak hentinya menjadi alasan
atas linang air mata bahagia anak-anakku. Sedangkan aku masih disini demi
menggapai keinginanku. Lebih dari itu, aku lupa bagaimana rindu itu dapat
mengalir dengan tulus.
Begini, ibu pernah bercerita bahwa semalaman ia tidak
dapat tidur. Aku menerkanya sebagai sebuah tragedi yang memaksanya harus rela
membelalakkan mata hingga surya kembali tiba. Namun ternyata dugaanku salah.
Sebuah kebahagiaan yang membuatnya tidak dapat memejamkan mata, ketika sebuah
pesan singkat yang kukirim melalui SMS kepadanya tak hentinya mebuatnya
bersyukur atas karunia Tuhan yang sempat singgah padaku. Aku mengabarkan padanya
bahwa sebab beasiswa, aku dapat menempuh kuliah dengan tanpa mengeluarkan
biaya. Sebagai ibu, aku belum begitu paham bagaimana kebahagiaan itu dapat
tersalurkan. Namun nampaknya kebahagiaanku tak dapat melebihi kebahagiann ibu
saat itu.
Kehidupanku disini, disebuah kota dengan beragam warna
dan etnis membuatku mengenal milyaran rupa. Begitu banyak hal yang perlu
dikuselami, pikirku. Aku harus mampu menyesuaikan diri, beraksi dengan potensi
yang kumiliki, agar bukan hanya mengenal tapi juga dikenal, berkompetisi, mengembangkan
hobi, menghadapi tantangan, hingga harus melakukan kemajuan dan selalu tentang
hal itu. Begitu beraneka-ragamnya harapanku untuk menyetuh dimensi-dimensi
kehidupan. Seolah diriku telah berkiblat pada tuntutan-tuntutan yang kuciptakan
sendiri. Hingga terkadang untuk tidak pulang, bukan lagi menjadi masalah
bagiku. Sedangkan disana, kerinduan ibu padaku menjelma pesan singkat yang ia
kirimkan demi menanyakan kabar, atau sekedar berpesan tentang kehati-hatian.
Terkadang ketika rindu, aku kembali membaca pesan ibu dilayar handphone sambil
terisak. Menyesali betapa ada secerca harapannya yang kuhapus dibalik
kerinduannya padaku.
Saat ini, dengan menyambut pagi, aku melihat
seberkas cahaya yang mengingatkanku pada harapan mulia. Ia bernama surga. Kata
orang, ia ada ditelapak kaki para ibu. Sedangkan aku sempat melupakan tujuan
utama itu. Maka, sebelum kerinduan benar-benar tumpah, aku ingin merajutnya
sebagai cerita indah yang kelak akan kulayangkan padanya. Tanpa perlu ia tahu,
bahwa kerinduan ini akan abadi. Aku ingin menggambarkan bagaimana surga kecil
itu senantiasa mengalirkan bebutir cinta pada kehidupanku, Bu.
Pucangan, 17 Januari 2017
Komentar
Posting Komentar