Poetry Project; Mendambakan Lupa



11 Juni 2017, serupa hari paling angin untuk membawaku ke dunia yang berbeda. Seorang alumni Sastra Daerah FIB UNS yang terbukti multitalent membuatku menemukan inspirasi baru. Tentu tak lepas dari dunia sastra yang dikolaborasikan dengan kemampuannya. Ya, dia menyukai videography, art, culture, dan literature. Panggil saja Mas Mumu. Sekarang, dia bekerja sebagai guru di sebuah lembaga pendidikan “Insan Cendekia” Surakarta. Begitulah cuplikan awal sebelum kami melangkahkan niat membuat video ini atas permintaanku. Sebab, bisa jadi mustahil video puisi ini dapat selesai tanpa batuan dirinya dan teman-temannya.
            Next Project..
            Pada suatu waktu, aku melihat postingan “Lomba Puisi Helvy” yang kebetulan diperpanjang dan terpampang di beranda instagram milikku. Awalnya tak tergiur memang, sebab biasanya aku mengikuti perlombaan atau berpuisi secara langsung di depan juri dan penonton. Pikirku memang akan terkesan aneh jika logat panggungku kemudian di buat video clip. Namun, aku kembali memikirkannya sejenak, hingga kuajak Mas Mumu untuk bekerjasama membuat videonya. Kebetulan, sebelum ada lomba ini kami memang berniat membuat video clip dari puisi, cerita, atau pengalaman yang akan berbuah karya. Nah, maka kupikir lomba ini sebagai sarana awal untuk mulai berkarya. Sekaligus “mencoba” sesuatu yang berbeda.

            22 Juli 2017 kami bertemu di FIB UNS untuk membicarakan konsep. Meskipun sebelum pertemuan ini, kami sempat dilanda kebinguangan kecil akibat diriku yang belum terbiasa membuat video. Hingga akhirnya, hari Sabtu sore di sekre UKM itu pun berlanjut kembali pada hari Minggu, 23 Juli 2017 dengan persiapan yang “agak” lebih matang dari sebelumnya. Mengapa saya katakan agak? Uh, betapa tidak. Konsep yang awalnya indoor harus diganti dengan outdoor karena susah mecari ruang bercat putih sebagai setting dalam video kami. Kerja kerasku untuk meminjam kelas di kampus pun mendapat penolakan dari security sebab hari minggu adalah hari libur bagi mahasiswa. Sehingga tanpa surat keterangan yang jelas, akhirnya kami ditolak untuk meminjam kelas meski sebentar saja. Aku pun menyerah setelah berkali-kali memelas kepadanya.

            Setelah sempat berpikir tentang lokasi, akhirnya kami memutuskan untuk shuting di ruko tempat singgah temannya Mas Mumu. Dia bersedia meminjami tempat sebagai ganti kelas yang gagal dipinjam. Namun, ketika salah satu lagi dari temannya Mas Mumu (Mas Ardy) sampai ke tempat kami berada, ia membantu mencari solusi dari permasalahan kami. Termasuk, aku yang tadinya memakai baju pink kalem-jilbab merah hati harus ganti full hitam sebab kurang sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Maka aku kembali ke kos untuk ganti kostum. Dan mereka mulai menuju gedung PPG untuk mencari lokasi yang gersang.

            Gedung PPG IAIN Surakarta.
            Ya, di samping PPG yang biasanya digunakan sebagai tempat parkir memang gersang. Sehingga Mas Mumu dan Mas Ardy survey lokasi untuk melihat kondisi tempat yang akan digunakan. Termasuk lahan-lahan di sekitar PPG yang masih kosong. Yah, 3 lokasi berhasil di dapatkan untuk 3 scene. Alhamdulillah, batinku. Tak disangka, meski dadakan kami hanya berharap akan menghasilkan karya yang bagus. Beruntungnya, ada teman-teman Mas Mumu dan adikku yang siap membantu. Sungguh, nikmat Tuhan manakah yang aku dustakan?

            Akhirnya proses shutting berlanjut dari perkiraan jam 11.45 WIB hingga jam 14.00 WIB dimana saat itu cuaca sedang terik-teriknya. Aku tak memperdulikan diriku yang kepanasan. Sebab aku lebih merasakan betapa lelahnya mereka yang sibuk dengan kamera-kamera yang tak dapat kusebutkan namanya. Mereka pontang panting mengambil gambar ditengah deru angin yang hangat sebab terik, dengan tanah gersang yang tentu membuat mereka lapar, lelah dan kehausan. Namun, kembali lagi, aku harus melakukan apa? Aku merasa tak dapat berbuat apa-apa. Di samping mereka lebih dewasa dan berpengalaman daripada aku. Namun tentulah doa yang tak henti mengalun dari ketulusan hatiku. Aku bersyukur.

            Aku telah berusaha menjadi aku. Menjadi diriku sendiri. Membaca sebagaimana aku. Dan tentu dengan karakterku. Aku tak peduli bagaimana hasilnya nanti. Sebab proses inilah yang mengajarkanku banyak hal. Yang pasti, aku akan tetap berkarya dengan orang-orang yang terus bersamaku hingga kini. Ya, seperti aku yang kini tak peduli seberapa rendahnya ilmuku, namun aku akan belajar dari mereka yang lebih tinggi. Belajar bagaimana mensyukuri kehidupan. Belajar menyadari hidup. Belajar megeja tanda. Belajar membahagiakan kehidupan dan tentu menyibukkan diri dengan kegiatan yang positif. Sebab pada realitanya, pengalaman selalu memberikan harga yang lebih tinggi di banding belajar sendiri. Dan aku senang mengenal pun dikenal. Saling memberi manfaat untuk kehidupan. Semoga.. selalu.
            Satu hal yang tak bisa kulupa tentang “menggergaji kenangan”. Ya, kenangan itu digergaji. Ojo disimpen! Hihihi..

Pungkas! Bungkus!
            Tak henti kuucapkan senada syukur tak terukur kepada Tuhan, serta bagi 3 kakak dan 1 adikku yang mengajarkanku tentang ketulusan. Semoga Allah senantiasa meridhoi setiap langkah kaki kami. Aamiin.

Jogjakarta, 24 Juli 2017
11.08 WIB
Ketika menunggu adik daftar ulang
At Lab. Agama UIN Sunan Kalijaga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal