Hah!
Tadi aku menemukan short video yang mengambil nukilan dari
buku Simfoni Hujan, yang berbunyi demikian; “Aku layaknya tanah. Sementara ingatan
tentangmu serupa hujan. Kadang ia datang dengan derasnya, lalu berhenti. Dan aku
sudah terlanjur basah kuyup kedinginan.” Kata-kata itu mengingatkanku perihal
kenangan. Tentu menyangkut masa lalu. Entah sedetik, semenit, sejam, atau
bahkan puluhan tahun yang lalu. Segalanya pernah terjadi begitu aku memalingkan
wajahku ke depan, ia hilang dan hanya akan membekas dalam ingatan.
Basah kuyup.
Terlanjur.
Terlanjur basah kuyub.
Ah, aku ingin teriak dengan membubuhkan tanda seru di kata
terakhir (kuyub). Namun begitu sadisnya aku yang entah belum mampu menerima
kenangan tentang diriku. Ya, masa lalu yang entah kapan akan berlalu.
Waktu rasanya bertubi-tubi. Kesibukan tentu semakin
membeleggu. Sedangkan ingatan ialah sebuah kata penghubung antara yang lalu
kepada sesuatu yang berada di kata selanjutnya. Banyak orang menyebutnya kehidupan
masa depan, tak terkecuali aku. Bahkan ketika aku tak mengerti apa yang aku
lakukan, rasanya aku hanya cukup menaruh rasa tak peduli meski dengan
membubuhkan kepedulian. Angin berlalu, begitu juga waktu.
Kali ini, di tengah candaan orang-orang yang membuatku tak
tertawa sama sekali, lelucon seakan menjadi hal yang menyakitkan dalam hidup. Seperti
aku yang tengah merasakan bagaimana dipermainkan. Rasanya, seakan tak ada
tempat bagiku berbagi apa saja selain menginginkan kesunyian. Barangkali sepi
adalah sosok setia yang mengerti bagaimana memperlakukan hiruk-pikuk menjadi
setenang puisi Sapardi.
Boleh ku sesali, mengapa saat itu kusematkan nama senja
sebagai pengantar atas usahaku? Sedangkan aku tahu, senja akan nampak indah
sesaat saja. Bahkan perihal hidup dan rasa cinta.
Hah. Aku ingin menceritakan apa saja. Kali ini saja. Malam
ini. Meskipun akhirnya jemari mulai malas menerjemahkan apa yang tak terbaca,
biarlah. Biar aksara kacauku ini ikut mengacaukan pungutan aksara Tuhan yang
telah lama bungkam.
Hah!
BalasHapus