Dua Belas Warna
Terkadang
kita melihat keberhasilan seseorang dan lupa memandang sejauh apa ia melangkah.
Seperti saat ini, aku menceritakan sebuah hal yang membuat seorang teman
menangis terharu. Ia mendengar lisanku berkata tentang kehidupan masa kecilku
yang diliputi bahagia dan rasa syukur. Ia juga menyimak bagaimana aku
mengabulkan keinginanku untuk membeli sebuah tas serupa koper yang berisi
puluhan crayon di dalamnya. Hingga ia paham apa yang membuatku menjadi manusia
yang berbeda dari kebanyakan orang yang ia temui. Menurutku, aku hanya
menjalankan kehidupanku untuk tetap maju.
Aku
pernah ditanya seorang guru kelas saat masih duduk di kelas 2 SD. Ia bertanya
kepada setiap siswa tentang cita-cita. Sejenak, aku sempat berpikir bahwa aku
ingin menjadi guru. Sebab, di TK, aku dapat mengenali beragam pengetahuan dari
guru yang senantiasa sabar untuk mendidik kami semua. Terlebih, aku memiliki
kisah tersendiri yang tak pernah aku lupa, bahkan juga tak pernah dilupakan
oleh guru TK-ku. Sebab, setiap kali ibukku bertemu dengan beliau, selalu saja
namaku disebut untuk menannyakan di mana aku sekarang dan bagaimana keadaanku.
Itu artinya, ia mengenal betul bagaimana tingkahku saat diajarnya dulu.
Benar
saja, ketika aku terpaksa berangkat sekolah tanpa arahan dari ibu, sebab saat
itu aku berada dirumah kakek dan nenek karena ibu harus menginap di rumah sakit
untuk persalinan atas kelahiran adik kembar-ku. Sehingga, nenek yang saat itu
tidak tahu tentang seragam apa yang harus kukenakan untuk berangkat sekolah
hari itu, dengan ketidaktahuannya memberikan seragam bebas untuk kupakai. Namun
ketika di sekolah ternyata pakaianku berbeda dengan teman-teman. Ketika itu aku
belum begitu paham untuk menghafal hari dan seragam apa yang harus kukenakan.
Maka aku tak dapat mengelaknya.
Bukan
hanya itu, kebiasaanku yang setiap pagi disiapkan ibu dengan bekal nasi dan
lauk, hari itu tak juga kudapatkan. Aku pergi ke sekoah dengan tangan kosong.
Sehingga sewaktu istirahat, aku hanya terdiam dengan sempat menaruh keinginan
untuk makan seperti halnya teman-teman yang lain. Sebab, aku tak kuasa meminta
pada nenek tentang perbekalan yang mestinya kubawa. Sehingga ia hanya
memberikanku beberapa uang recehan untuk kubelikan makanan. Namun aku hanya
mampu menerimanya tanpa berani membantah bahwa aku tidak terbiasa jajan saat
sekolah. Aku hanya mengenal masakan ibu dan itulah yang selalu kunikmati waktu jam
istirahat tiba.
Ternyata
ibu guru paham mengapa aku terdiam tanpa membawa bekal. Ia juga tentu paham
bahwa ibuku sedang melakukan persalinan. Karena kakek yang memberitahukannya
tentang keadaan ibu ketika mengantarkanku. Maka, sampailah kepadaku sebuah
pertanyaan, “kamu tidak makan, Nak?” begitul kira-kira. Pertanyaan lembut yang
terlontar dengan penuh kasih sayang itulah yang membuatku memilih untuk tidak
menjawab pertanyaannya. Aku hanya mampu membendung kesedihan hingga pertannyaan
guruku tak ubahnya membuat air mataku menetes dan menangis sejadi-jadinya.
Dipelukan ibu guru, aku seolah mendapatkan kasih sayang ibu yang saat itu aku
rindukan. Berharap, ibu akan segera pulang dengan keadaan selamat. Itu saja.
Sebab aku selalu merasa takut ketika mendengar seseorang yang kusayangi harus
berada di rumah sakit. Pikiranku begitu liar hingga membayangkan apa yang
seharusnya tidak aku pikirkan.
Maka
aku pun diantar bersamanya menuju kantin lalu dibelikannya beberapa makanan
yang dapat kunikmati bersama teman-teman. Namun aku terlanjur larut dalam
genangan kerinduan yang membuatku seolah merasa tak bernafsu untuk makan.
Sedangkan ibu guru membisikkan kata-kata padaku yang membuat aku berhenti
menagis saat itu. Namun sayang, aku lupa kata-kata apa yang membuatku kembali
mendapatkan senyumku. Ibu guru, kurasa ia yang lebih memahami diriku saat ibu
sedang tidak bersamaku. Itu sebabnya, aku pernah bercita-cita menjadi guru. Ia
bisa menjadi orang tua kedua bagi murid-muridnya. Itu saja alasannya, dulu.
Menginjak
kelas empat SD, cita-citaku bukan lagi menjadi guru. Aku ingat betul ketika aku
ditanya oleh seorang guru seni budaya, aku menjawabnya dengan yakin bahwa aku
ingin menjadi pelukis. Saat itu aku sedang dirundung kecintaan dengan aktivitas
melukisku yang dapat memberikan kepuasan bagiku dalam mencurahkan perasaan.
Selain itu, aku merasa terhibur dengan menggambar sesuatu setiap harinya tanpa
tuntutan tugas. Disitulah aku paham bagaimana aku harus mengembangkan
ketertarikanku dengan bercita-cita sebagai pelukis. Saat mengenal dunia lukis
yang mungkin tak seberapa bagi seorang anak SD, tapi saat itulah aku mulai
bertarung dengan permasalahan, tuntutan, keinginan, pengorbanan, perjuangan,
yang semua itu aku temukan saat mengenal dunia lukis. Benar saja, aku
dihadapkan dengan berjuta tantangan yang mengejutkan.
Barangkali,
mudah saja bagi kita untuk membeli peralatan sekolah atau bahkan membeli
barang-barang demi menuruti hobi. Apalagi hanya sebuah crayon yang saat itu
mampu dibeli dengan harga 50 ribu untuk mendapatkan 48 warna. Itu saja belum
dirasa komplit bagi teman-teman sekelasku. Ada yang memiliki lebih dari 50
warna yang berbeda dalam satu tas. Masih ditambah dengan pensil warna, kuas,
pilox dan semacamnya agar menghasilkan hasil lukis yang indah. Bagiku, memiliki
semuanya adalah keinginan terbesarku saat itu. Namun aku tak bisa menuntut
lebih. Sebab aku tahu keadaan ekonomi keluarga yang tak mungkin cukup untuk
membeli semuanya. Maka kuputuskan sendiri untuk mengambil langkah tanpa
merepotkan kedua orangtuaku. Aku menaruh sisa uang jajan pada kotak kecil
serupa wadah permen untuk kutabung dengan harapan kelak akan dapat membeli
crayon warna seperti yang dimiliki teman-temanku.
Sebelumnya,
memang aku pernah meminta pada bapak untuk dibelikan crayon. Namun ia hanya
membelikanku sebuah crayon yang berisi 12 warna saja. Meskipun aku meminta
warna yang lebih saat itu, tapi aku paham, bahwa harga crayon saat itu sangat
tinggi. Mungkin untuk membeli 28 warna, kita sekeluarga akan mengorbankan jatah
makan dalam sehari. Maka aku dapat memahaminya untuk tidak meminta lebih.
Meskipun bapak tidak melarangku, namun setidaknya raut wajahnya mengisyaratkan
sesuatu. Itulah kisahku, juga bapak yang selalu mendidikku dengan bahasa-bahasa
isyarat yang kurasa lebih mengena daripada kata-kata.
Dengan
berbekal crayon berisikan 12 warna, yang tentu bukan semacam koper seperti yang
aku ingin, namun disinalah Tuhan memberikanku kelebihan yang barang tentu tidak
dimiliki orang lain. Aku menemukan kreativitas. Di sinilah aku mengerti
bagaimana mencampurkan warna agar menjadi warna lain yang berbeda. Hingga suatu
saat pada lukisanku, aku merasa keindahan terasa nampak ketika bubuhan warna
baru terlukis pada lembar buku gambarku. Saat itulah, teman-temanku bertanya
padaku, bagaimana aku mendapatkan warna “baru” itu. Yang bahkan tidak dimiliki
oleh mereka. Sebab aku mengkombinasikan beberapa warna hingga tercipta warna
hijau lumut, tosca, ungu, biru, orange, merah, pink, yang beraneka ragam.
Semenjak itulah kepercayaan diriku mulai tumbuh meskipun dengan banyak kekurangan
pada diriku. Aku masih dapat menempuh jalan kreativitas, pikirku. Maka tak
ubahnya semangat melukisku kian bertambah. Aku menemukan kebahagiaan ketika
bercengkrama dengan warna.
Sekilas
tentang kehidupanku bercinta dengan warna, bahwa kehidupan bisa saja dibuat
dengan cara kita menciptakan warna baru dalam hidup. Seperti halnya 12 warna
yang dapat dikombinasikan sehingga terciptalah warna baru. Sama halnya
kehidupan manusia yang terkadang membutuhkan campur tangan orang lain untuk
membangun rasa syukur dan kebahagiaan. Sebab, kekurangan yang kita miliki
terkadang yang memberi arti dan mengingatkan kita pada sesuatu yang tidak
disangka-sangka dapat kita lakukan atas kehendak Tuhan. Beginilah Tuhan
mengajarkan hal baik untuk kehidupanku dengan kesederhanaan hidup bersama
orang-orang yang tak henti mencurahkan kekayaan cintanya. Maka, selalu tercipta
warna baru dalam kehidupanku bersama suka-duka mereka. Sebuah lukisan kehidupan,
yang mengajarkan!
Pucangan, 17 Januari 2017
Komentar
Posting Komentar