Camus Hidup di Tubuh Meursault
Judul : The Outsider (Sang
Pemberontak)
Penulis : Albert Camus
Penerjemah : Natalia Trijaji
Penerbit : Ecosystem Publishing,
2017
Tebal : viii + 164 halaman
ISBN : 978-602-1527-53-5
“Di masyarakat kita, orang yang tak
menangis saat pemakaman ibunya dapat dihukum sampai mati.” Sesederhana
penjelasam Albert Camus seorang keturunan Spanyol, menggambarkan tokoh utama—Meursault
dalam buku ini dihukum karena ia tak mengikuti permainan. Ia seorang
‘pembangkang’ atas lingkungan tempat ia tinggal, keluyuran di daerah pinggiran,
bermain-main di tepian kehidupan, soliter dan sensual. Pemikiran Camus dalam
buku ini mampu menyeret kita kepada pernyataan terhadap diri sendiri—menolak
berdusta.
The Outsider, diterjemahkan
dari karya Albert Camus berbahasa Perancis, L’Etranger. The Outsider
adalah karya sastra berbentuk roman. Roman ini ditulis pada tahun 1942. Lokasi
ceritanya adalah di Aljazair, tempat Camus dilahirkan dan tumbuh dewasa (hlm.
v). Filsafat absurditas telah mendarah daging dalam diri Camus—melahirkan
karya-karyanya yang terus up-to-date sepanjang masa.
Novel ini menarik pembaca—yang oleh
Natalia Trijaji, penerjemah buku ini dengan lugas menggambarkan ‘pemberontakan’
dalam diri Camus yang tidak pernah lepas dari pemikiran-pemikiran filosofis.
Tak kalah unik, buku ini berhasil menciptakan perenungan bagi pembaca dengan
ibarat sebuah sungai—tenang dipermukaan, tapi deras gelombang di kedalaman.
Dengan istilah lain, emosi pembaca dibiarkan ‘menunggu di luar’, sedangkan
pikiran akan diajak untuk menemukan benang merah di dalamnya.
Membaca buku ini, seperti menguak
kembali ‘komitmen’ Camus yang sulit dipertahankan: penolakan untuk berbohong
tentang apa yang diketahui dan perlawanan terhadap penindasan. Sebagai tokoh
yang dikenal absurdis, Camus menekankan agar menghadapi hidup dengan berani
tanpa takut pada bahaya kematian yang bisa datang setiap saat tanpa diketahui.
Melakukan revolt—pemberontakan atas hidup!
“Jika Anda ingin menjadi seorang
filsuf, tulislah sebuah roman,” tulis Camus. Dalam pengatar buku ini pun, penulis
menciptakan tokoh utama yang misterius, tidak peduli dengan aturan norma sosial,
layaknya orang asing bagi dirinya sendiri juga kehidupannya di bumi. Menurut
analisis, Meursault menjalani semua aksi, keinginan dan kegundahannya. Ia
mewakili manusia yang tidak masuk akal sebagaimana digambarkan dalam “Le
Mythe de Sisyphe”, seorang yang aneh “suatu perseteruan antara panggilan
manusiawi dan keadaan dunia yang tidak masuk akal.”
Tokoh Meursault yang terbagi menjadi
dua adegan, memudahkan pembaca untuk memahami fakta yang sebenarnya (real).
Di bagian pertama—Meursault dikenalkan sebagai pria yang tenang dengan tetap
menjalani kehidupannya sebagai manusia pada umumnya. Hingga suatu ketika
mendapati kenyataan bahwa ibunya meninggal dunia di sebuah panti jompo yang
terletak di luar kota dari tempatnya bekerja. Selanjutnya, berbagai situasi
mencekam menjadi klimaks di bagian kedua. Sampai suatu ketika Meursault
menghadapi hukuman mati.
“Harapan terakhirku adalah mestinya ada
sekumpulan penonton pada eksekusiku dan mereka mestinya menyambutku dengan
teriakan kebencian,” tulis Camus mengakhiri novel The Outsider ini.
Meursault—tokoh utama dalam buku ini—memberikan wacana kebebasan bagi warga
negara Perancis (apa yang disebut pied noir) itu (bukan) sebagai ujaran
penyesalan sebab telah melakukan ‘pretensi heroik’ yang dianggap menantang
etika. Justru sebaliknya, ia merasakan kemerdekaan di atas kehendak dirinya—mengutip
catatan Camus—menuai keinginan demi yang absolut dan kebenaran. Meski dianggap
sebagai sesuatu yang negatif, kebenaran lahir dari hidup dan perasaan, tapi
tanpa kemenangan atas diri sendiri atau atas dunia tidak akan pernah mungkin
terjadi.
Sebagaimana penjelasan Camus, barangkali
pembaca akan memberikan label bahwa tokoh dalam buku ini adalah seorang heroik,
pemberontak dan membenci penguasa. Realitanya, Camus memberikan kejutan yang
bahkan diluar praduga. Penulis dengan terampil menghidupkan gejolak batin
melalui tokoh ciptaannya sebagai seorang seniman. Dia mampu mengajak pembaca
untuk berpikir tentang dirinya juga lingkungan di sekitarnya.
Albert Camus—Pemenang Penghargaan Nobel
Sastra 1957 dalam pidatonya tertulis di lembar akhir buku ini tepat di halaman
153 yang dicetak dengan tinta biru. Penjabaran atas pernyataan dirinya saat
dinobatkan tidak lepas dari alasan Camus melahirkan The Outsider sebagai
hasil perenungan atas peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Dia mengatakan,
“bagi diriku sendiri, saya tidak bisa hidup tanpa kesenian.” Dalam pernyataannya,
“Seniman menyatukan dirinya dengan yang lain, di tengah keindahan yang tidak
bisa dia lakukan dan lingkungan yang tidak dapat dilepaskan darinya. Itulah
sebabnya seniman sejati tidak mencemooh apa-apa: mereka berkewajiban untuk
mengerti daripada menilai. Dan jika mereka harus berpihak di dunia ini, mereka
mungkin hanya berpihak kepada masyarakat” (hlm. 155).
Dalam pidatonya, Nietzsche turut
dilibatkan Camus untuk memperkuat ‘ambisinya’, “Bukan hakim tapi pencipta akan
memerintah, apakah dia seorang pekerja atau intelektual,” ucap Camus, mengutip
Nietzsche saat pidatonya di Balaikota Stockholm, 10 Desember 1957. Yang mana
pemberontakan Meursault terjadi karena dia menolak berdusta—menegaskan kembali
bahwa berdusta yang dimaksud Camus bukan mengatakan apa yang tak benar. Dalam
kenyataan terutama, juga mengatakan
kebenaran dalam perkara hati manusia, mengatakan lebih dari yang dirasakan
(hlm. 150).
Terlepas dari latar belakang penulis
sebagai seorang sastrawan eksistensialis—dengan gaya bahasanya yang memikat,
buku ini tetap menarik untuk dibaca. Meskipun novel terjemahan, inti cerita dan
makna masih kental—yang berhasil dituliskan kembali—oleh penerjemah Natalia
Trijaji—dengan balutan pemikiran Camus yang ‘sejati’. Gagasan-gagasannya yang
tidak dapat lepas dari kesenian memiliki kesan tersendiri bagi pembaca untuk
direnungkan sebagai refleksi kehidupan. Sekian.
Komentar
Posting Komentar