Lempuyangan



 *Beberapa puisi Mutia Senja yang lahir tahun 2016


Menunjuk Langit

Syawal yang berlabuh
Mengisi dahaga akan rindunya
Pada lautan pahala
Sejak Ramadhan menanggalkan tanda
Pada takbir-takbir yang bersenandung
ditiap langit dan angin-angin
;serupa engkau

Dihidangkan menu malam
Menutup bulan dengan kesumat hilang
Melepas angan pada sajadah-sajadah panjang
Menggaungkan harap lewat lantunan khatamil Quran
Pelupuk membasah
Membulir laksana untaian tasbih
            ;semakin habis

Malam mengisahkan perihal kita
Aku dan mereka
Bisikmu pada telinga-telinga fana
Kita menjemput rindu diatap itu
Setelah malam penuh bintang memudar
Mentari akan menjelma mendung
            ;bertamu menjemputmu

Sragen, 2016


Di Terminal Pilangsari

Kau biarkan tubuhmu terbakar garang sinar mentari
Memasuki lorong-lorong kota
Yang menghimpit ruang sempit
Di dalam dada yang menyisakan satu nama

Dari tanah Barat menuju kotaku
Selingan-selingan nafas sendu bibirmu
Mengalahkan riuh pedagang asongan yang lalu-lalang
Sedang gejolak jiwa masih memaksa
Tepat di sudut hati yang tersembunyi

Di lorong sempit ini
Purnama kembali nampak pada nuansa sunyi
Sedang tubuhmu masih terbungkuk
Menahan kantuk dalam mimpi yang mengelabuhi diri
Adakah sedikit rasa yang menyiksa?

Angin malam membisikkan kabar
Lewat desir sunyi yang menusuk tulang-tulang
Dan gigil membalut tubuhmu
“Cepatlah pulang!,” katanya pada isyarat bisu

Di kota ini
Air mata kembali linang pada rindu yang basah
Menggenggam kalut jiwa seakan tergores duka
Menyesali diri yang seolah tak lagi berarti

Di keheningan kotaku
Pada siul serangga malam
Kau biarkan tubuhmu rebah
Mengharap hadirku menjadi pengganti sunyi
Sambil sesekali menatap setiap orang
yang singgah di matamu
Namun pandangan selalu melukis kekecewaan

Entah kepada siapa lagi aku bicara
Ku harap hadirku selalu kau rasa

Sragen, 2016
 



Melukis Tangis

Masih ada celah pijak bagi pendosa
Seperti aku yang memekik pilu
Kejang dan ketakutan
Sebab pesakitan itu membayangi ratapan sendu
Setiap kali mataku beradu dalam tangis
Dan jerit tubuh-tubuh ringkih
Yang menggigil oleh darah mereka sendiri

Aku terperosok dalam kubangan duka
Di antara orang-orang yang melukis air mata
Menggenang menjadi banjir
yang menyeret langkah-langkah mereka
Maka hanyutlah
Bersama ampunan pada tiap-tiap penciptaan
Sebelum fatamorgana menjadi benar-benar nyata

Sragen, 2016
 



Perihal Nafsu

Kau yang membungkuk dikerongkongan masa
Terjerembab dalam bingkai rindu
Dibait-bait puisimu yang kau dendangkan
Pada malam-malam paling sunyi

Ingatkah, Sayang
Tentang sajadah yang berlayar
Dalam pulau-pulau zikir
Meniadakan jerit birahi
Yang berkabar sebagai pengganti khayalmu

Pucangan, 2016
 



Lempuyangan*

Lempuyangan
Biarlah kukisahkan sebingkis gelisah
Tentang rindu yang menganak
Membalut hati yang kian biru
Leleh bersama rintihan Sabtu

Lempuyangan dan nadi yang berdetak
Masihkah kau simpan jejak langkah
Yang perlahan terhapus hujan
Dan angin yang menelan senyuman
Entah untuk kali yang kesekian

Sragen, 2016
*Nama stasiun kereta api kelas besar yang terletak di Kota Yogyakarta
 


Ghofur

Bait-bait firman yang Kau gemakan
Di langit-langit ke-Illahi-an
Mendenyutkan nadiku yang haus akan cinta
Melukisan panorama surga
Dan aliran cahaya dalam gulita

Di baris-baris firman-Mu
Senandung kasih masih meluber di dinding-dinding jiwa
Sedangkan Kau tahu
Batuan-batuan dosa
Berkeliaran di lengkungan masa

Pucangan, 2016
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal