Malam
“Yang hilang di dasar jiwaku.. terhempas jauh ke sudut kota.. kenangkanlah jua yang celaka.. orang usiran kota raya..,” [1] Senandung puisi masih saja menyibukkan bibir gadis Jawa. Seorang pemahat seperti ayahnya, memahat (kata). Sebab jika kayu yang dipahatnya, bisa jadi kini ia tak banyak singgah di panggung-panggung untuk sekedar membacakan buah pena miliknya.