Memilih Menikmati



*Esai ini telah dipublikasikan di Mimbar Mahasiswa Solopos edisi 9 Januari 2018

Oleh : Muthi’ah
Mahasiswi Program Studi Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Surakarta

Membicarakan jurusan memang tidak ada habisnya. Apalagi dikait-kaitkan dengan problematika pekerjaan dimasa depan. Meskipun jurusan menjadi pertimbangan yang membingungkan saat hendak melanjutkan studi dibangku perkuliahan, namun bagi saya jurusan bukan penentu (paten) seseorang sukses atau tidaknya dalam menghadapi kehidupan mendatang.

Saya mahasiswi Pendidikan Agama Islam pun pernah mengalami dilema. Tetapi dilema saya berbeda dengan yang dirasakan Salma Hanifah P. di Mimbar Mahasiswa, Solopos edisi 2 Januari 2018. Dalam esainya Salma menuliskan: lapangan pekerjaan era kini masih sangat kurang untuk menampung mahasiswa “using” tersebut. Pada akhirnya lulusan ilmu sejarah banyak yang bekerja di luar bidang keilmuan mereka.
Dilema saya justru timbul karena merasa “takut” untuk menjadi guru agama. Padahal jelas sesuai dengan bidang keilmuan yang saya ambil. Perasaan semacam ini semakin kuat saya rasakan ketika hendak melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di sebuah Madrasah Aliyah (MA) di Boyolali. Bukan karena tidak menguasai materi atau kurangnya kesiapan, tetapi karena beberapa teman saya mengatakan bahwa saya tidak pantas menjadi guru agama. Mengapa?
Pertama, latar belakang pendidikan. Saya bukan berasal dari Madrasah Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs) atau Aliyah (MA), terlebih pondok pesantren. Lalu, diterima di kampus bernafaskan islam jurusan pendidikan agama islam di IAIN Surakarta sebab ridho orangtua. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Kedua, hobi yang bertentangan dengan jurusan. Sebagai penikmat seni sejak SD, saya memiliki kebiasaan yang tergolong “non-agamis”. Seperti melukis sketsa wajah maupun bersyair, dengan menjadikannya bagian dari profesi. Inilah yang kemudian menjadikan saya di-judge salah jurusan. Bahkan tak jarang orang mengatakan, “lebih baik kamu ambil jurusan ‘ini itu’ yang lebih cocok dengan kemampuanmu.”

Peran
Sebagai orang yang tengah belajar nrimo ing pandum, mengingatkan saya dengan petuah bijak Nur Muchlis (alumni Sastra Daerah UNS) saat menggarap proyek pembuatan video puisi beberapa waktu lalu. Ia berpesan yang bunyinya kurang-lebih begini, “kowe iki wis diperanke dadi guru. Mula nggugu dadio guru. Mergane kui wis dadi dalanmu.” 
Barangkali saya sepakat dengan Salma. Sebab fenomenanya justru pekerjaan tidak sepadan dengan bidang keahlian. Namun jika jurusan dianalogikan dengan peran dalam pementasan teater, maka seperti yang Frank Hauser tulis dalam bukunya Notes on Directing (2003): Anda berperan sebagai ahli kandungan. Sekalipun dalam peranannya Anda adalah orangtuanya, Anda hadir saat kelahirannya hanya sebab alasan klinis. Seperti dokter atau bidan.
Maka jika telah mengambil jurusan dengan berlandaskan keinginan, niatkan. Menjadikan jurusan sebagai peran. Mahasiswa pendidikan belajar mendidik, mahasiswa seni belajar berkarya seni, mahasiswa ilmu sejarah belajar sejarah, sesuai dengan bidang keahliannya sebagai sesuatu yang “wajib”.
Oleh karena itu, sebagai mahasiswa pendidikan agama islam (tarbiyah) yang akan menjadi seorang guru agama tentu sangat tertantang dengan realita ini. Belajar lebih perihal agama islam sebagai sebuah kewajiban seakan diharuskan. Apalagi ditambah dengan ilmu tentang bagaimana mendidik, memahamkan dan menjadi teladan memang tidaklah mudah. Namun inilah peran sebagai seorang mahasiswa pendidikan agama islam.
Jika suatu saat naskah itu diubah dan tokohnya harus berganti peran, maka nikmati dan berperan sebaik mungkin adalah tindakan yang solutif. Tentu sesuai dengan kebijakan sutradara yang berkehendak mengambil keputusan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal