Apresiasi: Perihal Buku Kesengsem




Kepada Alfin Rizal
Kupersembahkan pungutan aksaraku untukmu. ─Mutia Senja
Selamat Kesengsem!

PERIHAL LUPA

Saat yang tak mungkin bisa
Kurindu-rindukan ialah lupa

Sebab lupa, kekasih
Adalah ketiadaan kisah dan kenangan
Dan kita menjalin keduanya
Hingga tumbuh mengakar dalam diri kita

Seberapa hebat kau berusaha
Untuk melupa dan dilupa
Kita tak akan pernah berhasil
Dengannya

Percayalah, kita tak akan
Pernah saling lupa
Meskipun jauh kita dipisahkan semesta

Percayalah, aku tak bisa
Melupakanmu
Aku percaya, kau tak bisa
Melupakanku

(2017)

Saya sangat terkesan dengan puisi di atas. Sangat! Sama halnya ketika disuguhi dengan pertanyaan, “bisakah kita jelaskan kemana rindu kita pergi saat pertemuan kita malam ini ?”. Bahkan saya tidak habis pikir, bagaimana rindu itu mengalir. Ia menyusup ke jantung lalu menggetarkan apa saja. Atau seperti puisinya “lupa”-nya Saut Situmorang, “Hujan dan Memori” (2013) ; mana mungkin hujan berhenti turun ke bumi, mana mugkin aku berhenti mengenangmu? mana mungkin kau berhenti melupakanku?
                Ah, rindu selalu saja mengundang haru. Saya jadi teringat saat membaca karya Alfin Rizal (AR); LELAKU, seolah kembali menemukan dirinya yang tengah sibuk membaca kehidupan. Atau bahkan kehidupan yang membaca dirinya. Sebab tergambar jelas bagaimana AR menceritakan “perasaan”-nya dalam bahasa tulis yang manis. Terlebih saat membayangkan gejolak dirinya dalam proses penulisan puisi Kesengsem ini. Sehingga saya pun sepakat dengan penuturan Andrenaline Katarsis yang menyatakan, “sajak-sajak Alfin Rizal ini adalah sebuah lambaian-lambaian, panggilan-panggilan atau seruan-seruan pada sang kekasih demi saling mempertemukan. Ini adalah pengalaman manusia yang sedang dimabuk rindu.” (hal. 10). Sebab secara keseluruhan, ia menuliskan perihal rindu dan segala bentuk lika-liku hati tanpa ditutup-tutupi. Sungguh, inilah bukti “kegaduhan” hati Alfin Rizal yang utuh. Kesengsem nampak serupa buku harian yang unik. Mengapa ?

                sebab cinta
                bisa mewujud dalam
                segala rupa,
                                maka kita adalah
                                bagian dari rupa itu,
                                kekasih
                (Cumbu Rupa, halaman 48)

                Setiap kali membaca puisi-puisi Alfin Rizal, saya seolah dibawa dalam dunianya. Apa yang dirasakan dalam bahasa tulis, mampu merupa hingga benar-benar terasa nyata apa yang sedang dirasakannya. Saya pun bisa jadi kesengsem hingga mengalami diabetic poetry─nya Vika Aditya, atau bahkan patah hati sejadi-jadinya hingga bercita mati saat ***** (saya sungkan mengutipnya hihihi) (Prima Hidayah, 13). Duh, saya jadi ikutan gila sebab cinta!
               
kita pernah disatukan jarak dan sajak
                bukan tidak mungkin akan dipisahkan
                oleh sajak-sajak dan jarak-jarak
                (Membaca Suara, halaman 32)
               
Akhirnya, efek samping yang saya rasakan dari “berkali-kali” membaca buku ini adalah “ketidakberdayaan”. Sebab sama halnya ketika saya sedang merasakan lapar, namun sama sekali tidak bernafsu untuk makan. Begitu pula gejolak ketika tidak memiliki pilihan antara hidup atau mati. Sedangkan saya harus memilih salah satu darinya. Serasa dihimpit keinginan dan kenyataan. Hidup bersama mati dan mati bersama hidup. Menusuk!
                Setelah membaca Kesengsem, bersiaplah merasakan dehidrasi dan kelaparan. Siapkan minum dan makanan kesukaan, yang bersiap basi sebab rugi. Ya, basi sebab rugi.

Tambakboyo, 9 Agustus 2017
01:40 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal