Dua Puluh April


20 April 2018

Kepada pagi yang “mendung”.
Kepada mentari yang enggan bersenandung.
Kepadamu, anakku, yang memiliki angan berkunjung ke alam “kandung”.
Selamat pagi, kidung-kidung yang bertengger di ranjang Agung.

Ibu selalu bersajak, tapi sebangun dari tidur pikirku kebingungan mencari kemana sajak ini akan ibu alamatkan. Tuhan lebih dulu membuat goncangan daripada keinginanku menuliskan sajak yang perlahan-lahan mengisi mata pagimu hari ini.

Nak,dimanapun kamu, selalu ibu harapkan senyum merekah dari bibir merahmu. seperti ketika mawar kembang menyapa pagi seumpama kepada ibunya sendiri. Kekasihnya yang tak"mati".

Pagi ini, ibu merasakan beban amat berat di kepala dan persendian bahu. Rasanya seperti ketika melihat nenekmu menangis, tak kuasa menahan perihnya. Jika kamu di sini, Nak, apakah engkau mau mengajak ibu ke suatu tempat yang barangkali mampu menghilangkan beban menghujam ini? 

__________

Tak melulu tentang pagi yang berseri melihat anak manusia sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Aku mulai bangkit dari tempat tidur, meringkas sujud dan bertemu dengan pisau dapur. Kerap sekali ia menyakitiku dengan ketajamannya, lalu darah keluar dari sela-sela daging yang perlahan mengering.

Kesibukan kadang mampu menghapus bosan. Pekerjaan yang berkelindan membuatku semakin takluk dengan hidup yang entah akan kubuat serupa apa, pun bagaimana. Tapi kali ini seperti biasa, menemani ibu memasak hingga selesai sudah pekerjaan rumah dengan harapan membuat ragaku lelah. Karena dengan cara itulah akan kuhilangkan kebosanan. Tapi sayang sekali, hari ini aku kembali kepada rutinitasku yang melulu harus kembali "memahami."Sebuah tantangan besar dalam hidupku.

Setiap kali usai mempelajari perhitungan dengan jemari-jemariku yang tak bosan membicarakan angka, aku dikutuk kebisingan. Kepalaku padat dengan gemuyon orang-orang yang mengisi otakku, sel-sel sarafku, hingga darah yang berdenyut di kepalaku. Aku kehilangan daya ketika kumasukkan tahu ke penggorengan. Kubiarkan kulitku damai dengan cipratan minyak yang membuatku ssadar, bahwa aku bukan manusia biasa yang tumbuh dengan kehidupan seperti yang biasa orang-orang lakukan. 

Otot-ototku berkecamuk. Dengan tanpa ditanya, Ibu menyiapkan secangkir teh hangat yang kuminum saat itu juga. Seandainya bisa kulahap keinginanku untuk kembali menjadi anak-anak kecil yang bermain pasir di halaman rumah, mengayuh sepeda kemudian jatuh lalu menangis, berlarian tanpa memikirkan bagaimana cara hidup yang wajar, atau menceburkan diri ke sungai-sungai kecil pinggir sawah sambil mencari ikan. Hidup memang butuh memikirkan hal-hal tak wajar diluar dugaan.

Kubiarkan sawi-sawiku layu. Mereka kulihat tanpa daya. Kusut seketika terkena panasnya wajan di atas kompor hingga menyentuh didih. Begitu pula dengan wortel yang tak lagi semerah ketika kuirisnya memanjang. Apakah Tuhan sedang memosisikan diriku seperti keberadaan sayur-sayur tak berdaya itu?

Ibu memintaku meminum semacam kapsul berbentuk oval. Aku menolak. Ibu bilang khasiatnya meredakan pegal. Aku menyanggah dengan tanpa kurasakan pegal ditubuhku. Ibu kemudian menyalahkanku sebab aku menolak apapun makanan yang ia sajikan. Aku mengatakan aku tak lapar. Ibu berkata lagi menyuruhku makan atau minum kapsul yang ia bawa berwarna hijau itu. Aku menolaknya sambil kuhajar ketidakberdayaan sayur-sayur itu di dalam wajan. Ibu diam. 

Apakah benar, jika ragaku sakit lalu jiwaku akan ikut sakit? Apakah benar dengan tidak merasakan lapar lalu aku bagaikan menyiksa diriku? Apakah benar dengan aku diam berarti aku menyerah dengan kehidupanku?

Ibu kembali menyuruhku makan. Begitu pula kakakku. 
Lalu kumakan satu kesimpulan, "bersyukurlah orang-orang lapar."
Tidak. Aku tidak lapar. Hanya sedikit kehausan!


________

Senja~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal