Membaca Langkah Fiersa 1
Sumber gambar: Google
Judul buku : Arah Langkah
Penulis : Fiersa Besari
Penerbit : Mediakita
Jumlah hlm : iv + 300
Tahun terbit : 2018
ISBN : 978-979-794-561-9
“Sejauh
apa pun jalan yang kita tempuh, tujuan akhir selalu rumah.”
Kesimpulan
yang menjadi jawaban sebuah petualangan dari seorang Bung. Nama beken yang
menjadi tokoh utama dan penulis dalam novel ini ia tuliskan di bagian paling
atas cover bagian depan. Kalimat ini mengingatkan pembaca bahwa selalu
ada tempat kembali dalam sebuah kata pamit, pisah, tualang, bahkan pergi.
Buku
yang tersaji tanpa daftar isi ini menurut saya terkesan unik. Baik dalam
proses, sebagaimana yang dituliskan Fiersa hingga bagian-bagian tertentu yang
menggambarkan potret negeri yang tentu sangat menambah wawasan pembaca untuk
ikut andil menjelajahi negeri tercinta ini. Ditambah lagi dengan alur cerita
yang mudah dipahami, Fiersa berhasil menggeser ingatan kita untuk sekadar
melihat peristiwa yang ia alami selama bertualang. Tabik! Ungkapnya di halaman
pertama.
Serentetan
kisah yang terangkum dalam; Kausa, Arkais, Sawala, Swabakar, Ruaya, Waham,
Utara, dan Sarak merupakan bagian bab yang mengisahkan perjalanan penulis
menghadapi suka duka selama berkeliling ke Indonesia.
Awal
pertemuan pertamanya dengan Mia di 2008 dan petualangan meninggalkan kota
Bandung yang penuh kenangan di tahun 2013 menjadi babak paling menarik untuk
ditelusuri. Fiersa menceritakan dua kisahnya sekaligus dalam serentetan
petualangan hingga ia dapat membalas ‘dendam’ untuk dapat hidup lebih baik
tanpa terkungkung pada masa lalu yang pahit.
Di
tahun 2013, Bung (penulis) memulai aksinya berkeliling Indonesia bersama dua
temannya yaitu Prem dan Baduy. Prem seorang gadis yang memiliki nama asli Anisa
Andini, juga Baduy yang merupakan teman baik Prem. Ketiganya berangkat dan
berkumpul di Bandung dengan membawa ransel besar yang berisi kebutuhan selama
di perjalanan. Sebagai seorang backpacker, mereka berkomitmen untuk
menghemat pengeluaran agar cukup untuk hidup hingga pulang.
Suatu
ketika di 2008. Sebuah tulisan yang barangkali bisa disebut diary ini
menggambarkan bagaimana diri penulis sedang menuliskan sesuatu tentang hari yan
sedang dilaluinya. Tanpa malu maupun ragu, segala perasaan yang terpendam
dimuntahkan begitu saja di dalam surat pribadinya untuk ia baca dan ia kenang. Seperti
yang penulis katakan;
Arah Langkah ini bukan hanya sekadar tentang
perjalanan saya, tapi juga tentang keindahan negeri ini, yang saya tangkap
lewat mata dan abadikan lewat foto dan tulisan, dan ternyata meskipun diwarnai
perbedaan, cinta dan persahabatan bisa ditemukan di mana pun (hal. 2).
Tidak
ingin menyembunyikan sesuatu yang senyatanya terjadi, Fiersa mengeluarkan
kegundahan hati untuk disulap menjadi langkah besar agardapat menaklukan
kegalauan. Hingga jatuhlah ia kepelukan semesta dengan menikmati indahnya alam
raya. Perjalanan yang tidak mudah ia lupa sepanjang hidupnya. Inilah pembuktian
Fiersa seperti yang tertulisan dalam setiap lembar Arah Langkah yang penuh
kejutan dan cerita-cerita unik diberbagai belahan daerah di nusantara.
Mulai
dari pertemuannya dengan teman yang belum ia temui di media social, perjalanan
yang bermodalkan hitching (menumpang), bermalam di rumah kawan, hingga
emperan, membangun tenda dipinggir pantai, sandal yang hilang akibat terbawa
ombak laut pasang, berpisah dengan teman-teman hingga dihadapkan dengan dua
pilihan; kembali pulang atau melanjutkan perjalanan.
Kebesaran
hati seorang Fiersa tegambar ketika berkali-kali kesulitan mnghampiri. Dengan sikap
yang tenang, ia mencoba mencari solusi terbaik dengan dua kawannya. Meskipun
rasa takut akan hal-hal yang tidak diinginkan kerap menghampiri. Termasuk hal
mistis tentang kepercayaan daerah Nias bahwa jika berlaku macam-macam, maka ia
tidak akan bisa kembali pulang. Satu hal yang seringkali terngiang di kepala
Bung.
“Bung, napasnya diatur! Kakinya enggak usah
teralu banyak gerak. Jangan kayak orang panik begitu,” Baduy berkomentar
melihat gaya menyelamku (penulis) yang sermpangan.
“Maksudnya?” tanyaku (penulis) masih sambil
berenang.
Baduy lalu naik ke atas kapal. Ia buka
snorkel dan google yang melekat di kepalanya. “Yang penting tetap tenang. Kalau
kamu banyak gerak, nanti malah cape. Kamu tau, pembunuh nomor satu di alam?”
“Rasa panik,” jawab Prem yang menyusul Baduy
naik ke atas kapal.
Aku mencoba lagi dan lagi, tapi tetap salah
di mata Baduy. Ah, aku memang harus mulai belajar menyelam, apalag di negeri
bahari ini (halaman 146).
Istilah
yang kerap sekali diungkap perihal ‘zona nyaman’ yang dimaksud ialah, usaha
untuk keluar dari rasa malas dan larut dalam kesedihan. Beruntung, Fiersa
merupakan seorang yang pantang menyerah dan selalu ingin mencoba hal baru. Itulah
sisi lebih dari penulis yang menuliskan pengalamannya selama berpetualang.
Jika
dirangkum dalam sebuah daftar, penulis menampung banyak angka lebih yang jelas tidak
diragukan lagi. Terbukti, kisah petualangannya mendapatkan apresiasi oleh
banyak orang di penjuru negeri. Pemikiran serta ide yang kreatif mendorong
dirinya untuk terus berkarya. Namun tak lepas dari kekurangan, Fiersa juga memiliki
kelemahan yang menurut peresensi secara subjektif harus dibenahi. Mengingat Si
Penulis merupakan teladan bagi banyak orang. Sebab, dari Arah Langkah,
peresensi menemukan kejanggalan, serupa pertemuan dengan Ikar. Laki-laki yang ‘berbeda’
dari semua temannya, hingga membuat Fiersa bertanya-tanya.
Meskipun
di lingkungan yang notabennya betato, minum-minuman keras, merokok, dan
berjudi, justru Ikar memilih jalan untuk tidak melakukan hal-hal ‘dilarang’
tersebut karena suatu alasan.
“Saya membuat janji. Kalau Tuhan menolong
saya, saya tidak akan lagi menyentuh alcohol dan rokok. Saya mau memperbaiki
pola hidup. Ternyata, Tuhan member saya kesempatan kedua. Tuhan menolong saya
sampai saya bisa hidup kembali, bisa ada hari ini bersama Bang Bung.”
“Kamu luar biasa, Kar. Semoga aku bisa
mengikuti jejakmu berhenti merokok dan minum-minum.”
“Ya. Begitu, dong. Kita enggak akan pernah
tahu kapan napas terakhir kita berembus dan kapan kita meregang nyawa. Sudah
saatnya kita belajar bersyukur. Tidak perlu dengan melakukan hal-hal hebat.
Cukup dimulai dengan menyayangi diri sendiri” (halaman
272).
Sebuah
penanda atau catatan bagi penulis untuk memberikan (minimal) teladan yang baik.
Sebab pembaca biasanya menajadikan idolanya sebagai panutan. Begitu pula degan
Fiersa yang telah naik daun dengan karya-karyanya. Sebab, dalam Arah Langkah
Fiersa menuliskan kebiasaannya minum-minuman keras hingga mabuk dan bicara ngawur,
sempat pula menghisap ganja, atau hal lain yang barangkali peresensi tidak
begitu memahami.
Selebihnya,
saya terkesima dengan pemikiran Fiersa yang begitu detail menangkap aksara dari
tiap apa yang dipandangnya. Menikmati suasanya pantai, memotret
bintang-bintang, atau hanya sekadar membanyangkan seandainya Malin Kundang itu
adalah dirinya. Perilaku abstrak semacam ini saya rasa tidak semua orang bisa
memaknainya. Tapi dengan menuliskannya seperti aliran air yang mengalir, Fiersa
menancapkan tiap diksi menjadi pesan moral yang tidak cuma-cuma, namun
berharga.
Berbicara
tentang petualangan hingga harus berpisah dengan teman-temannya, disebabkan
Pram yang kehabisan uang saku, hingga Baduy yang juga harus kembali karena
alasan bahwa ibunya sedang sakit, merupakan ujian bagi Fiersa untuk memilih
melanjutkan atau menghentikan langkah. Inilah yang dinanti-nanti dalam buku
ini.
Petualangan
Fiersa bukan sekadar pelampiasan atas rasa sakit akibat disakiti oleh
kekasihnya. Namun di sisi lain, ia mendapatkan begitu banyak pengalaman
berharga yang semakin mendewasakan dirinya. Berpetualang, hingga berangan akan
sampai ke Raja Ampat dengan janji akan membuat rambutnya terpangkas habis jika
dirinya sampai menginjakkan kaki di sana.
Bukan
itu saja, pembaca akan menemukan bagaimana penulis bertemu dengan orang-orang
asing yang sempat menjadi keluaga, menjadi bahan renungan, juga (pernah)menjadi
bahan alasan untuk menjadi penakut. Mulai dari pertemuannya dengan Iwal dan
kawan-kawan di Bawomataluo, Erlita yang ingin menjadi penyanyi, hingga
anak-anak Pelabuhan Sibolga yang mendefinisikan kebahagiaan dengan bermain di
dalam air. Begitu pula dengan perjumpaannya di sebuah penginapan serupa rumah
hantu dengan seorang bapak tua yang tiba-tiba pergi dengan hanya meninggalkan
uang sewa dan ikan yang bececeran di lantai yang diduga dimakan tuyul, hingga perjalanannya
sampai ke Pulau Samosir, juga merelakan ukulele kesayangan demi membahagiakan
kawan.
Yang
banyak memberikan cerita, ketika menginap bersama teman-teman Mapala Pah’yaga’an,
mendaki gunung, menyelam, hingga ditinggal kawan dan merasa sendirian. Tapi
tidak. Fiersa menuliskan:
Suasana ini, gelak tawa ini, esensi ini,
orang-orang ini menyadarkanku bahwa aku takkan pernah merasa sendirian. Mungkin
aku kehilangan makna “pulang” karena memang aku tidak pernah pergi. Di negeri
ini, di mana pun aku berada, adalah rumah (halaman 285).
Sragen, 23 Agustus 2018
Komentar
Posting Komentar