Sisa-Sisa Cerita
Mei yang melelahkan. Maka jangan
kaget jika akan kau temukan banyak kata-kata yang memuakkan di sini.
Intinya aku ingin menulis dengan
bebas. Sebab sama dengan bulan Mei yang telah menghadirkan Ibuku di dunia ini,
aku ingin mengakhiri Mei dengan kebahagiaan.
Aku bingung hendak cerita apa.
Tak sebingung ketika aku cerita dengan diriku sendiri perihal sesuatu yang tak
pernah kau tahu. Terlebih, pikiranku bercabang saat menuliskan ini. Makanya,
aku ceritakan saja kisah Mei ketika berkunjung ke ibu kota. Berkenan ya? Baiklah!
Menjelang keberangkatan..
Sudah kuduga,
antara berangkat atau tidak. Karena yang pertama tentu tentang dana yang minim
sebagai mahasiswa. Pun kendala yang membuatku harus berpikir ulang atas sebab
masalah yang belum terselesaikan. Tentu, berkaitan dengan doa dan keridhoan
seseorang terhadap “umatnya”.
Aku
sempat tak peduli. Hingga kuputuskan membeli tiket bus sesegera mungkin. Ya,
dengan kesanggupan dana yang ada, akhirnya telah kupegang tiket keberangkatan
pada hari Jumat, 19 Mei 2017. Dengan dada yang berdebar sebab membawa
tanggungan beban di pikiran, serta kesendiriaan yang harus kuhibur dengan
percakapan kecil dengan diriku sendiri. Aku memberanikan diri. Menuju keramaian
yang bahkan terasa sepi. Sepanjang perjalanan, selalu membuatku untuk segera
kembali. Tuhan, bagaimana ini?
Akhirnya
pada hari keberangkatan itu tiba, menjelang magrib tiba. Eva, menghantarkanku
dengan raut wajah yang entah mengapa aku menafsirkannya dengan penuh
kekhawatiran dan rindu yang hampir terasa. Aku pun melewati batas waktu,
menghardik ketakutan dengan tanpa bertanya lagi apa yang akan aku lakukan.
Sebab “ini” pun telah menjadi jawaban atas pilihanku bukan?
Handphone
kumatikan sejenak setelah memberi kabar pada ibu bahwa aku telah berangkat
meninggalkan kotaku. Sementara kekhawatiran kerabat dan teman-teman kuabaikan. Maafkan,
aku terlalu sering membuat keputusan yang barangkali orang lain tak bisa
menafsirkan. Jadi, kututup mataku tanpa tidur, menenangkan pikiran yang harus
kutanggung sendiri. Sebab tak ada orang yang dapat mendengarkan ceritaku saat
aku harus sendirian seperti ini. Ya, aku harus melawan tantanganku sendiri.
Sudah
ya, tidak usah kuceritakan bagaimana aku menanggung rasa sepi seperti yang
orang-orang rasakan. Atau bahkan memamerkan perasaan yang berlebihan. Sebab
rasaku jelas berbeda. Jelas gila!
Sebuah ingin..
Ah, aku jadi membayangkan betapa dahulu Mas Yayan
dan kawannya motoran dari Jogja ke Jakarta. Betapa melelahkan ya? Enakan aku
ya, yang walaupun naik bis kelas bawah masih bisa tiduran atau ngemil. Lalu Mas
Afif yang katanya semalam ngamen ke kafe bareng teman-temannya buat berangkat
ke Jakarta. Kerja keras buat biaya hidup di ibu kota. Lagi-lagi masih enakan
aku ya, yang tinggal ambil uang beasiswa meskipun akhirnya utuh sebab mas Ikhsan
begitu baik padaku. Hingga memfasilitasiku seolah adik kandungnya sendiri.
Ya,
hidup memang harus disyukuri. Meskipun orang-orang memandang perjuanganku
begitu keras. Kehidupanku yang begitu menantang. Namun mereka tidak tahu, bahwa
masih ada yang perjuangannya lebih keras dibanding aku. Makannya, terkadang
sebagai wanita, aku perlu menanamkan mental laki-laki itu pada diiriku. Salah
satunya untuk melawan ketakutan. Sebab yang kutemui adalah laki-laki yang hebat
di dunia ini. Termasuk kamu, yang tentu memiliki kisah yang lebih rumit lagi
daripada hidupku.
O
iya, belum kuceritakan mengapa aku pergi ke Jakarta ya? Aku bukan lupa, namun
sengaja tidak ingin mengatakannya padamu. Namun akhirnya waktu membawaku pada
titik leleh dimana harus kuceritakan maksud dan tujuanku.
Baiklah.
Kau tahu Putu Wijaya ? Jose Rizal Manua ? Taman Ismail Marzuki ? Nana Risky
Susanti ? Tentu kamu tahu, bahkan lebih tahu daripada aku. Ya, membicarakan apa
yang aku tanyakan tersebut seperti membuka perbincangan kita. Sebab setelah
sekian lama, aku merindukan pertanyaan yang membuatku bercerita banyak hal. Tetapi
mungkin hanya Ibu yang saat ini mampu membuatku bercerita tentang segala. Ibu..
Aku
kembali mengungkap peristiwa satu tahun yang lalu. Tepatnya di Taman Ismail
Marzuki sebagai tempat diselenggarakannya kompetisi nasional baca puisi. Tak
berbeda dengan kompetisi kali ini, hanya lokasinya yang berbeda bahkan
penyelenggaranya pun berbeda. Di sini, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta-lah yang
menjadi tuan rumah sekaligus PBSI yang menjadi panitia dari serangkaian acara
bertemakan “Sepekan bersama Putu Wijaya”. Begitulah, aku hanya tak ingin
mengulang kekecewaan atas sebab ketidakhadiranku dulu. Sebab bagiku lebih baik
kalah lalu mengambil hikmah daripada kecewa sebab tak ikut acaranya. Kompetisi
nasional lho! Itung-itung, aku dapat menambah relasi dan tentunya mengukur
kemampuanku dibidang baca puisi. Meskipun memang aku belum ada apa-apanya
dibanding mereka. Pun seni selalu relatif dan nyeni dalam cara pandangnya.
Jadi, tak ada kecewa. Jika sebab biaya, toh uang bisa dicari lagi tho?
Nah,
begitulah. Ambisiku untuk menapak jejak seperti Nana Riski pun menjadi jembatan
penyemangat untuk terus melewati proses yang cukup panjang. Tapi ingat, ini
hanya tentang duniawi. Selebihnya, cita-citaku lebih besar tentunya.
Pada Riuh Kota Tangerang –
Jakarta
Aku
menginap di kontrakan kakak sepupu. Dia telah menikah, bekerja, sambil nyambi
jadi mahasiswa di Kota Tangerang. Beruntung sekali, meskipun kedekatan kami
hanya saat lebaran tiba, namun kehadiranku bukan menjadi masalah baginya yang
justru memberikanku kesan dan membawakan buah tangan berupa rindu untuk kembali
lagi. Ah, rasanya aku sungguh merepotkan. Hingga mereka membawakanku buah
rindu, pula!
Sampailah
aku di Pul Bitung jam 06.30 WIB.
Bersambung..
Komentar
Posting Komentar