Perjamuan Sepi

Setiap malam, seorang perempuan duduk termenung dengan beberapa buku di sampingnya menghadap ke arah jendela. Hampir setiap malam dan selalu begitu. Sesekali memandang ke arah langit, ketika barangkali retina mulai lelah menatap ribuan aksara yang terekam dalam jernih matanya. Di hadapan bangku baca dengan camilan seadanya. Mungkin meski  sedikitpun makanan ringan itu tak memasuki mulutnya. Sebab kata-kata baginya lebih lezat dibandingkan perjamuan pesta pernikahan sekalipun.

            Seperti seekor binatang buas hendak menerkam mangsa. Bola matanya tak henti mempertimbangkan bagian-bagian kata yang barangkali sulit dicerna. Sehingga kembali ia membolak-balikkan halaman sebelumnya berharap akan mendapati pemahaman yang mampu diterima akal pikirnya. Setelah beberapa lama, kembali perempuan itu tergerak untuk menyambar pena yang sempat menyentuh sikunya. Dituliskan dua bait semacam sajak yang entah ditujukan untuk siapa. Ia selalu menuliskan bait-bait itu. Hampir setiap malam seusai membaca, dan selalu begitu.
            Perempuan itu tahu persis bagaimana memenjarakan kesepian. Sebab keterasiangan bisa jadi tombak yang menembus lapisan harap ketika makna tak cukup dipandang dengan sekilas tatapan mata. Penggembaraan tak terhenti hanya pada tanda titik maupun koma. Jika pun segala sajaknya dapat terlahir dengan sekali-duakali ayunan jemari, maka sungguh dia telah mengurung rasa pada gejolak puisi. Rindu baginya adalah angan untuk selalu menuliskan apa saja yang dipandang maupun ditemuinya dalam kehidupan.
            Jarum jam selalu menemui angka satu ke angka berikutnya. Sama halnya ketika setiap malam ia berkawan dengan malam. Hampir setiap haridan selalu begitu. Kehidupannya layak patut diperhitungkan untuk tidak lepas dari buku bacaan. Bahkan ketika ia harus mengulang kembali buku yang sama dengan melahirkam kembali sajak yang berbeda. Selalu seperti itu dan mungkin akan selalu begitu. Dirinya tak jua bosan. Bahkan ketika waktu hampir berganti dan esok kembali menampakkan geliatnya untuk menyambut kehidupan berikutnya. Tak ada bosan baginya.
***
           
“Aku mengantuk sekali. Tak biasanya aku begini,” gumamnya pada diri. Ia tetap saja melanjutkan kebiasaan. Meskipun matanya beradu dengan rasa yang sulit untuk ditaklukan. Ya, kantuk yang membuat matanya sulit terbuka.
            Seperti biasa, ia terpaksa meletakkan buku dari genggamannya untuk menghirup udara malam dengan harapan akan mengembalikannya pada kondisi semula. Kondisi saat malam seolah menjadi miliknya dan tetap akan begitu seterusnya. Hanya kekuatan pikiran yang membuatnya dapat bertahan dari rasa kantuk yang membelunggu saat itu. Maka benar, matanya dialihkan pada pemandangan malam dari balkon sambil mendengar kabar serangga malam yang membisikkan ketentraman.
            Ia menemukan selembar daun kering yang jatuh dari atap rumah. Tergeletak dan seakan pasrah. Perempuan itu hendak bertanya pada diri. Barangkali, hidup yang dijalaninya bisa jadi serupa daun yang gugur dari induk rerantingnya dan terpaksa harus begitu. Ya, seperti malam-malamnya yang ia habiskan untuk membaca dan menulis. Selalu dan akan seperti itu.

Jika pada suatu saat aku bosan dengan kehidupanku
Barangkali kau tak akan menjumpaku lagi di sini
Bersama buku dan maksud yang menggelayut dipikiranku
Benar, kau tak akan menemukanku lagi di sini
Sebab aku telah mati

Jika benar-benar kerinduan membuatmu ingin bertemu
Atau bahkan hanya ingin mengetahui maksud perkataanku
Maka kau akan menemukanku terkapar di pembaringan sambil berdengkur
Sebab dengkuran barangkali dapat mewakili perkataan
Sebagai kata yang tak lagi mampu kita baca

Tapi aku tak ingin mati
Jatuh dan harus kehilangan daya
Seperti gugur daun ini
Meskipun harus kutempuh jalan hidupku sendiri

Sajak sederhana itu menyuarakan batin yang letih dalam penggembaraan hidup yang seakan tanpa ujung. Ia selalu melakukan apa yang dia yakini akan membawanya kepada kehidupan yang lebih mulia. Namun kembali ia bertanya tentang perilakunya yang hanya berbekas ujaran dan perlakuan yang entah untuk apa. Sebab dunia baginya tetap saja fana.
Kembali, ia berhasil merayu rasa kantuk dengan perenungan-perenungan kecil. Setiap malam dan akan selalu begitu.
***

Malam kesekian,
“Malam ini, aku hanya ingin berdialog dengan diriku,” ungkapnya dengan nada lirih penuh penghayatan akan jiwa yang letih menggembara.
Masih dengan buku, pena dan beberapa lembar kertas di atas meja, barangkali dengan camilan yang entah sampai kapan terhiraukan. Perempuan itu mengambil caatan-catatan usang yang ia simpan di balik tumpukan buku, disamping meja bacanya. Khusus ia buatkan semacam laci berukuran sedang agar terhindar dari hewan pengganggu yang mungkin dapat merusak sajak-sajak tentang perjamuan sepi. Jika terjadi, entah bagaimana ia harus menghibur diri. Sebab, setiap aksaranya selalu mengisyaratkan kekata perihal gelombang jiwa. Terbata-bata.
Ia kembali membaca sebagaimana kebiasaannya. Menulis sajak sebelum berganti tema, dan melepaskan kantuk pada angin malam jika letih memaksanya harus menghentikan sejenak bait-bait ceritanya. Segenggam lembar buram berhasil membuatnya berangan tentang bagaimana ia menjalani kehidupan. Terkadang senyum tepis dibibirnya, barangkali juga gelagak tawa, atau kepedihan yang diisyaratkan dengan air mata. Perempuan itu tak henti membaca kembali apapun yang disantap di atas meja untuk ia baca. Sekalipun harus kembali merenungi diri tentang tanya, “bagaimana aku bisa begini?”.
Pada detak jarum jam yang melaju, ia membaca lembar berikutnya. Begitu seterusnya. Terkadang senyum tepis dibibirnya, barangkali juga gelagak tawa, atau kepedihan yang diisyaratkan dengan air mata. Perempuan itu selalu menghabiskan malam dengan membaca banyak buku, terkadang menuliskannya sebelum berganti ke buku berikutnya. Setiap malam, dan akan selalu begitu. Tanpa bosan.

Menjelang Subuh..
Lembar terakhir masih dalam genggaman. Pandangannya mulai kabur. Barangkali lelah lebih dulu mengusai dirinya. Mendekap erat hingga tubuhnya lunglai dan terkulai. Lemas seketika menjadi rasa yang tak dapat ditolak lagi. Meskipun begitu, ia selalu mampu menaklukkan rasa kantuk itu. Meskipun dengan cara lain yang lebih ampuh.
Ia pun melakukan sesuatu. Membiarkan malam membangun mimpinya sebagai pembentuk alur cerita yang berbeda.
Perempuan itu tertidur.
Dalam mimpi, ia pun mengenal banyak rupa. Termasuk dirinya yang selama ini tak dikenalnya.

Dialog Diri – Menjelang Malam Tiba
Kartasura, 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal