Bukan Keputusa(saa)n

Kembali kuletakkan handphoneku dan mulai menyantap makanan yang dihidangkan adikku malam ini. Menggelar tikar untuk sekadar mencari tempat nyaman untuk meletakkan buku-buku yang sama sekali tak membuatku bergairah untuk membacanya. Membuka laptop lalu mulai melanjutkan tugas tanpa tahu apa yang kemudian akan aku lakukan samba masih memandang layar dengan tatapan lesu.


Hawa dingin semakin menyergap tubuhku. Sementara aku teringat keadaan adikku yang sedang kemping di sebuah bukit dekat Tawangmangu, yang tak kutahu pasti lokasinya. Berharap mereka tidak kedinginan seperti peristiwa yang terjadi ketika kemping bersamaku dulu. Kedinginan dan sakit. Tidak. Mereka pasti baik-baik saja.

Kucari letak flashdisk yang menyimpan hasil resensiku tetang buku tua yang kubaca beberapa bulan yang lalu. Ingin kulanjutkan menuliskannya sambil menghilangkan kejenuhan dengan tugas-tugas yang besok harus segera selesai. Sedangkan tak kunjung kutemukan semangat untuk menyentuhnya sedikit pun.

Lama sudah kutatap buku berwarna kecoklatan itu dengan masih berpikir sambil mengingat peristiwa yang terjadi dibalik ribuan akasaranya. Namun tak kutemukan kata yang pantas untuk memulai menuliskan apa dan bagaimana buku itu mampu menarik untuk kubaca. Selayaknya keniscayaan, aku seperti harus memutuskan untuk apa aku datang. Akhirnya aku menghadapai lagi kebuntuan sebab harus kubaca lagi setiap lembar yang menyimpan kisah cukup mengharukan itu.

Di seberang sana, ada beberapa teman yang masih terjaga sambil mengajakku berbincang lewat aksara. Menemani malam yang mugkin akan habis setelah semua serangga malam menyiulkan desir keheningan. Sementara tidak mungkin kumatikan lampu kamar, kuutup rapat pintu sementara bapak dan ibuku belum pulang dari tempat tetangga untuk melepas kepergian pergi umroh.

Di kamar ini, begitu banyak barang-barangku yang masih berantakan. Menggambarkan isi kepalaku yang harus memikirkan berbagai macam hal sedangkan waktu untuk menyelesaiakn perkara tesisa tingga satu hari saja. Aku tak habis piker harus melakukan apa dan bagaimana. Maka kuputuskan untuk menulis sebagai langkah menghadapi kebingungan.

Benar saja, entah apa yang terjadi ketika tulisan ini selesai. Pada intinya aku tidak pernah merasa menyesal jika waktuku kuhabiskan untuk menulis apa saja. Sehingga dalam hal menyisihkan waktu beberapa jam saja bagiku hal biasa. Walaupun tulisanku pada akhirnya membuat tugasku tertnda dan semakin lama selesai. Kini aku mencoba untuk tidak peduli.

Nada notifikasi berkali-kali bunyi. Kuhiraukan dengan tetap menulis huruf demi huruf dari barisan keyboard yang menempel di badan laptop di hadapanku. Benda ini seperti menatapku penuh keheranan. Sebab baru kali ini kurasakan jeariku lebih cepat bergerak daripada hari-hari biasanya. Gejolak terasa kia nyata sambil kutulis kembali beban di kepala.

Malam ini, kuputar kembali keputusanku. Meskipun saat akan kutulis apa saja yang akan kutulis, mendadak orangtuaku pulang dan mengetuk pintu. Konsentrasiku mendadak dungu da aku sekejap ingin mematikan laptop tanpa save tulisan sampahku ini. Baiklah, kurensensi sikapku sendiri setelah ini. Mungkin malam nanti.

Baiklah, bapak datang ke kamarku dan membawa sekotak makanan. Kali ini aku tak ingin marah karena barangkali ini akan membantuku menulis lagi. Sebab manusia juga butuh bahan bakar. Tapi kali ini bukan api. Bapak dengan senang hati menawarkanku sesuatu. Saatnya berdamai dengan diri sendiri.

Ah. Aku ingin berteriak saja ketika sebuah suara dari luar pintu memanggil namaku. Bagiku ini menyebalkan yang sangat memuakkan. Aku memilih diam tanpa berkata apapun. Ya, aku diam saja. Hanya suara bising jangkrik yang kudengar di bawah tempat tidur.

Ketika sampai disituasi yang membuatku enggan menutup mata, apakah harus kuingat kejadian tadi sore. Bertemu seorang bapak yang ingin aku melukis untuknya sambil menawarkanku sesuatu yang bahkan diluar dugaanku. Seperti dalam mimpi, aku juga hamper merasakan hal yang sama. Kali ini mengapa aku malu mengatankannya. Sungguh.

Sudahlah, tak usah dibahas. Aku ingin bergegas lari dari masa lalu. Mengejar impianku walaupun aku tak tahu pasti apa yang harus aku kejar dan ingini. Sebab terkadang aku merasa sia-sia hidup di Bumi. Oh tidak. Ini mimpi.


Senja yang Habis Dimakan Purnama
21:54

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal