Surat buat Februari



Dear Februari..

“Hari ini aku ingin menulis lagi. Seperti saat aku hanya mampu megagumi Senja yang ternyata ia adalah seorang ***.  Aku tak kuasa mengatakannya. Maka aku memutuskan untuk pergi saja.” 

                Semenjak kakakku mengatakan bahwa perayaan atas kesakitan itu dilarang, jangan lakukan. Maka meski kamu membuat kebahagiaan, aku tetap tidak ingin merayakannya. Sebab ada kesakitan kecil di sana. Februari, maafkan aku..
                Bulan ini, aku yakin kamu sedang sendiri. Sebab orang-orang seperti menjauh darimu. Lalu perayaan yang serba ramai itu, kamu pernah mengatakan kepadaku bahwa kamu tak menyukainya bukan? Aku tahu itu.
                Mungkin kamu juga akan berpikir bahwa aku pun menjauhimu? Sebab tahun ini, termasuk kamu, Februari; aku begitu ingin menjauh dari sesak desak hidupku. Sepertimu, yang juga ingin merayakan kebahagian kecil itu sendirian. Maka, Begitulah semestinya hidupku. Apa pun itu, jangan marah dan salahkan aku.
                Hari ini, di pagi yang mendung aku ingin menuliskan surat ini khusus untukmu. Yang membuat hariku berwarna. Yang menaruh harapanku di tempat mulia. Yang menjanjikan bahwa aku berada dalam situasi yang orang bilang membosankan, tapi katamu tidak. Dan segalanya yang kamu katakan, aku merasakan hal yang sama. Februari, terima kasih atas kecupan kasih sayangmu untukku.
                Kemarin, aku merasakan tidur yang amat panjang. Ku kira aku akan menuju ke hadapan pencipta. Tapi bukan itu maksud Tuhan.  Sebab Ia tahu bahwa aku masih memiliki bermilyaran harapan untuk hidup, termasuk kesempatan berbincang lagi denganmu. Begitu syukur amat dalam untuk kehidupanku ini.
                Februari, kau tahu aku bermimpi apa selama kurang lebih dua belas jam aku tertidur? Bagiku itu tidur yang amat lama. Kau tahu bukan bahwa akhir-akhir ini aku jarang tidur? Menemani malam yang kerap datang kepadaku. Meskipun terkadang datang untuk sekedar memberikan selimut agar aku cepat memejamkan mata tanpa kedinginan. Tapi aku hanya mengiyakan tanpa menuruti keinginannya. Selalu seperti itu.
                Aku bermimpi, aku sedang menuliskan ini di depanmu tanpa tahu apa penyebabnya. Aku heran, lalu di dalam ribuan malam, kita sering berjalan-jalan diremang kota, terkadang mendaki ketinggian, lalu mencuri tawa yang kita bangun di atas puisi paling ceria. Kau begitu lihai memainkan pesona yang membuatku tertawa. Hingga pagi menjelang, aku melihat sinar mentari seperti tumbuh ke atas di balik pepohonan yang tinggi. 

"Aku mencarimu Februari. Dimana-mana. Sebab kulihat kau menjauh dari sampingku. Kau seperti hilang tanpa harus aku tahu alasan. Kau, Februari, pergi."
                Hari-hariku aku kerap hidup dalam kepercayaan. Aku yakin bahwa kita akan bertemu sejak pertama kali kita berpisah. Aku yakin Tuhan menjadi perantara pertemuan yang kesekian kali.
                Aku masih hidup dengan bekal keyakinan.
                Dan perlahan, di bukit yang ditumbuhi ilalang, aku melihat ke timur saat subuh menjelang. Aku melihatmu di sana. Ya, sangat jelas wajahmu menatapku. Tersenyum kepadaku, memancarkan kebahagian yang selama ini tidak pernah aku rasakan. 
                Janji itu..
                Keyakinan itu..
                Aku melihatnya sekarang. Februari, aku bersamamu.
                Jangan hiraukan siapa saja yang menjauhimu. Sebab akulah yang selalu membersamaimu sekalipun kau sempat meninggalkanku. Begitu pula denganku. Aku tahu sungguh berat menanggung kepergian orang-orang. Tapi jangan bersedih terlalu berlarut hingga lupa bahwa kehidupan adalah harapan. Aku yakin kau mampu membuka mata untuk yang kedua kalinya. 
                Maka, bangunlah Sayang..
                Februariku, aku merindukanmu.

Teruntuk Februari terkasih,
12-(namamu)-2018.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal