Impian Polan



Barangkali impiannya belum seutuhnya sempurna. Tatapan mata kecil itu tak cukup mengerti bagaimana memperlakukan hidup. Terkadang ia memiliki keinginan yang hanya sebatas harap. Lagi pula, pandangannya belum cukup menembus cakrawala keilmuan untuk menerjemahkan bahasa lingkungan. Ia hanya mengenal nalurinya dan keinginannya pun terlahir dari harapan-harapan kecil suara hatinya. Sederhana.

                Ketika situasi membuatnya terancam dan menyerah, seakan dirinya tak lagi dikenal. Sebab hanya ada satu harapan kecil yang harus ia jaga sekalipun kematian terus menyergap untuk menyerahkan nyawa. Bukanlah hal berat baginya. Sebab kata tetangga-tetangga yang sekilas mengenal dirinya, ia dapat hidup hingga saat ini pun dengan impian tersebut. Mungkin, tak ada yang tahu apa yang ada di dalam pikiran anak kecil itu. Segala tentang dirinya cukup menyisa tanda tanya untuk lagi-lagi bertanya. Termasuk aku.
                Polan. Begitulah teman-teman menyebut dirinya. Untunglah, dalam usianya yang masih belia, ia memperlakukan hidup dengan sewajarnya anak laki-laki seusianya. Bermain sepak bola di lapangan kecil yang tersisa dari lahan bekas pembangunan. Di sanalah anak-anak penjaga kota itu menghabiskan waktu sore, sambil memandangi senja jika keringat mulai meleleh di sekujur pipi, dahi, serta tubuhnya. Di balik puing-puing bata, senyumnya terlukis semburat warna senja kemerahan membentuk siluet kebahagiaan. Aku hanya membayangkan betapa bahagianya senja saat anak-anak itu meyapanya dengan senyum penuh canda-tawa. Namun aku tak mampu membayangkan saat bahagia menyibukkannya, apakah masih ia ingat wajah impian itu?
                Matahari semakin malu jika terlalu lama memperlihatkan keelokan rupanya. Sedangkan wajah malam bersiap menampakkan diri disertai angin semilir yang seolah menerbangkan burung-burung untuk kembali ke sarangnya. Termasuk Polan dan kawan-kawannya yang turut beranjak meninggalkan sisa-sisa kenangan yang ia titipkan di sudut kota itu. Jejaknya tak jemu mengisahkan pertemuan yang harus kembali terulang. Begitu menenangkan seperti kebisuan yang masih saja menyenandungkan melodi tentang ketentraman hati.

***

                “Assalamu’alaikum.. Ma, Polan pulang,” teriak kecilnya saat sampai menuju rumah beralaskan sisa-sisa kayu bekas pembangunan. Barangkali benar, Polan membawanya pulang kayu-kayu itu untuk dimanfaatkannya sebagai atap bahkan dinding rumah. Biasanya pintunya pun dapat terbuka dan tertutup otomatis akibat kekuatan angin. Terkadang Polan menaruh batu besar untuk menyiasati agar pintunya dapat tertutup ketika malam hari. Sebab udara dingin membuatnya menggigil jika pun disertai hujan yang datang bersamaan.
                Tidak ada jawaban. Rupanya Mama Polan memang tak bisa mengucapkan apapun semenjak sakit yang dideritanya. Tubuhnya terlihat sangat kurus. Rambutnya kusut seperti pancaran wajahnya yang tak lagi bersemangat untuk melanjutkan hidup. Sedangkan Polan terus saja membuat waktu begitu berharga bagi ibundanya. Seperti melakukan kebiasaan kecil dengan menceritakan impian-impian yang tidak diketahui banyak orang. Terkadang ketika asyik bercerita, nampak raut wajah sang bunda terlihat ceria. Bahkan isyarat gelak tawa itu nampak dari geliat tubuhnya yang mengharuskan diri untuk merespon perkataan anaknya. Polan nampak serupa pendongeng kecil yang lihai mengisahkan tokoh dalam ceritanya.
                Aku mendengar lamat-lamat dari kejauhan. Berharap menemukan jawaban atas sebab apa impian itu dirawatnya. Dan seajaib apa impian Polan hingga dapat membuatnya mampu bertahan sedemikian waktu yang hampir membuatku kehabisan kata untuk menggambarkannya. Berbeda dengan anak laki-laki itu, yang tak henti mengisyaratkan bahagia tanpa keluh bahkan air mata. Sebab, kurasa letih haru ini seketika leleh saat mendapati dirinya begitu sabar menghadapi uji kehidupan. Maka kuputuskan agar terus kucari keajaiban impian Polan. Sekalipun ia tak bisa menjawabnya saat pertanyaan itu terlontar kepadanya. Begitu, seterusnya.

***
               
Genap dua bulan, aku kehilangan jejak Polan. Sebab kewajiban di luar kota memaksaku meninggalkan keinginan untuk sejenak melupakan anak kecil itu. Ku cari ia di pelataran senja saat biasanya ia duduk-duduk dengan teman sebayanya bermain sepak bola. Tak ada seorang manusia pun terkecuali diriku. Suasana nampak sepi dengan senja yang terlihat pucat. Rona kemerah-merahannya menghilang setelah terakhir kalinya aku melihat cahayanya nampak menawan. Adakah keterikatan dengan keadaan Polan? Batinku bergejolak penuh tanya.
                Kucari ia di tempat yang biasanya ia gunakan untuk berteduh. Di gubuk kecil dengan dinding kayu sisa pembangunan itu. Aku bergegas dengan mempercepat langkah. Barangkali kebisuan waktu membuatku harus menggali lebih jauh segala tentang Polan. Tiada yang berkabar apapun selama aku pergi. Sebab, aku bukan siapa-siapa dalam hidup anak kecil itu.
                Sampailah di tempat yang kutuju, suasana nampak sepi. Gubuk kecil itu terlihat reyot tertimpa angin yang bertubi-tubi. Tak ada sisa suara yang biasa kudengar saat perbincangannya dengan sang bunda. Angin tetap saja tak mampu bersuara bahkan memberi kabar kepadaku tentang anak kecil itu. Senja pun hilang tanpa peduli keberadaanku di sini. Ia menghilang dan tergantikan dengan malam. Seperti biasanya, seperti saat pertama kali aku mengenal Polan. Senja tetap saja sama. Menampakkan rona cantiknya sesaat, lalu bersembunyi di balik kuasa malam.
                Mendung seakan menyapa dengan tiba-tiba. Kuharap, sebelum hujan benar-benar jatuh, aku harus segera menemukan Polan dan impian yang kutahu dapat menghidupi dirinya itu. Aku ingin melihatnya dan kembali berbincang dengan menikmati kue lumpia yang kubawakan khusus untuknya dari kota. Berharap ia dapat bercerita sambil meikmati oleh-oleh yang kubawa. Tapi kebingungan tetap saja mengundang kekhawatiran. Rasa ini beradu dengan gulita yang hampir membuatku untuk kembali pulang. Terlebih, suasana semakin tak meyakinkanku untuk sebuah pertemuan dengan anak kecil itu.
                “Bagaimana ini?,” suaraku terlontar ketika mendapati tempat tinggalnya tak lagi terhuni. Hanya terlihat tikus-tikus yang nampaknya numpang untuk menghindari hujan.
                Benar saja, gerimis rintik-rintik mulai membasahi wajahku. Tak berpikir lama, kuputuskan untuk melangkahkan kaki dan pulang. Sambil kubawa kembali kue lumpia yang tak lagi mengeluarkan semerbak kelezatannya. Mungkin sama halnya denganku yang hampir pupus harapan menemui Polan.

***
               
Keesokan harinya aku kembali. Kali ini mentari siap memberikan pancaranya sebagai pengganti dingin yang menusuk kemarin malam. Sedangkan aku tak peduli bagaimana wajah awan dan kebisingan kota menyerbu ruang telingaku untuk kembali kuperdengarkan. Kini yang kuinginkan hanya satu. Menemui Polan.
                Kulangkahkan kaki menuju sekelompok anak-anak yang sibuk berlari-larian dengan kawan-kawannya. Barangkali Polan berada di antara mereka. Pikirku selalu saja berharap bahwa Polan masih memberiku harapan untuk tahu tentang impian itu. Seorang anak kecil dengan impian sederhana yang membuatnya mampu hidup dan bertahan pada cobaan. Ah, pikirku tak sampai pada jawabab apa yang di maksud anak laki-laki kecil seusia Polan?
                Aku tak menemukan dirinya bersama mereka. Hanya wajah baru yang kutemu. Ia pun tak mengenalku. Namun tetap saja kutanyakan tentang keberadaan Polan kepada anak-anak kecil itu. Ia kembali bertanya tentang ciri-ciri Polan, tempat tinggal serta keadaan ibunya. Rupanya benar, ia sedikit mengenal anak kecil yang kucari sejak kemarin sore. Betul, Polan namanya. Mereka menceritakan banyak hal perihal Polan. Banyak, hingga aku tak kuat lagi menampung suara yang masuk ditelingaku.
                “Ibunya meninggal?,” sontakku kaget.
                Mereka meyakinkanku. Sebab mereka bercerita perihal pemakamannya. Ah, barangkali ia hanya pandai bercerita; serupa Polan.
                Aku tak peduli dan tak ingin mengingat kembali apa yang dikatakan anak-anak kecil tadi kepadaku. Segalanya kupikir hanya cerita. Semuanya kupikir hanya lelucon anak-anak yang tak pernah mengerti arti hidup sesungguhnya. Segalanya kupikir hanya berita omong kosong sebagaimana impian Polan.
                Polan, ia pergi sejauh kepergian ibunya.

Terinspirasi dari Puisi Bocah Sukowati “Impian Anak Jalanan”
Sragen, Maret 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal