Perihal Sya'ir al-Rasul
Kamu menghina Muhammad maka aku membelanya
Dan di sisi Allah-lah balasan dari semua itu
Kamu menghina Muhammad yang baik lagi bertakwa
Seorang utusan Allah yang selalu menepati janji
Sesungguhnya bapakku, ibuku dan kehormatanku
Adalah pelindung bagi kehormatan Muhammad dari kalian
Aku kehilangan anak perempuanku jika kalian tidak melihat
Kuda-kuda kami mengepulkan debu di dataran Kada`
Kuda-kuda itu terbang berlomba dengan tali kekangnya
Dengan tombak haus darah yang terhunus di balik lehernya
Kuda-kuda kami terus berpacu dengan kencang
Membuat para wanita mengibaskan debu dari kerudung mereka
Jika mereka membiarkan maka kami berumrah
Dan itulah kemenangan serta tersingkapnya tabir
Jika tidak maka hadapilah peperangan suatu hari
Di mana Allah akan memuliakan siapa yang Dia kehendaki
Allah berfirman, Aku telah mengutus seorang hamba
Yang berkata benar tanpa ada kesamaran
Allah berfirman, Aku telah mengirim pasukan
Orang-orang Anshar yang terbiasa berperang
Apakah orang yang menghina Rasulullah dari kalian
Dengan orang yang memuji dan menolongnya adalah sama
Jibril Utusan Allah ada di pihak kami
Ruhul Qudus yang tidak memilki tandingan.
(syair
Hasan bin Tsabit saat membela Rasulullah menghadapi kaum kafir Quraisy)*
Sesungguhnya
Allah telah meletakkan kemampuan manusia pada taraf masing-masing. Termasuk bersastra,
bersyair, yang merupakan keahlian dalam bidang mengolah kata-kata. Termasuk
Hasan bin Tsabit dengan menggunakan syairnya, beliau mampu membungkam setiap
lisan orang kafir pada saat mengolok-olok Rasulullah dan ajaran yang dibawanya.
Sebab memang benar, orang kafir selalu saja memiliki taktik untuk menjatuhkan
Islam dan para pengikutnya. Termasuk ngeyel bahkan ingkar dalam hal
kebenaran. Sehingga hatinya telah dipenuhi dengan watak buruk serta
tertutupinya hati, akal serta pikiran dalam menerima kebenaran. Maka saat
itulah kekuatan syair yang dilisankan oleh Hasa, atas izin Allah berhasil
menundukkan orang-orang kafir dari mencela utusan Allah.
Masih
ingat dengan Ka’ab Ibn Malik yang pernah mendapat hukuman boikot oleh
Rasulullah? Dia adalah sahabat Rasul yang juga pandai bersyair. Salah satu
puisinya berbunyi;
Aku tercengang kebesaran Ilahi
Maha gagah tiada bandingannya
Di hari Badar kami jumpai
Jamaah berlarian, kian ke mari
Berlutut dibawah tapak kaki kami
Ka’ab, Amir. Aus mengelilingi Rasul dengan gaggahnya
Dia pengatur, punca segala perkara
Bani Hajjar tunduk terkulai di bawah benderanya
Melangkah perlahan-lahan di tengah debu peperangan
Tatkala mereka tegak di depan kami
Kulihat wajah pahlawan Rasul merah berapi-api
Mengakulah kami tiada Tuhan melainkan Allah
Dan Rasul itu adalah benar
Kilatan pedang Abu Jahal dan pucatlah warna mukanya
Ditinggalkan Utbah, Syaibah dan kayu apinya di tengah
gelanggang
Mereka akan jadi mangsa jahanam dan kayu apinya
Memang Kuffar di sanalah tempat kediamannya
Rasul pernah berseru, ikutlah aku
Mereka menolak, menuduh tukang sihir
Kini kehendak Allah telah berlaku
Tiada siapapun dapat menyingkir
(syair Ka’ab bin Malik tentang Perang Badar)**
Pemboikotan yang terjadi kepada Ka’ab merupakan
akibat dirinya tidak mengikuti ajakan Rasul untuk berperang pada Perang Tabuk. Padahal
pada peperangan ini banyak kaum muslim yang ingkar dan beralasan untuk tidak
ikut berperang. Di tambah lagi dengan kondisi cuaca yang amat terik membuat
kaum muslim enggan melanggakahkan kaki untuk perjuangan membela Islam.
Bukan hanya perihal tersebut, namun pada saat
itu pula, bersamaan dengan tibanya panen kurma. Sungguh ujian ini menjadikan
dilema kaum muslim. Sehingga dapat dilihat jelas bagaimana kesungguhan umat
Rasulullah yang benar-benar beriman di jalan Allah. Inilah sekilas persoalan
yang melatarbelakangi seorang penyair Ka’ab bin Malik, yang pada akhirnya Allah
menjatuhi hukuman untuknya agar diboikot selama 50 hari.
Dari
puisi Ka’ab, kita dapat melihat kembali bagaimana situasi Perang Badar pada
saat itu. Di lembah Badar tepatnya pada hari 17 Ramadhan 2 H atau
17 Maret 624 M, peperangan terjadi antara pasukan kafir Quraisy dan umat Islam.
Pertama-tama terjadinya duel antara anggota pasukan. Tiga anggota pasukan kafir
Quraisy yaitu Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, dan Walid bin Utbah,
berhadapan dengan Hamzah, Ali bin Abi Thalib dan Ubaidah dari pihak umat Islam
Madinah. Dalam pertempuran itu, ketiga kafir Quraisy terbunuh. Utbah dibunuh
oleh Hamzah, Walid dibunuh oleh Ali, dan Syaibah dibunuh oleh Ubaidah.
Sebagaimana yang tertulis dalam syair Ka’ab: “Kilatan
pedang Abu Jahal dan pucatlah warna mukanya. Ditinggalkan Utbah, Syaibah dan
kayu apinya di tengah gelanggang.”
Dalam baris yang lain syairnya berkata:
Rasul pernah berseru, ikutlah aku
Mereka menolak, menuduh tukang sihir
Kini kehendak Allah telah berlaku
Tiada siapapun dapat menyingkir
Setelah duel satu lawan
satu, terjadilah peperangan antara dua pasukan. Nabi Muhammad Saw memimpin
sendiri peperangan tersebut. Umat Islam yang berjumlah 313 dengan perlengkapan
sederhana berhasil memenangkan peperangan. Abu Jahal bersama 70 orang pasukan
Makkah terbunuh, sementara pasukan umat Islam 14 orang yang mati syahid terdiri
dari 6 orang Muhajirin dan 8 orang Anshar.
Ya, pada saat sebelum
terlaksananya peperangan, Rasulullah pernah mengatakan kepada Abu Jahal perihal
kematiannya pada Perang Badar. Bahkan beliau telah mengingatkan untuk meyakini
apa yang dikatakan Rasul utusan Allah itu. Namun dengan kekafirannya ia tidak
mempercayai apa saja yang dikatakan Nabi Muhammad Saw. Sehingga, benar bahwa
Allah telah menurunkan ketetapan kepada Abu Jahal dengan tanpa berpegang kepada
sesuatu apapun. Sehingga ia tidak dapat menyingkir dari perkara yang dijatuhkan
kepadanya pula.
Selanjutnya terdapat pula
sahabat Rasulullah yang dijuluki Sya’ir al-Rasul. Sebagaimana yang
dituliskan Witri Rabiatul Adawiyah;
Suatu ketika, Al-Khansa mengalami keadaan
yang sangat menyedihkan, sehingga dia melantunkan bait-bait syair yang panjang
untuk meratapi kepergian saudaranya yang bernama Shakhr. Al-Khansa begitu
menjiwai syairnya tersebut. Begitu juga ketika meratapi kematian saudara
kandungnya yang bernama Muawiyah. Di antara syairnya sebagai ungkapan duka yang
menyelimuti atas kepergian kedua saudaranya adalah:
Telah membuatku lelah, kemurahan hati yang tak pernah beku
Ayo menangislah, hujan gerimis untukmu, Shakhr
Mari menangislah untuk sang pemberani dan rupawan
Ayo menangislah untuk pemuda yang menjadi pimpinan berpedang
panjang
Di hari yang sangat kelabu, masih begitu mudah memimpin
keluarga.
Syair-syairnya
tidak lebih dari dua atau tiga bait, namun di dalamnya terkandung makna yang
dapat membangkitkan jiwa seseorang, sehingga Rasulullah Saw memanggil dan
memintanya untuk menambah bait-bait syairnya. “Tambah lagi, ya khannas!”, pinta Rasulullah
SAW kepada Khansa. Dengan ungkapan inilah Nabi Muhammad memanggil Khansa agar
menambahkan syairnya.
Selain itu, Al-khansa juga memiliki
keistimewaan lain, yakni jiwa kepemimpinan. Hal tersebut tampak pada dua
peristiwa. Pertama; ketika Khansa menasehati ke empat orang
putranya yang hendak perang berjihad di jalan Allah.
“Wahai putra-putraku, kalian telah masuk
Islam dengan penuh kepatuhan, kalian telah hijrah hijrah atas pilihan kalian
sendiri, Demi Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, kalian adalah putra-putra
dari satu orang lelaki sebagaimana kalian putra-putra dari satu orang
perempuan. Belum pernah aku hiyanati ayah kalian, belum pernah aku permalukan
paman kalian, belum pernah aku asingkan keturunan kalian, dan belum pernah aku
ubah garis ketulusan kalian. Kalian semua sudah mengetahui pahala besar yang
Allah janjikan bagi orang-orang Islam yang memerangi orang-orang kafir. Ketahuilah!
Tempat tinggal yang kekal lebih baik daripada tempat tinggal yang fana.”
Selepas itu
keluarlah ke empat putranya sambil memegang teguh nasihat sang ibu, dengan
segenap keyakinan untuk melaksanakan segala petuahnya. Ketika hujan mulai reda,
cahaya mulai menerobos kegelapan mereka langsung menuju ke pos masing-masing. Kedua,
perkataan beliau ketika ke empat anaknya telah gugur di medan perang.
Nasehatnya pun disampaikan dengan sangat baik. Al-Khansa berkata:
“Segala Puji bagi Allah, yang telah
memuliaanku dengan gugurnya putra-putraku. Aku berharap kepada Rabb-ku untuk
bekumpul dengan mereka di tempat yang dinaungi rahmat-Nya.”***
Itulah diantara beberapa penyair Rasulullah yang dengan
keimanannya mereka dapat meneguhkan pendirian untuk tetap berada dibarisan
Rasulullah Saw. Sebab jika kata-kata kita gunakan dengan semestinya, sungguh
benar-benar syukur yang tiada terkira kepada Pemilik Segala Kuasa. Maka jika
Al-Qur’an adalah sebutan sebagai kitab sastra tertinggi, maka selayaknyalah
kita mempelajarinya. Baik yang bersifat qauliyah yang berupa sabda, firman dan
segala yang tertulis, maupun ayat-ayat kauniah-Nya yang berupa hamparan alam
semesta ini. Pun segalanya merupakan gudang inspirasi untuk selalu melahirkan
karya maupun berpuisi.
Sebab,
sebagai manusia yang berislam, kita tidak dapat lepas dari petunjuk berupa
al-Qur’an yang berisi keindahan kata-katanya. Sebab, Allah mencintai keindahan.
Begitu juga dengan manusia yang mendamba keindahan untuk terus saja
mengestetikkan sesuatu agar dapat menikmati kehidupan dengan sabar, tenang dan
penuh keikhlasan. Itu sebabnya, jika kita berpuisi dengan meletakkan keimanan
di hati, niscaya insyaAllah ridho Allah akan hadir pula di dalam menggoreskan
setiap kekatanya.
Saya
mengingat kembali kisah Abu Dzar, seorang dari suku Ghifar yang dengan
ketajaman lisannya ia dapat membawa dua suku yang bersedia menjadi umat
Rasulullah, diantaranya sukunya sendiri, Ghifar dan suku atau Bani Aslam. Sebab
Rasul telah melarangnya berdakwah dengan kekerasan, sehingga ia menajamkan
perkataannya untuk berjuang menegakkan Islam pada saat itu. Sungguh, karunia
yang besar telah Allah turunkan bagi keagungan kata-kata. Maka bagaikan pisau
yang pemegangnya menjadi penentu untuk hal apa ia akan memberi manfaat atau
justru mencelakakan.
Mari,
gapai ridho Illahi dengan terus berkarya untuk kemanfaatan. Sebab kita adalah
orang Islam. Yang melakukan segalanya pun dengan adab dan aturan yang Allah
tetapkan.
Tabik!
Mutia
Senja
Pelataran
fana, 2 April 2017.
Keterangan:
gambar:
Komentar
Posting Komentar