Sebelum Hari Berganti



Sebelum habis tanggal ini, 3 Februari yang begitu ungu. Sudah kuduga, akan banyak peristiwa tak disangka-sangka menginjak tahun 2017. Maka, aku akan mengabadikannya sebagai memorable moment. Meskipun malam ini, mungkin aku tak ingin serius menuliskan apa yang sebenarnya terjadi hingga saat aku  benar-benar menuliskannya sekarang. Tapi, lagi-lagi aku hanya tak tega menghabiskan sisa malam ini tanpa menulis sedikitpun. Sebab, 3 Februari membuatku terbayang tentang seorang bayi yang menangis karena harus menghadapi kehidupan dunia saat raga keluar dari rahim ibunya. Maka, kembali kumaknai hari ini sebagai kemenangan atas kehidupanku yang lalu.


Menjelang awal Januari, tepatnya tanggal dimana Senja dilahirkan, aku menumpahkan puisi pada jalanan yang basah akibat hujan. Kecelakaan kecil yang membuatku harus merepotkan banyak orang, dan membuat kekacauan kelas sebab ketidakhadiranku adalah awal 2017 yang tak terlupakan. Benar saja, maka tiga hari setelah kejadian, dihadapan dosen pengampu aku memohon maaf dan harus mempresentasikan materiku sendirian kepada teman-teman. Tentu sambil menahan kesakitan. Walaupun bagiku mudah saja, kisah Abu Dzar al-Ghifary cukup membuatku bercerita banyak hal. Pada intinya, aku kehilangan waktu berharga dan cukup melelahkan. Bagiku, aku tak dapat ingkar bahwa sungguh banyak orang yang kurepotkan. Awal yang kurang membahagiakan, memang. Tapi kutelisik sedapat mungkin untuk mencuri hikmah di sana. Maka kutemukan juga. Tanpa sesal, sebab aku masih diberi sempat untuk menghirup nafas kehidupan demi hidup yang lebih mapan.

Duh, aku bingung akan menuliskan apa lagi. Sebab sepi lebih dahulu menidurkan harapan. Dan aku, mulai dirayu bisik angin yang mengabarkan dingin. Sementara nyanyian serangga malam seakan dongengan yang menghantarkanku pada mimpi yang menunggu.

Januari, mungkin peristiwa paling mengguncang adalah perihal peristiwa yang telah kuceritakan. Maka, sebelum aku benar-benar terlelap, maka kukisahkan bagaimana menghadapi Februari sebagai bulan yang penuh dengan “buah manis” sebagai hasil pengorbanan Januari. Aku memetiknya dengan diliputi syukur sambil  membubuhkan harapan baru. Semoga Tuhan mengabulkan! Aamiin.

Ya, sebelum senyumku mengembang, aku sempat membuat raut wajah keputusasaan. Pada tanggal 2 Februari, pengumuman dilaksanakannya microteaching telah dipublikasikan disiakad. Maka, dengan bayangan penuh kekhawatiran, atas ketakutan bahwa namaku tidak lagi tercantum di sana. Sebab sebelumnya, namaku tidak terdaftar dan aku harus mengurusnya di akademik, mencari berkas  dengan membawa kecemasan bahwa aku akan menunggu pendaftaran kembali setelah satu tahun yang akan datang. Sungguh, bakal rumit jika itu terjadi. Saat itu aku hanya berpikir, mengapa jalanku begitu rumit. Sementara teman-temanku lancar tanpa halangan. Padahal, sama halnya dengan mereka, aku memenuhi persyaratan yang diinginkan. sementara aku harus menyelesaikan pekerjaan yang lain. Namun begitu menyenangkan ketika mendapati namaku dengan pengampu yang ternyata adalah salah satu dosen favoritku.

Lagi-lagi, 1 Februari menumbuhkan harapan baru. Aku harus bersaing dengan beberapa peserta seleksi demi mengikuti pionir kampus. Luapan rasa begitu dalam, tentang kebahagiaan, rasa syukur, kekhawatiran dan ketegangan segalanya tumpah disaat yang bersamaan. Namun, aku tak bisa menceritakannya secara blak-blakan. Sebab, aku belum dapat memprediksi bagaimana dan seperti apa tumbuhnya harapan yang kutanam itu. Namun yang kutahu, bagaimana perihal kata-kata yang tersampaikan padaku begitu nampak seolah menyiram harapan yang telah kutanam untuk tumbuh kembali. Untuk hal ini, akan kukisahkan detailnya pada lembaran yang berbeda. Semoga Tuhan membubuhkan harapan mulia padaku untuk membawaku terbang setinggi mungkin. Aamiin..

Sebenarnya, beberapa kali aku mengalami kejadian yang begitu mahal makna untuk menjadi bahan perenungan. Namun kembali pada pernyataan sebelumnya, bahwa aku tak ingin serius menuliskan tulisan ini. Maka, mungkin saat harapanku telah berbuah, aku akan menaruhnya dalam wadah yang berbalut puisi dan akan kupersembahkan kepadamu. InsyaAllah..

Sayang sekali, malam semakin meninggi dan hari pun akan berganti. Dengan berat hati, maka kututup lembaran ini meski belum terpenuhi segala luap rasa di hati.

Ocehanku, cukup sebagai penghantar untuk kembali melanjutkan jurnal, laporan, lukisan, dan tentu kewajiban pada Kekasihku dan kesibukan atas dunia yang penuh fatamorgana ini.

Terakhir kalinya, kuucapkan jutaan maaf pada Ibuku yang sempat kugores rahimnya saat melahirkanku. Pada tanggal dan bulan yang sama, semoga setiap luka mampu kubayar dengan pengabdian yang kekal. Aamiin..

Sragen, 3 Februari 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal