Bahagia
Tepat
hari ini, aku malas melakukan apapun. Tepat hari ini, aku ingin pagiku kembali
malam dan aku akan tidur sepuasnya. Tepat hari ini, justru kesibukan membuatku
tak bisa menguburkan kenangan. Ah bukan! Hari ini aku sangat bersemangat. Hari ini
aku akan bertemu dengan orang-orang hebat. Ya, hari ini aku akan kembali
tertawa melepas segala yang membuatku terluka. Ah bukan juga! Aku tidak pernah
sedikitpun terluka meski berdarah-darah dan hancur. Kau tahu ? Aku tidak pernah
terluka atau bahkan kecewa.
Sepulang
dari Pekalongan aku berharap mendapati makna “sulit” yang sesungguhnya. Menghadapi
kesulitan, perjalanan yang penuh perjuangan, kesakitan, hingga cemas yang
kuharapkan menjadi hal yang membuat luka dalam hidupku tanpa tanding. Aku ingin
menciptakan sesuatu yang lebih menyakitkan daripada apapun yang kujalani
sekarang. Hingga membuat tubuhku beberapa hari tak berdaya dan hampir putus asa
mewujudkan keinginan.
Namun
segalanya gagal. Barangkali niatku salah. Sebab selalu kumohonkan kepada-Nya
agar selalu diberikan perlindungan. Itu sebabnya perjalanan panjang membuatku
kuat. Bahkan lebih kuat dari biasanya. Walaupun aku tahu, apa yang aku lakukan
adalah kegilaan. Biarkan. Sebab kegilaan jauh lebih dekat dengan kebebasan
bukan ? Tuhan, izinkan.
Kali
ini benar, pagi yang cerah akan kunikmati dengan kebahagiaan. Aku ingin
bahagia. Aku merindukannya. Sungguh. Maka sejenak saja kutulis apa saja yang
ingin kuceritakan padamu. Pada siapapun yang menyia-nyiakan waktu hanya untuk
membaca sajak hidupku yang penuh permainan ini.
Bukankah aku harus benar-benar bahagia ? Sebab
pagi ini aku ingin menghabiskan waktu di rumah saja. Melihat apa yang orang
bilang keluarga. Sebab katanya, mereka adalah orang-orang yang selalu ada
meskipun orang lain pergi meninggalkanmu. Ya, keluarga selalu ada untukmu. Begitulah
kira-kira bunyinya. Tapi aku tidak peduli. Di samping menganggapnya benar.
Ah
keluarga! Lagi-lagi aku teringat bagaimana akan kujumpai keluarga baru dalam
hidupku. Kemarin sore. Saat semua orang membicarakan rencana pernikahan kakak. Saat
aku harus bahagia meskipun memang bahagia. Tapi aku kecewa, mengapa kakak harus
mendahuluiku. Padahal kami pernah sepakat untuk menikah bersama. Seperti Om,
yang sewaktu kecil kulihat seperti 2 pasangan dalam dongeng dan ada 2 bidadari
cantik duduk di pelaminan. Rumahnya mirip istana yang dihiasi bunga-bunga. Aku selalu
menantikan waktu dewasa dan aku akan bercita-cita menjadi seperti mereka. Memakai
gaun putih panjang dengan hiasan yang membuatku terlihat sangat cantik.
Kali
ini aku ingin tersenyum. Meskipun aku memang benar-benar tersenyum.
Silakan Mas. Aku selalu mendukungmu. Aku akan
selalu berada dibelakangmu sambil terus kulantunkan doa kepada-Nya. Ah, rupanya
memang benar. Aku sangat hobi dalam meminta. Tuhan, izinkan!
Kali
ini aku ingin menangis saja. Meskipun tak perlu kuceritakan apakah aku
benar-benar menangis atau tidak. Sebab aku selalu malu untuk menangis. Aku ingin
terlihat kuat. Ah, aksara ini seakan sulit terlihat olehku. Seperti ada
lampu-lampu yang menutupi.
Aku tetap ingin menulis. Kubiarkan apa saja
mengantri dipikiranku. Sebab aku ingin bercerita apa saja pagi ini. Apapun. Setelah
semalam kuhabiskan untuk menulis puisi yang tak pernah terbaca oleh siapapun. Tuhan,
jangan kasih tau siapa-siapa ya. Ku mohon. Sebab jika ada orang yang tahu, akan
membuatnya susah bernapas bukan? Maka sembunyikan. Aku tidak lagi ingin menjadi
pembunuh.
Sekali
lagi, pagi yang cerah akan kunikmati dengan kebahagiaan. Aku ingin bahagia. Aku
merindukannya. Sungguh. Maka sejenak saja kutulis apa saja yang ingin
kuceritakan padamu. Pada siapapun yang menyia-nyiakan waktu hanya untuk membaca
sajak hidupku yang penuh permainan ini.
Aku benar-benar harus bahagia. Melihat kakakku
yang sebentar lagi akan meninggalkan adik-adiknya termasuk aku dan membangun
keluarganya sendiri. Itu berarti ia telah mendapatkan cintanya. Aku benar-benar
harus bahagia. Kedua adik kembarku selalu pulang sore karena sibuk dengan
sekolahnya yang baru di sebuah SMA yang dapat dikatakan favorit. Itu berarti ia
akan jarang berdialog denganku atau bahkan menjumpaiku kala aku pulang ke
rumah. Sebab hanya mampu kulihat wajahnya yang lelah saat malam membuai
mimpinya. Aku harus benar-benar bahagia. Bagaimana tidak ? Adik perempuanku
telah di terima di Universitas yang baru di Yogyakarta. Kulihat ia menerimanya
dengan bahagia. Bukankah akupun harus bahagia sebab ada tempat berkunjung yang
pas ketika aku singgah di kotanya ? Meskipun berkali-kali harus kuterima
gejolak masa yang mengingatkanku tentang banyak hal di kota itu. Tapi aku harus
lagi-lagi bahagia menerimanya. Satu lagi, adikku dan orangtua serta kakek dan
nenekku dapat menghirup udara pagi ini dengan suka cita. Mereka masih diberikan
kesehatan. Bukankah kembali harus kuucapkan syukur berkali-kali ? Maka adakah
alasan yang membuatku tak bahagia ? Ya, aku harus bahagia.
Di
sini udara terasa sejuk. Matahari bersinar cukup terik. Namun tubuhku masih
terasa dingin untuk menginjakkan kaki di lantai. Meskipun telah kurasakan ayam
jago menggonggong di perutku. Hah! Apa sih. Aku lupa istilah ayam ketika
berkokok. Nah, berkokok! Ya, menulis dan menggali masa lalu membuatku lapar. Mari
kita tuang secangkir air hangat yang kita ramu dengan rasa rindu ? Masihkah ada
manis gula tersisa di dinding hatimu ? Huuuuhh..
Sepertinya
aku harus menahan kesepian sekarang. Seperti saat tiba-tiba suara seseorang
hilang saat pagi menjelang. Namun jika benar-benar sepi menyelimuti, aku akan
lari dan mencari siapa saja yang dapat membuatku kembali merasa nyaman. Sebab akhir-akhir
ini aku selalu dihantui dengan kesunyian. Bahkan walaupun telah kuisi hari
dengan keramaian serta kesibukan yang membuatku harus menahan lelah, tetap saja
sunyi itu mengabadi. Bagaimana bisa ya, ajaib sekali! Gila tapi ajaib! Sungguh!
Setelah
beberapa paragraf ini kutulis, kok aku agak kecewa ya. Sebab intinya bukan ini
sebenarnya. Ah, tak mengapa. Lagi pula akan sia-sia aku mengatakannya. Karena
tak ada cara lain untuk membuatku tersenyum sambil bertanya-tanya. Aku ingin
bahagia.
Sragen, 26 Juli 2017.
Komentar
Posting Komentar