Izinkan Aku Menulis Lagi


Apa kabar kesunyian?! 

Masihkah kau menungguku untuk menungganggi waktu menyambut Minggu pagi ini? Tanpa ingin berkata mengapa manusia harus bekerja dan meninggalkan anak-anaknya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Atau mengapa perempuan harus pandai mengurus rumah, merawat adik-adiknya, serta mengatur jadwal kemana ia harus memprioritaskan yang lebih penting ketika dewasa. Atau hal lain seperti; mengapa diusia tua, orang tua seperti kembali ke masa balita. Saat di mana mereka kembali membutuhkan perhatian lebih meskipun hanya sekedar membantunya membuatkan secangkir teh hangat. Atau hal paling rawan kusebutkan, mengapa banyak orang yang selalu saja membicarakan cinta.


Aku tidak ingin membubuhkan tanda tanya dalam pertanyaan-pertanyaanku. Sebab selalu seperti itulah yang ada dalam pikiranku saat sebelum dan sesudah aku mengenalmu.

Ketika sinar fajar menyentuh kulitku pagi ini, jemariku tak bisa menahan laju pikiranku tentang alasan mengapa kau masih terus saja mengisi haru dengan derai aksara yang jatuh seperti hujan. Membanjiri riuh kota tempat kau singgah meskipun masih nampak jelas kesepian yang terlukis ketika setiap kata demi kata perlahan-lahan kubaca. Setiap hari, tanpa jenuh kusempatkan waktu untuk membaca apa saja. Termasuk membaca keadaanmu.

Pagi ini, ditemani suara ketukan keyboard dengan aroma harum masakan dapur, serta secangkir minuman yang tak lagi menghadirkan kepul kehangatan, serta instrumen gesekan biola dari speaker handphone menyambut tiap anak aksara yang lahir dari kedalaman ingatan. Aku ingin menyentuh pagi dengan secercah cahaya bernama senyuman. Sebab tak ada yang mampu kulakukan untuk menggambarkan syukur kecuali dengan tersenyum sambil kembali membisikkan harapan-harapan mungil.

Bermula dari perkenalan sederhana, aku paham bahwa hidup bukan hanya berkutat pada kesendirian. Aku diciptakan sebagai manusia homo sosialis, apakah pantas bila harus kutenun sendiri alur hidupku hanya untuk memikirkan hidupku sendiri lalu mengabaikan persoalan orang lain? Orangtua, saudara, kerabat, sahabat, bahkan orang yang belum aku kenal tanpa sengaja membuat pelajaran bermakna dalam hidupku. Tapi mengapa hanya satu yang belum mampu kuterjemahkan: mengapa segumpal darah bernama hati ini lebih banyak berbicara melebihi lisanku sendiri?

Egoku benar-benar parah beberapa hari ini. Aku sempat membuat menangis diri sendiri, mengabaikan rasa lelah tanpa peduli bahwa ragaku butuh istirahat, membiarkan mataku terjaga hingga menjelang esok hari, atau sama sekali ingin pergi dari keramaian pikiran dengan terus saja mengakrabi sepi. Namun kau tahu? Ingin rasanya mencurahkan segala penat ini dengan berkunjung ke masa lalu. Rebah di atas bunga-bunga dari kembang aksara yang pernah kita rangkai bersama. Di sana aku dapat berlari mengejar kupu-kupu yang tiap kali ingin mencuri nektar di lahan taman bunga kita. Tapi aku memilih tertawa mengapa mereka takut dengan lambaian tanganku. Atau kupu-kupu itu sengaja terbang lalu kembali, dan terbang lalu kembali lagi seperti perkara yang terlanjur menjadi bingkai rasa penasaran ini?

Seorang teman mayaku pernah bilang, “seakrab kamu dengan puisi, seakrab itulah kamu dengan kesunyian.” Katanya ketika aku bertanya mengapa bisa ia mengatakan diriku akrab dengan kesunyian. Di mata orang-orang atau bahkan kamu yang barangkali sedang membaca tulisanku ini paham, aku seperti manusia yang bernapas dengan puisi. Lalu aku kembali bertanya, melihat kepada diriku sendiri perihal bagaimana malamku habis untuk berdialog panjang dengan puisi yang menjelma menjadi bintang, bulan, kunang-kunang, serangga malam, desir angin, bayang-bayang, bahkan kesunyian. Aku merasakan kenyamanan yang barangkali pernah juga kau rasakan dan kita kelak akan merasakannya bersama di rumah kecil dengan jawaban-jawaban yang perlahan mengalir mengapa aku pernah selama itu mencintaimu.

Aku menolak menjadi senasib dengan Chairil. Dia pernah muda dan kesepian. Kisah cintanya membawaku ke altar indah yang dinamakan keikhlasan. Kamu tentu lebih paham bagaimana seorang sastrawan yang hingga kini karyanya membumi itu masih menumbuhkan kesepian-kesepian baru. Maka itulah yang kunamakan; setiap kesepian membutuhkan teman. Bahkan untuk sekedar merasakan hal yang sama; menikmati sepi.

Aku hampir tidak dapat membayangkan jika dua insan semacam kita dipertemukan, dalam satu ruang yang hanya diisi buku-buku, apakah masih ada dialog yang menghubungkan perihal bagaimana kita membicarakan keadaan sebelum, saat, dan setelah perjumpaan. Apakah kita akan memuisikan satu sama lain, atau memilih membaca buku-buku yang berserakan di atas meja kita, atau kesepian kita bertemu lalu menjelma sepi yang paling menyanyat menembus dinding malam dengan dingin yang sangat? Atau kau memiliki pilihan lain untuk mengajakku melihat wujud sepi itu. Yang kataku adalah bulan, bintang, dan semacamnya di balkon rumah kita?

Puisi berganti udara yang perlahan menusuk sisi hangat hatiku yang sendu. Duhai penjaga hangatnya pagi beserta sinar matahari yang semakin pendar, izinkan malam berkunjung ke kamarku. Aku ingin bertanya kepada mereka mengapa pertanyaan-pertanyaanku selalu menjadikan kesepianku menjadi kian nyata? Sedangkan amanah selalu membuatku untuk “tidak menjadi diriku sendiri”. Aku harus terlihat pandai bercerita, basa-basi tanpa tahu alur cerita yang sesungguhnya, bertanya untuk membangun keterikatan pendengar, sampai-sampai aku ingin berteriak dan lari menemuimu yang seperti rumah bagiku. Sebab banyak hal sama yang membuatku seperti menemukan tempat untuk sekadar bercerita untuk apa dan mengapa. Lalu kau angkat jawaban sederhana dengan sedikit celoteh yang membuatku tertawa.

Pagi ini, bolehkah aku mengunjungimu dengan sedikit beban dikepala, menaruh lagi puisi-puisi basi sebab tak pernah kau baca, dengan kuselipkan secarik jawaban untuk apa aku menulis lagu pagiku minggu ini.

Jika Tuhan mengizinkan aku berkawan dengan kesunyian, bolehkan kugenggam jemarimu untuk menjadi teman menemui malam? Lalu akan kutunjukkan kepadamu tentang Kusuma Wijaya yang mekar ketika malam, kunang-kunang yang ternyata suka singgah di bawah pohon-pohon bambu, lalu mengapa aku suka menuliskan kisahku dibuku catatan bersampul warna merah hati dengan bulu angsa di tengahnya, serta kuceritakan alasan mengapa ikan-ikan tidak tidur sekalipun diwaktu malam. Oh iya, lagi! Kau akan kuceritakan kisah perjuangan cinta Rasul dan para sahabatnya yang membuat air matamu leleh dipangkuanku. Aku tak dapat berhenti menunjukkan segala yang belum kau ketahui. Banyak sekali rahasia yang kusembunyikan selama ini. Dan kau, yang akan menjadi satu-satunya tamu bahkan penghuni dalam kehidupanku.

Setangkap suaraku pagi ini, aku biarkan terbang. Entah mengabadi di kerajaan langit di atas sana, atau menghablur lebur menjadi udara. Aku ikhlas dengan segala keputusan semesta.

Kepada ketiadaan dan sepi yang teramat menyanyat, aku menulis aksaraku ditepian rindu yang kubiarkan melaju. Tanpa pesan apapun, kuhaturkan syukur dengan tanpa tanda baca. Selamat pagi dari pagi paling sunyi.

Senja, 8 Juli 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal