Malam

                “Yang hilang di dasar jiwaku.. terhempas jauh ke sudut kota.. kenangkanlah jua yang celaka.. orang usiran kota raya..,”[1]
                Senandung puisi masih saja menyibukkan bibir gadis Jawa. Seorang pemahat seperti ayahnya, memahat (kata). Sebab jika kayu yang dipahatnya, bisa jadi kini ia tak banyak singgah di panggung-panggung untuk sekedar membacakan buah pena miliknya.

                Tak hentinya gadis itu meyuarakan puisi Umbu Landu Paranggi sebagai ritual malam yang ia habiskan di ruang keheningan. Bersama luka lama yang ia rawat di dinding kertas agar abadi. Sebab kesakitan perlu diabadikan sebagai perenungan paling tajam. Agar tak melulu kebahagiaan yang mustahil tumbuh tanpa adanya kerja keras dan pengorbanan.
                “Hei, aku punya cerita !”
                “Coba beritahukan padaku..”
                “Tunggu. Akan kutuliskan agar kau mudah memahaminya.”
                Suara sayup senandung puisi tak terdengar lagi. Keberadaannya telah tergantikan dengan serangga serta binatang malam yang tak henti bersuara. Hanya ada seorang gadis di sebuah rumah kecil yang sedang asyik menuliskan ide ceritanya seraya berdialog pada diri sendiri. Keyboardnya mulai bekerja.
                Malam, tega sekali kau membunuh senja. Dan kau meyerbuku dengan gulitamu yang menakutkan ini. Sedangkan kau tentu tahu bahwa kesendirian cukup membuat hariku sepi. Jangan kau tambah lagi dengan hadirmu jika tanpa membawa bulan purnama. Sebab aku hanya ingin cahaya berpendar di hati dan pikiranku. Agar aku tak lagi merawat ingat pada sesuatu yang gelap. Aku takut.
                Apakah ada ingin lain yang membuatmu merenggut hidupku malam ini? Katakan, apa yang kau inginkan? Agar aku tak lagi hidup dengan hitam yang menakutkan. Tolong.. katakan padaku dan jangan kembali lagi untuk hari-hari selanjutnya. Aku takut.
                Gara-gara kedatangamu, mungkin setiap malam harus kutanam ingat akan kewaspadaan. Menjaga agar kamu tak berbuat kejahatan. Sebab, selalu kubayangkan kau adalah makhluk menakutkan dengan tak pernah lupa membawa sebilah pedang tajam menuju ke muka. Selalu saja ancaman menjadi kekuatan untukku tidak memejamkan mata. Aku hanya berharap, esok segera tiba. Dan kau, sirna !
                Gadis malang itu terus saja berkelumit sembari menulis apa yang ingin diungkapkannya. Terkadang di balik lamunan, ia tengok kanan dan kiri sebelum melanjutkan tulisan. Berharap, malam tak benar-benar menjadi pertanda sebagai sepi yang hakiki. Cukup baginya bersyukur atas segala yang pernah terjadi.
               


[1] Penggalan puisi “Apa Ada Angin di Jakarta” karya Umbu Landu Paranggi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal