Yang Diam Yang Bergejolak
Sebagai
salah seorang mahasiswi yang gagal kuliah di jurusan seni, bukan berarti harus
“rela” mengubur hidup-hidup keinginan diri untuk terus menggali potensi. Ya,
solusi dari sekian banyak plan yang akhirnya harus kutebus dengan
langkah mungil sambil perlahan menghidupi hobi yang semakin hari kian menghuni
setiap organ dalam diri. Asyek!
Sambil
mendengarkan senandungnya Fajar Merah, “Kebenaran akan Terus Hidup” aku
melanjutkan tulisan ini. Perlahan, suasana Tegal tepatnya di gubuk Teater Pasak
mulai menghuni memori. Kembali, langkah selalu meninggalkan jejak. Sama halnya
dengan ingatan. Dan satu hal, aku masih ingin menguak sesuatu dari perjalanan
yang kudapatkan kemarin. Sesuatu yang tidak pernah kutemui sebelumnya dalam
hidupku. Tapi sungguh, aku kesulitan menebaknya setiap kali dugaan itu muncul. Benar
saja, kehidupan akan terus berputar. Tidak akan pernah berhenti. Bahkan lajunya
semakin tajam.
Di
hadapan buku dan barang-barang yang berserakan, ingin kuungkapkan satu hal
bahwa “aku berhasil menaklukkan ketakutan.” Kau boleh menyebutnya harapan receh
yang tidak pantas diperjuangkan (tidak masalah). Tapi aku seorang mahasiswi
yang mencintai seni. Seni harus dimerdekakan sekalipun di kampus islam. Bukan
dikutuk dengan alasan pendanaan. Meski, aku percaya bahwa dana yang besar tidak
akan mampu ditanggung hanya dengan mendelegasikan mahasiswanya yang (barangkali)
belum begitu terlatih dibandingkan dengan delegasi kampus yang lain. Sebab, buat
apa prestasi jika ujungnya hanya untuk ajang pamer dan kepentingan akreditasi?
Aku
bicara realita sebab di Indonesia memang miskin keadilan. Bukankah Pramoedya
Ananta Toer juga sepakat bahwa; “Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada
peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu
yang tidak ada: keadilan.” Ya, hampir setiap kompetisi selalu menyimpan
birokrasi. Sebab, masih kuingat jelas bagaimana ketika harus memerjuangkan
sesuatu yang tidak mungkin mampu kudapatkan. Karena segala keputusan telah
disetting seperti halnya sebuah hal muskil untuk dapat diganti meskipun segala
kekuatan telah dikerahkan. Tiap kubu mulai bermain sambil menyimpan umpatan,
“geng-ku giliran menang.” Akhirnya setiap perjuangan hanyalah formalitas yang
diada-adakan. Dana habis untuk sebuah kepura-puraan.
***
Aku
teringat pertemuanku dengan D. Kemalawati ketika di Aceh. Aku bangga, tapi hati
kecilku justru menangis. Betapa miris jika aku tahu peristiwa yang terjadi
setelah salah seorang dosenku mengatakan realita yang sebenarnya. Sungguh tidak
ada keadilan bahkan sportifitas seperti yang dipasang pada papan-papan iklan
menyambut PIONIR kala itu. Di mana tim juri mengunggulkan anak didiknya
sendiri. Kompetisi berjalan sebagai syarat telah diadakan program, kemudian
dengan tanpa beban atas ketidakadilan, mereka melaporkan “perintah telah
dilaksanakan tanpa hambatan.”
Seni
memang hal abstrak untuk dinilai dengan angka. Bahkan selera juga menentukan
terhadap siapa yang pantas dilabeli sebagai juara. Bahkan banyak dari mereka
yang melihat bukan dari kemampuan, tapi jam terbang. Hebat bukan?
Tunggu,
aku menulis ini bukan sebab aku kesal dan kecewa karena tidak mendapatkan hasil
yang kuharapkan. Namun hal ini dipengaruhi oleh banyaknya kejadian yang
mengatasnamakan “harga diri” sebagai seorang seniman/budayawan/satrawan/apapun
terserah kalian. Sayang sekali, aku sebagai orang baru merasa tidak pantas sok
tahu. Walaupun pada akhirnya kejadiannya memang begitu adanya.
Kubu..
dan kubu..
Dua tahun
lalu, tepat 14 Juli 2016 aku dibuat kecewa oleh keputusan penguasa yang
membuatku benar-benar patah arang. Targetku yang telah kuimpikan sejak masuk
perguruan tinggi begitu mudahnya dilenyapkan. Mereka membuatku (juga beberapa
temanku) kecewa karena tidak mendapat dukungan sebagaimana kompetisi yang
memang menjadi andalan kampus, yang dengan mudahnya menyodorkan
kertas-ACC-dengan bubuhan tanda tangan. Inilah awal ketidakadilan.
Apakah
mereka pikir dengan mencoba memberanikan diri untuk action meskipun minim
pengalaman hanya akan menghabiskan tenaga, waktu, juga dana? Apakah ia hanya
melihat sebelah mata? Apakah dengan tidak ungul dibidang yang lain, kita tidak
ungul pula dilain bidang? Apakah dengan diam saja kampus akan berjaya? Apakah
dengan memasang muka penuh iba, segalanya akan mudah kami minta? Apakah salah
jika kami tumbuh perlahan dengan meminta dukungan? Atau hanya yang instan yang
akan dijamin menang? Apakah kami harus sembunyi dari kampus sendiri akibat
tidak direstui demi prestasi? Apakah yang diinginkan hanyalah kemenangan tanpa
harus menanggung beban kekalahan? Apakah sejatinya yang kalian harapkan?
Berkali-kali
kami diam. Setelah lelah menjelaskan kepada kalian apa yang belum kalian dan
juga kami ketahui. Apakah salah jika kami duduk bersama dan saling bicara
layaknya keluarga? Tapi itu tidak akan terjadi, hingga kami memilih jalan
sebagai militan. Menjadi pemberani selagi masih di negeri sendiri. Kampus
seperti orangtua yang membiarkan anaknya sendiri terusir dari rumah. Kami
seperti tidak memiliki siapa-siapa untuk sekadar disuapi doa dan dukungan. Kami
seperti seorang anak yang tidak diharapkan. Terlantar.
Ya, di
Tegal. Aku dengan seorang kawan dari Teater Sirat IAIN Surakarta berniat nekat
untuk tetap mengikuti lomba stelah dua tahun lalu gagal untuk hanya menjadi
peserta. Akhirnya saya datang ke kemahasiswaan untuk meminta izin dengan ACC
berupa tanda tangan dari minimal Wakil Rektor 3. Tapi feelingku memang
mengatakan hal yang sama seperti dua tahun lalu. Dulu, aku seringkali berkomunikasi
dengan Mas Nandang Wicaksono yang juga dari Teater Sirat. Kami saling mengenal
ketika kami sama-sama terpilih menjadi calon peserta di ajang Porseni beberapa
tahun lalu. Namun lagi-lagi gagal untuk hanya menjadi peserta.
Benar saja. Kedatanganku
ke kemahasiswaan berbuah sia-sia. Aku datang dengan harapan penuh selagi masih
menjabat sebagai mahasiswa. Sekaligus memanfaatkan waktu menjadi bagian dari
ajang Pekan Seni Mahasiswa terbesar di Indonesia. Tapi lagi-lagi gagal
mendapatkan tandatangan. Tanpa pikir panjang, aku kembali menyusun siasat
ditemani adikku juga Fajar dari Teater Sirat yang kami pun sempat berkenalan
lewat perantara Mas Nandang. Akhirnya kami memutuskan untuk tetap melanjutkan
langkah. Ya, untuk menjadi peserta.
Meskipun aku
gagal meminta ACC, namun Fajar punya cara lain. Ia meminta tandatangan surat
tugas dari dosen pembimbingnya. Bu Isna namanya. Barangkali beliau tidak begitu
paham dengan Peksimida beserta dengan seluk beluknya. Namun yang Bu Isna tahu
ketika ada seorang mahasiswanya berkeinginan untuk maju demi prestasi, beliau
selalu mendukung. Walaupun hanya mampu memberikan dukungan dengan bubuhan tanda
tangan. Alhamdulillah, langkah awal kami tempuh dengan rekayasa yang baik! Meskipun
kami tahu, di seleksi administrasi, kami tidak akan diterima sebagai peserta.
Namun apa
yang terjadi ketika di Tegal? Ah, rasaya terlalu blak-blakan jika aku
menuliskan kisahku semuanya di sini. Haha..
Pada intinya,
Tuhan berada di atas kampus, rector, juga takdir kami. Doa. Hanya doa yang kami
harapkan untuk emrubah keadaan menjadi baik-baik saja. Alhamdulillah, puji
syukur tak henti aku kumandangkan disetiap dengung nafas setelah terbukti kami
masuk menjadi peserta.
Untuk ini,
aku ucapkan terima kasih kepada:
Allah SWT
yang melancarkan awal hingga akhir perjalanan kami.
Adikku, yang
telah berpura-pura menjadi official kampus.
Kurnia Fajar
A, yang telah menjadi partner terbaikku hingga kami tidak perlu susah payah
menjadi tempat menginap, dsb.
Teman-teman
Teater Pasak Universitas Pancasakti Tegal yang bersedia dengan senang hati
menampung kami dan mengantarkan kepulangan kami.
Teman-teman
baru dari UIN Walisongo (Amir dan Lukman), Unisula Semarang (Helmy), Teater
Peron (Firda), Teater Pasak (Mbak Rusbang, dkk), Gandewa Unikal terlebih Pak
Emha Jayabrata, STIE Surakarta (Wardana dan Sherly), STIE Pekalongan (lupa
namanya) juga dari Teater Getar (selamat untuk Mas Boyok), Ciprat USF (yang mbarengi kami pulang) yang secara langsung
maupun tidak langsung telah mengajarkan kami untuk terus berkarya dan
menghargai proses.
Di
sini, sembari kutuliskan selembar kisahku yang masih cukup menyimpan tanya,
kulantunkan doa untuk kalian. Semoga selalu dalam keadaan baik dan sampai jumpa
di lain kesempatan. Semoga kita semakin berjaya! Aamiin.
ππ€ tetap semangat!
BalasHapussiap, Sayang! ^^
Hapus