Catatan Hasta Indriyana

BAGAIMANA BACA PUISI ITU?

Seorang laki2 berjas biru abu2 setinggi sekitar 170 cm maju ke panggung. Tangan kanannya memegang tongkat aluminium dituntun panitia dan kemudian ditempatkan di atas panggung menghadap audiens. Setelah memberi hormat pd dewan juri di depannya, ia membaca puisi "Gugur" karya WS Rendra.

Power vokalnya cukup memenuhi ruang dan jelas artikulasinya. Kertas di tangannya mgkn saja berhuruf braile. Peserta bernama Pradana itu mahasiswa Jurusan PLB, UNY mampu membuat audiens terpaku. Penampilannya di atas rata2, meskipun di akhir penjurian tdk mendapatkan juara.
Kemarin saya menjadi juri lomba baca puisi tingkat mahasiswa se-DIY-Jateng yg diadakan UNY bersama Mas Whani Darmawan dan Mas Hamdy Salad. Saya mendapatkan kenyataan bahwa sebagian besar peserta memiliki modal vokal yg baik.
Jumlah peserta 65 orang yg masing2 membaca satu puisi wajib dan satu puisi pilihan. Hampir semua puisi panjang. Hal ini mengakibatkan proses lomba berjalan lama, mulai pukul 9.00-19.30.
Berbicara ttg baca puisi, ada yg harus dibongkar di awal, yaitu definisi mengenai baca puisi. Batasan2 ttg baca puisi perlu diperjelas untuk menghindari kesalahan pemahaman. Banyak peserta yg tampaknya tdk memahami hal ini. Sebagai contoh, peserta membaca puisi sambil berjalan kian kemari; berakting terjatuh; membaca puisi yg dimulai dr luar panggung/di antara audiens, dll.
Baca puisi itu membaca puisi dari teks yg dipegangnya di atas panggung. Teks sepenuhnya "dihidupkan" melalui pengolahan vokal (power, artikulasi penjedaan, penekanan, pengaturan irama), mimik muka, dan gerakan kecil tubuh yg mendukung isi atau suasana puisi. Menghidupkan teks harus dimulai dg memahami puisi, membongkar teks utk mendapatkan makna dan suasananya.
Banyak di antara peserta yg berusaha menghidupkan puisi dg cara memverbalkan semua kata dlm teks dg gerakan2 besar. Sebagai contoh, jika ada kata "langit" dlm puisi, peserta mengacungkan tangannya ke atas; jika ada kata "tertusuk", peserta menancapkan tangannya ke dada, dll sehingga substansi " baca puisi" jadi tenggelam ditelan gerakan2 yg tdk perlu: banyak kata yg menjelma menjadi gerakan. Itu artinya, seolah2 peserta tdk percaya thd kata2 sehingga "baca puisi" pun jatuh menjadi "teatetikalisasi puisi". Ini mirip dg deklamasi yg disertai grrakan2 besar" dan teks tdk dibawa serta/hapalan.
Saya perlu memberi catatan karena itu lomba baca puisi, bukan pertunjukan.
Sebagai juri, biasanya saya memberi nilai dalam bentuk catatan penampilan per peserta (kualitatif) dan catatan angka (kuantitatif) yg meliputi penilaian audio, visual, dan penghayatan.
Di lomba kemarin, ada beberapa kekurangtepatan yg dilakukan peserta, di antaranya.
1. Tdk menghapalkan teks sehingga lupa di tengah pembacaan.
2. Tdk memahami isi puisi sehingga salah dlm penjedaan dan penekanan. Ini mengakibatkan suasana yg dimaksud puisi tdk sesuai, misalnya puisi renungan ("Ngaben" karya Pranita Dewi diekspresikan dg berteriak, mgkn utk menunjukkan vokalnya yg keras).
3. Tdk latihan. Ini fatal.
4. Blm mengolah irama, keras-lembut vokal dan nada sehingga monoton.
5. Terlalu banyak gerakan.
6. Penjedaan terlalu lama sehingga tempo menjadi lambat dan terasa berat.
7. Membaca puisi tdk di atas panggung.
8. Meletakkan teks/kertas di depan muka sehingga wajah tertutup.
Dll., beberpa hal sdh disampaikan Mas Hamdy dan Mas Whani seusai lomba.
Tulisan ini bukan laporan pertanggungjawaban atau kritik tetapi catatan kecil sj. Semoga bermanfangat. 


Sumber: Facebook

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal