Mengasuh Kata dalam Jejak “Perempuan Mengasah Kata”
Sabtu Pon, 8 April 2017—Launching Baca Puisi di Rumah Sastra Sragen,
Jalan Raya Sragen – Tawang Mangu Km. 8 Mojokerto Sragen telah terlaksana dengan
lancar. Dalam Antologi “Perempuan Mengasah Kata” yang disunting oleh Wijang
Jati Riyanto, terdapat 10 penyair perempuan turut tergabung dalam kumpulan
puisi Pendhapa 19 ini. Di antaranya; Ayu Cipta, Denis Hilmawati, Erlita Nila
Sari, Murtiningsih, Pipiek Isfianti, Sri Kanti Kupu Hitam, Sus S. Hardjono,
Widya Ningrum, Windu Setyaningsih, dan Yanti S. Sastro Prayitno. Mereka berasal
dari berbagai daerah di Indonesia khususnya Jawa Tengah, diantaranya; Semarang,
Kudus, Solo, Magelang, Purwokerto, Bojonegoro, dan lain sebagainya. Sehingga
dalam Launching ini pun, para penyair tak ingin ketinggalan memeriahkan acara
Pembacaan Puisi yang dilanjutkan dengan diskusi sastra.
Hingga prosesi kegiatan berlangsung, nuansa tak
hentinya bagaikan reuni antar penikmat sastra. Meskipun waktu semakin larut
serta penyair demi penyair telah usai mempertunjukkan kecintaannya pada puisi,
tak ubahnya perbincangan hadir di sela-sela pertemuan ini. Sampailah hari
berganti, launching ditutup dengan foto bersama sebagai saksi bisu
terlaksananya ritual sastra bertajuk “keperempuanan” ini.
Meskipun perempuan menjadi tema dalam acara kali
ini, tidak menutup kesempatan untuk semua pelaku sastra dan masyarakat umum
untuk bergabung. Menjadi saksi, nimbrung, atau bahkan membacakan puisi.
Tak kalah seru, tamu undangan dari Mantan Bupati Sragen Agus Fathurachman,
Kepala Sekolah MAN 1 Sragen, Sumiran serta pembawa acara sekaligus budayawan
Sragen Pine Wiyatno seolah menjadi bumbu penyedap dalam Launching yang
terlaksana hingga tengah malam. Ditambah lagi dengan kehadiran Wijang J.
Riyanto yang aktif beraksi di Taman Budaya Jawa Tengah, Suyitno Ethek beserta
keluarga, Iman Subagyo, Sang Bayang, Rifat Petir, Didiet Jepe, serta Mas Ari
dan Mas Dwi dari Sastra Etnik Bojonegoro, dan masih banyak lagi.
***
Pada kesempatan emas ini, sungguh sebuah kebanggan
turut menjamu, menyaksi, serta berpuisi dihadapan para penyair yang tentu lebih
banyak makan garam. Maka bagi saya moment serupa inilah yang menjadi
ajang untuk belajar, memperbanyak persahabatan, serta pengalaman dan tentu
pertemuan yang menyisakan kenang; mencipta candu untuk kembali temu. Meskipun banyak
dari mereka berusia jauh lebih sepuh, justru menambah ketertarikan saya
untuk hadir dalam acara ini. Di samping meng-iya-kan ajakan Catur Hari Mukti
untuk turut membacakan puisi sebagai penyair Sragen yang ditunggu-tunggu,
katanya.
Hingga tepat sore
hari menjelang senja, tibalah saya di Rumah Sastra Sragen yang merupakan
kediaman dari Bu Sus S. Hardjono. Sehingga, kami beserta para pemuda yang lain
turut membantu mempersiapkan segala sesuatu sebelum terselenggaranya acara. Termasuk
menyiapkan tempat, menyediakan konsumsi, serta menyambut kedatangan tamu dengan
mempersilakannya menyandarkan raga senyaman mungkin. Sebab, tamu semakin ramai
berdatangan hingga kami disibukkan dengan urusan dapur. Ya, seakan menjadi
panitia dadakan. Sebab, hari sebelumnya, saya tak bisa urun apapun
dikarenakan kesibukan kuliah-nyambi di Surakarta.
Memang, tahun
2014 yang lalu, acara temu penyair Puisi Menolak Korupsi pernah diadakan di
Sragen. Tepatnya di MAN 1 Sragen, tempat Bu Sus mengajar. Saya masih
mengingatnya betul, bagaimana polah saya hingga menjadi saksi yang masih
membisu di antara peranakan kata-kata. Sebab, saya hadir dengan meminta izin
turut menyaksikan dan sama sekali belum berkeberanian untuk menampilkan puisi
dihadapan banyak orang. Sebab, dahulu saya hanya sebagai penikmat sambil
berusaha menjadi “yang dinikmati” *ups. Tanpa ada kawan, hanya berbekal
keinginan saat masih awam-awamnya mengenal sastra dan bangku kuliah saat itu. Ternyata
benar, sastra telah membawa saya berjalan—berlari lebih jauh. Sebab dari
pertemuan ini, saya mengingat bahwa dulu saya tak mengenal apapun.
“Apresiasi”. Hidup
selalu memiliki aroma estetik. Begitu pula dengan sastra, khususnya puisi. Keindahan
bisa jadi berpangku dari rasa pahit dan kesakitan. Ya, kembali menilik teori
cara pandang, mengumbarnya sebagai realitas serta menggabungkannya menjadi
kolaborasi kehidupan yang mantap. Selama kesekian unsur tercampur, kita akan
asyik menyelami pulau makna yang tiada habisnya. Jika saya boleh gambarkan,
serupa membaca puisi! Angsal nggih? (teringat: kata yang saya ungkapkan
sebelum membaca puisi dalam pertemuan ini hehe).
Menjelang pembacaan puisi, saya
sempat dirundung kebingungan tentang apa yang akan saya baca. Sebab tema kali
ini adalah “perempuan”. Sedangkan saya hanya menyediakan beberapa puisi karya saya
dan puisi catatan yang pernah saya tulis dahulu. Maka tanpa berpikir panjang
dan berlagak menjadi layaknya penyair betulan (angsal nggih?),
akhirnya saya memutuskan untuk membaca tanpa latihan. Mengajak santai diri ini
dengan kesibukan yang masih harus diselesaikan. Tentang nggodog banyu,
nggawe kopi, ngangkati roti, ngurusi konsumsi dan sebagainya. Akhirnya,
puisi dadakan menjadi pilihan pun tantangan. Dalam diri hanya mampu menepati
janji, bahwa saya benar-benar mencintai dunia ini. Tentu dengan kejujuran,
ketulusan, hingga saya bisa mengejar makna dalam setiap kata. Seperti menangkap
kupu-kupu di taman terbuka yang penuh dengan bunga-bungan. Duh, asyiknya..
Saat sebelum dirundung
kesibukan, saya sempat meminjam buku antologi puisi yang sebelumnya berada
dalam genggaman penyair asal Nganjuk. Setelah ia letakkan, saya mengambilnya
sambil berharap ada puisi yang pas untuk saya tampilkan. Ternyata benar, saya
menemukan sekeping mutiara dalam dasar lautan gelap. Memaknai, menghayati
sambil menelusuri maksud apa yang hendak disampaikan penulis dalam puisinya. Ya,
puisi berjudul “Sumpah Drupadi” karya Bu Sus menjadi pilihan yang tepat. Di lanjutkan
dengan sesobek kertas berisikan puisinya Putu Wijaya berjudul “Sajak dari
Anaknya yang Terpidana Mati”.
Membawa nama Sragen. Di antara
penyair senior tentu harus menampilkan sesuatu yang berkesan (inginya begitu). Sembari
melantunkan basmalah, saya pun melangkahkan kaki menuju perwilayahan di mana
disanalah terdapat muara segala pandang tertuju. Dengan lampu kuning bersinar
membasahi wajah serta tangkai jemari yang suaranya terdengar lewat bisik angin
malam. Lisanku terus berucap, menelanjangi kekata hingga luruh sudah segala
yang terbaca. Kian jelas rerintihan puisi itu terus menangis layaknya duka
Drupadi. Lewat aku—Drupadi kembali menangis.. merintih..
Mari, kubacakan
puisi..
Sumpah Drupadi
Oleh: Sus S. Hardjono
Maka mata itu takkan bisa melotot dan jatuh ke lantai
Mata mata itu hanya akan bisa melihat gelap
Tak satupun yang bisa melihat tubuh
Tak satupun yang bisa menelanjanginya
Meski kain membebat tubuhnya
Dipaksa paksa ditarik tarik tapi takkan habis habisnya
Selesai bebatan kain menutup aurat sucinya
Duka Drupadi duka kita semua
Airmata drupadi yang kering atas nama luka dan cinta
Penghinaan dan penistaan perempuan
Sejarah panjang sepanjang kain Drupadi
Tak kan berhenti, meski tangan tangan Dewa
Telah campur tangan
Karena begitulah hati dan nafsu
Hanyalah beda satu helaan
Dosa dan pahala sangat dekat sedekat urat
Maka sumpah itu, mengingatkan
Mantra mantra bumi yang terjaga
Keramas darah dan anyir
Dan langit menggugat kelir
Inilah puisi itu
Mantra perempuan yang terajam
Semenjak buah kuldhi jatuh dari surga
Buat rebutan belatung dan predator cinta
Sragen, 2017-02-25
//Inilah puisi
itu//. Benar saja, aku cukup membawakannya sebagai pengisi sunyi malam ini.
Tanpa sinyal dan tanpa kabar ibu. Sebab malam semakin larut, sedang aku sibuk
bermesraan dengan puisi pada malam Minggu yang masih saja sunyi. Kini telah
kulayangkan pesan dua orang yang memenjarakan kesedihan orang lain dalam kurungan
aksara. Jiwanya kubiarkan melayang, singgah pada relung hati tiap saksi dalam malam
yang penuh bintang kala ini (mungkin; sebab aku tak sempat melihat langit).
Aku teramat lega,
puas, dengan ungkapan dasanama kebahagiaan lainnya. Sebab, kali ini aku
dapat bersua, menyapa dan mengisi malam dengan kebersamaan. Bagiku, inilah
puisi yang membangunkan dirinya dari lembaran kertas-kertas atau tumpukan buku
yang saling mengumbar rindu. Namun kali ini, aku tetap pada tempat dimana aku
harus melagukan keinginanku menjadi senyaring-nyaringnya lagu. Jiwaku berpaut
pada sesuatu dan harus tetap begitu.
Setelah tega
memainkan diksi dalam aksi, ku cari diriku ke dalam panggilan dan rayu jiwa
untuk segera memastikan keadaan ibu. Tentu untuk pulang. Walaupun pada akhirnya,
beberapa penyair mengajak berbincang dan hanyutlah sudah keinginan untuk
melangkah. Aku terjebak dalam ruang yang nyaman untuk sekedar berkenalan dan
menyambung tali silaturahmi dalam puisi. Selalu kudengar bujuk rayu agar aku
tetap tinggal dalam perbincangan yang hampir menghabiskan malam itu.
Dalam perbincangan
ini, begitu apik mereka mengapresiasi pembacaan puisiku lewat perantara
lisan yang Tuhan titipkan kepadaku. Sang Bayang, menyambarku apresiasi positif,
pun dengan ajakan untuk berfoto. Bu Sus yang tak henti memberi ungkapan cinta
atas puisinya yang telah kubaca. Katanya pula, puisi itu mampu dipahami setelah
kubaca. Sedangkan penyair lainnya mengiyakan dengan menambahkan ungkapan
tentang pujian yang semuanya kuserahkan pada Pemilik Lisan. Barangkali, Ia
menitipkannya padaku untuk mengatakan segala hal tentang kebenaran. Ya, tentu. Sebab,
kala ini hanya sampingan yang tak lain adalah keinginan semu. Keabadian hanya
milik Tuhan dan segala tentang keridhoan.
Lagi, sebelum
meninggalkan kediaman Rumah Sastra Sragen, Pak Wijang sempat memberikan pula
apresiasi yang membuatku merasa bersyukur. Sehingga, pertemuan pun kami rasa
masih harus diperpanjang. Membujuk waktu agar tak cepat-cepat menjemput pagi. Namun,
akhirnya Senja harus sembunyi. Meramu warna-warni, agar kelak mampu bersinar
lagi.
Tepat menjelang pergantian
hari, raga ini sampai jua kepelukan ibunda. Walaupun hanya diksi yang mencoba
mengatakan bahwa aku telah sampai di rumah lagi, dan tentu tak sendiri. Sambil menikmati
setiap sapa tentang kehati-hatian dari lisan yang menyapaku persis sebagai
pemilik nama pena Mutia Senja yang barangkali akan mereka ingat—lagi.
Sudahlah..
begitulah pertemuan. Selalu meyisa kenang. Lebih parah lagi ketika harus
menanggung rindu yang berulang. Ada saja ungkapan untuk kembali jumpa. Meskipun
entah sedalam apa waktu membuat pertemuan itu menjadi langka. Ah, sungguh
keyakinan yang bisa mengatasinya dengan seizin Tuhan. Sambil berdoa, kukirim segala
suka cita yang singgah sebagai pengisi warna-warni pada hari-hari kita. Sampai jumpa
pada nuansa yang lebih berwarna. Salam sastra, salam puisi!
Di malam yang penuh rindu.
Kartasura, 10 April 2017.
Komentar
Posting Komentar