Gejolak Menyambut April




“Alloohummaj’al awwala haadzan nahaari sholaahan wa ausathohu najaahan, wa aakhirohu falaahan, yaa arhamar roohimiin. Alloohumma innii as-aluka ‘ilman naafi’an wa rizqon thoyyiban wa ‘amalan mutaqobbala”.
Aamiin.



Biasanya, pada malam yang penuh pengharapan, hamba-hamba Tuhan yang rindu keabadian melantunkan dialog kecil pada pelataran fana. Lalu sekedar menyapa bintang atau bulan yang bertengger di wajah keagungan. Sedangkan mulut ayam tak kuasa menahan kerinduannya sambil terus melantunkan irama perihal nafas yang senantiasa terjaga. Hanya detik jarum jam selalu menjadi pertanda bahwa kebisingan dan segala pengibaratan dunia tak hentinya melahirkan problema. Aku hanya menanti sambil terus berpuisi pada kerinduanku sendiri.

Saat kemungkinan datang setelah diusahakan, maka rumus pasti keberhasilan akan datang. Ketika segala prasyarat maupun kewajiban telah ditunaikan, maka mestinya hak segera didapatkan. Aku membiarkan teori-teori mengelabuhi hidupku yang tanpa daya ini. Sambil tersadar, bahwa keyakinan terhadap apa yang kusemogakan akan menjelma kenyataan dan berharap akan melahirkan harapan baru untuk merajut kembali doa-doa yang sempat tercecer di sebalik tengadah tanganku yang tak henti menyembunyikan ingin.

Pada masa yang sama, seberapa jauh orang-orang berusaha atas harapan yang akan ditempuhnya? Bahkan aku tak pernah paham, apakah tak cukup pengorbanan untuk membeli sekedarnya keinginan yang pernah kubisikkan pada langit-angit malam? Sedangkan aku begitu menelisik keingintahuan atas usaha orang-orang agar aku tahu kekurangan dan kesalahan apa yang harus kuperbaiki menjelang terkabulnya segala impian. Namun tak kutemukan hal berarti bagi diriku setelah banyak hal kuceritakan tentang ingin yang tertunda ini.

Terkadang, aku berpikir sambil melayangkan seberkas surat kecil pada semesta, perihal rasa yang tak kunjung menyingkap kekata untuk terus saja menyuarakan apa yang ada di sudut mata maupun rongga dada paling rahasia. Mungkin sejalan dengan nadiku yang tiada berhenti berdetak atas izin waktu atau seperti jantungku yang tak hentinya mengalirkan darah atas raga yang hingga kini dapat bertahan dengan kekuatan dan cinta dari yang kuasa. Aku tak pernah tahu bagaimana harus menghakimi keadaan. Sebab, selalu saja kutemukan diriku dalam permasalahan atas sifat dasar seorang insan. Tentu, aku lebih bersalah dari keterikatanku pada sesuatu. Maka, kembali aku mundur dan mengalah.

Maka, jika sebuah gejolak kecil sempat menyanyat hati, aku berharap ini adalah cinta Tuhan yang utuh untuk melihatku kembali berdiri dan melakukan hal-hal lebih tanpa kuduga ataupun kusadari. Tuhan ingin melihatku berlari mengeja teka-teki yang terus dan tak henti kupelajari. Hingga akhirnya terjal yang hanya kudapatkan ini menjadi sebuah pengharapan tentang kemampuan atau keputusasaan sebagai kunci atas pilihanku sendiri. Sebab, keyakinan bahwa Tuhan turut mengamini.
Pada sebuah sebab, aku sempat mengeluh atas keputusasaan. Bagaimana mungkin kenyataan yang pasti akan menemui keberhasilan, harus kembali kuperjuangkan sebagai usaha menempuh kehidupan yang sulit. Sedangkan teman-temanku, telah jauh meninggalkankanku untuk melanjutkan perjalanan menemui sang waktu. Aku hanya bisa berbicara pada dinding-dinding yang mati. Aku hanya bisa bertanya tentang segala kesulitan yang kuhadapi.

Mungkin dibalik persoalan hidupku ini, kerinduan benar-benar membuatku terus menengadah sambil membicarakan perihal harapan besar itu. Maka tak hentinya kucurahkan segala harapan pada hamparan yang luasnya melebihi samudra, lalu dengan sengaja kutaruh secawan air mata atas kesungguhan yang kutunjukkan bersama upaya sambil terus melantunkan nada bertajuk “semoga”. Namun lagi-lagi batinku mengatakan sesuatu. Bahwa Tuhan ingin melihatku membangun berkali-kali lipat upaya, untuk menukarnya dengan realita sebagai perwujudan doa. Ya, aku berbeda dari mereka yang dengan mudahnya menyentuh permukaan langit, sedang aku masih ingin meyelami lautan sambil melihat kebermaknaan untuk kubingkai lalu kupersembahkan serupa puisi pada keagungan rahim semesta. Maka, lihat saja apa yang terjadi, nanti !

 Kampung halaman, 2017.

Komentar

  1. Maka, lihat saja apa yang terjadi, nanti ! Semangat April! selamat berpuisi!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal