Resensi; Penyelonong
(Potret buku ini saya ambil dari internet. Sebab buku yang saya baca telah usai dan kembali mendekam di Arpusda Kab. Sragen)
Judul asli :
Tjoek
Judul terjemah : Cuk
Pengarang : Vincent Mahieu
Penerbit asli :
Uitgeverij Tong Tong, Den Haag
Penerjemah : H.B. Jassin
Percetakan : Sapdodadi
Penerbit :
Djambatan, Jakarta
Tahun terbit :
1976
Jumlah hlm :
164 halaman
Mengenal
Vincent Mahieu dalam blurb buku ini ialah seorang penulis cerita yang juga
disebutnya dongeng dalam bukunya Tjoek dan Tjies. Kedua buku tersebut
diterjemahkan ditahun yang sama oleh H.B. Jassin yaitu pada tahun 1976. Vicent
yang memilki nama asli Jan Boon ini lahir pada tahun 1911. Selain nama samaran
Vincent, ia memiliki nama samaran lain Tjalie Robinson. Nama ini populer ketika
dia menjadi redaktur majalah Orientatie, yang pernah terbit di Jakarta tahun
50-an. Di dalam majalah tersebut dia menulis aneka ragam karangan begitu pula
dalam harian Nieuwsgier yang lahir beiringan dengan terbitnya majalah itu Jakarta.
Kumpulan
cerita dalam buku ini terdiri dari sepuluh karangan. Diantaranya berjudul;
Penyelonong, Cuk, Little Nono, Jembatan Cipinang, Pirut Urat Mas, Cerita Pendek
yang Pendek, Tembok, Maju, Hari Minggu, dan Dasi. Keseluruhan cerita yang
disuguhkan Vincent, dapat saya nikmati
setiap deskripsi yang manis sebab menggambarkan
peristiwa. Terlebih,
seringkali ia mendeskripsikan setting yang sangat akurat, sehingga
membantu pembaca dalam melihat pemikiran dalam alur ceritanya.
Pertama, cerpen pembuka berjudul
Penyelonong. Menceritakan seorang pemancing
(bukan nelayan) sebagai pemeran utama yang rela menunggu kailnya bergerak-gerak
oleh ikan disepanjang malam.
Dan aku terkejut ketika tiba-tiba aku sadar bahwa bunyi itu
datangnya dari dekat. Aku menoleh. Seorang perempuan datang mendekat. Aku
tiba-tiba merasa kesal karena terganggu (hlm
3-4).
Di
malam yang semestinya tidak ada perempuan berkeliaran di pelabuhan yang gulita,
seorang perempuan bernama Orlean duduk di sampingnya. Hal ini seperti
menggambarkan Vincent dengan kebebasan berpikirnya menciptakan sesuatu yang
tidak wajar. Ditambah lagi dengan sikap Orlean yang rela pergi jauh (jalan
kaki) untuk membelikan nasi beserta lauk pauk bagi pemeran utama dalam cerita
ini.
Akhirnya,
berharap Orlean tidak kembali, pemancing yang tidak disebutkan namanya ini
justru merasa bebas sebab tidak ada yang mengganggu. Sialnya, semenjak
kedatangan perempuan itu, tidak seekor ikan pun didapatkannya. Namun lebih dari
satu setengah jam kemudian, Orlean kembali dengan makanan seperti yang
diperintahkan tuannya (pemancing).
Aku tidak memikirkan siapa-siapa, tidak memikirkan apa-apa.
Aku merasa jadi sebagian dari alam yang tiada terlukiskan, alam tiada berbentuk
sekitar. Berapa lama aku duduk demikian? Tiba-tiba aku mendengar orang berseru:
‘Ooooi!,’ kemudian: ‘Tuan di mana?’ Aku berdiri untuk melihat dari atas
timbunan kayu di sampingku. Perempuan itu telah kembali dan ketika ia melihat
aku, ia dengan gembira mengayun-ayunkan bungkusan di atas kepala
(hlm 7).
Saya
seperti melihat fantasi, sebuah orkestra yang dimainkan pemusik untuk
meningkatkan gairah pendengarnya. Dalam hal ini, tentu seperti tata tertib
tersendiri bagi pembaca buku Vincent agar tidak tegang ketika membaca
dongengan-dongengan darinya.
Sebagai
pencerita, saya merasa asyik membaca satu bagian buku ini. Sebab cerita
sederhana yang disuguhkan Vincent menjadi apik ketika dirinya banyak
mendeskripsikan alur cerita yang membuat pembaca jeli melihat suasana. Meskipun
sempat membuat kesal diakhir cerita, nampaknya memang itulah ciri khas dari
pengarang.
Persis ketika aku sampai di depan rumah, lewat sebuah mobil
yang tiba-tiba berhenti direm. Sebuah kepala nongol ke luar. Kepala redaktur
sebuah harian pagi dalam perjalanan pulang ke rumah. ‘Hai!’ ia berseru,
‘semalam-malaman mancing? Dapat ikan?’ Aku ayun-ayunkan keranjang ikanku yang
kosong. ‘Semalam-malaman mancing dan tidak dapat apa-apa?’ teriaknya tidak
percaya. Kemudian dengan nada nakal dalam suaranya: ‘Manis ceweknya?’ Aku
memandangnya heran. ‘Ya,’ jawabku, ‘ya – ya.’ ‘Ho-ho-ho!’ ia tertawa,
‘cepat-cepatlah mandi dan tidur!’ Lalu iatancap gas dan menghilang. Dan aku
mandi lalu tidurI (hlm 12).
Benar, saya merasakan
seorang Penyelong masuk ke dalam pikiran saya selaku pembaca. Ia seperti
mengajak saya mendengarkan ceritanya dan bagaimana ia memancing di priok yang
keruh dan hitam airnya, pertemuan hingga pisah dengan seorang perempuan manis
di tengah malam yang sunyi, serta ketabahannya saat menyerahkan hasil tangkapan
yang tak seberapa kepada perempuan bernama Orlean itu. Penyelonong itu, sekilas
singgah ke dalam pikiran lalu nyelonong entah kemana.
Kedua, Cuk.
Saya
tidak percaya ketika kudapati Cuk adalah seorang gadis kecil yang lincah. Ia
tinggal dibelantara sunyi dekat dengan pemakaman tua yang jarang sekali
terjamah oleh manusia. Sedangkan pedesaan terletak di bawah bukit tempat Cuk
tinggal. Baginya tidak ada rasa takut sebagaimana anak-anak kecil lainnya. Ia
dibesarkan di tempat yang menuntutnya menjadi seperti harimau, ular, buaya atau
kelelawar. Inderanya tak pernah berhenti mengamati setiap gerak-gerik semesta
meskipun hanya desah daun pun akar yang diam-diam memerobos tanah.
_________
Saya menghentikan tulisan ini setelah sadar bahwa Cuk sebenarnya jelmaan dari seorang gadis kecil serupa Senja. Tapi sebuah metafora tertangkap ketika hendak menelusuri sisi jiwa keduanya. Esensi cerita tetap sama, sedangkan implementasi takdir, barangkali hanya waktu dan Tuhan yang berhak menentukan.
Terima kasih telah membaca tulisan saya yang belum selesai ini.
Selamat menanti!
Jika tidak sabar, baca sendiri!
Tabik!
Komentar
Posting Komentar