Sebait Nostalgia
Suatu
waktu, saya pernah mendapat amanah untuk berbagi bagaimana membaca puisi. Tapi bukan
kali ini, sebab anak TK belum ngerti. Sekarang fokus ke Tknya dulu. Bermain
sambil belajar, seperti yang saya lakukan saat menulis pengalaman kali ini.
Jadi, intinya santai saja. Sebab beban jika harus menulis segala yang
berhubungan dengan kepengene ati. Rikala, hati juga butuh
istirahat tho?
Maka,
setelah di beri tanggung jawab dan saya sepekat, akhirnya tepat pukul 08.10 WIB
sampailah saya di sebuah Taman Kanak-Kanak di bawah naungan Yayasan Baitul
Misbah bernama Insan Mulia yang bertempat di Kecamatan Kalijambe Kabupaten
Sragen. Di perwilayahan tersebut, riuh anak-anak menyerupai dengan lebah yang
tak habis-habisnya mendendangkan perkataan jemu. Sudah ku duga, terlalu sulit
menjaga kesabaran agar tetap on ! Pada akhirnya, saya pun masuk uji
nyali. Semacam uji kesabaran yang barangkali tak pernah di ujikan pada Ujian
bertaraf Nasional. Entah jika Internasional pernah memakai uji semacam ini..
Satu jam berlalu, saatnya saya
masuk ruangan dan berkenalan. Tentu memerlukan teriakan dengan harapan
mengalihkan perhatian. Untung saya terbiasa berteriak di muka umum. Jika tidak,
maka saya sebut sesi kedua ini adalah uji terberat. Ya, yakinlah jika Allah Maha
Pemurah. Tak kuduga, tatapan mata kecil itu memandang ke arah saya dengan rasa
ingin tahu yang begitu puitis. Tentu, sempat membayangkan bagaimana jika saya “beranak
banyak (akeh)”. Duh, lebih lagi saya tak mampu membayangkan mengapa saya
berpikir demikian. Memang, kadang pemikiran nylonong begitu saja. Tanpa nyuwun
sewu !
Lanjut..
Dengan gembira, mereka menuju
meja yang telah disiapkan dengan rapi oleh para ustadzah dengan penuh
kesabaran. Saya pun turut menjadi ustadzah sementara disana. Meskipun asing
ditelinga, namun sesekali membiarkan hati untuk rela menerima segala nyata yang
ada (kayak novel romance yang pernah tak baca). Ya, begitu menggelitik dan
sedikit asyik menghadapi tingkah anak-anak TK. Ada yang unik dengan memainkan
warna sesukanya, adapun yang diam namun menghanyutkan. Sebab diam-diam
memperhatikan. Guru mana yang tak terharu jika begitu? Baper iya ! Salut deh ! Ada pula yang nanya ini itu
semacam kepo ala anak-anak sekarang. Ada juga yang iseng biar aku marah mungkin
ya? Tapi untungnya saya masih punya stok kesabaran setelah dari PMI.
Alhamdulillah..
Sudah ya? Intinya ya satu, kita
terkadang hidup hanya melulu bercerita tentang lingkup kehidupan kita sendiri. Tanpa
kita sadari, masih buanyak kehidupan orang lain yang lagi-lagi harus dan mesti
kita pelajari. Biar suatu saat nanti, kita nggak kaget menghadapi banyak orang
di luar sana. Sebab itulah keanekaragaman manusia, (bahasa inteleknya saya
lupa) yang perlu kita paham dan sadari dalam diri kita untuk menanamkan
toleransi positif mengenal manusia lainnya. Begitu ya..
Setiap kali berpapasan dengan
kata keanekaragaman, majemuk, dkk, saya selalu teringat teman saya. Ya, itu
saja..
Memori Jumat, 10 Maret 2017.
Komentar
Posting Komentar