Surat Senja
Buat Indah Larassati
Tertanggal 23 November 2018.
Sebelum kamu memintaku mengambil celah di antara senja dan
gulita, selagi jemariku masih mampu menekan huruf-huruf membentuk dialog yang
hanya kupersembahkan untuk hari istimewamu tepat 4 Desember yang boleh jadi
akan mempertemukan kita dengan waktu yang paling Indah.
Kusebut setiap kata ini sebagai senja paling purnama, atau
mungkin seseorang; seumpama ayah, ibu, boleh juga kakakmu atau mungkin
seseorang yang barangkali telah menghuni ruang hatimu. Kurajut membentuk
setangkai berwarna merah saga dengan daun hijau segar seperti bentangan sawah
luas menghijau. Ambilah, ini untukmu!
Sungguh, sambil tersenyum kamu kehilangan cara bagaimana
menjadi biasa. Seorang Indah yang tiba-tiba terdiam menyaksikan mekar bunga
berwarna senja berada dipelukanmu. Lisanmu tak bisa berkata barang sedikitpun.
Hujan yang jatuh dipipi kian berkilau dengan bibir yang pertama kalinya
menunjukkan gemulainya. “Seorang perempuan yang anggun!,” bisik serangga yang
kebetulan singgah di taman hatimu yang semerbak oleh wangi bunga-bunga. Tapi
aku mencuri waktu untuk tertawa.
Selaras dengan namamu, aku mengenalmu lewat perantara jarak,
ruang, dan waktu, atau seseorang ketika kita sedang sama-sama menikmati
keheningan dengan menyuarakan lagu-lagu lama yang masih terekam dalam ingatan.
Selamat mendewasakan diri!
Kamu bisa tetap ceria menjadi anak-anak, menjadi adik dari
seorang kakak, juga anak gadis dari kedua orangtuamu. Lihatlah langit. Dia
sedang memandangmu betapa jelas pada hari ini kamu nampak semakin cantik. Bukankah
kamu sendiri yang mengatakan bahwa senyum ketika bangun tidur adalah kewajiban
agar hidup selalu bahagia? Kini di kota lain, seorang perempuan sedang
membiasakan diri tersenyum dengan tetap meyakini bahwa hanya dengan melebarkan
bibir ke kanan dan ke kiri, akan menambah rasa cinta dan kasih demi menjalani
hidup tanpa keluh kesah. Jika tak percaya, berkunjunglah. Kita akan menikmati
senja lain dari sudut pandang yang barangkali kamu belum menemukannya. Sambil
kuceritakan mengapa langit berwarna keemasan, bercampur merah, dengan sedikit
warna keungan.
***
Ke”indah”an yang se”laras” dengan harapan orang-orang untuk
menikmati barang sebentar waktu ketika lautan langit sedang ganti baju
(mengutip pernyataan Faisal Oddang). Jika kamu sedang memegang crayon atau kuas
lengkap dengan cat air, hari ini kamu bebas mewarnainya dengan warna yang kamu
suka. Lalu seperti biasa, kamu akan membidik orang-orang yang kegirangan
menyaksikan geliat langit yang berangsur menghilang seperti tenggelam di
lautan. Atau kamu akan menangkap momen ketika dirimu terpajang membelakangi
senja, maka wajahmu tak akan nampak bagaikan siluet perempuan berlatar senja,
lalu kamu pulang dengan membawa sebingkis puisi dalam genggaman. Kamu
membawanya hingga masuk ke dalam kamar yang menjadikan jemarimu bercahaya. Lalu
kamu akan menyimpannya ke dalam laci meja.
Kamu tahu, Indah, hari menginjak malam. Bagaimana rasanya
menjalani hidup yang penuh dengan gulita di mana-mana? Kamu tentu harus siap
menghadapi kehidupan yang timpang. Tidak semua hal yang kita lakukan menjelma
bahagia serupa angan yang kita harapkan. Sebab, senja kadang tak datang sebab
hujan ingin mengisi bumi dengan air agar tanaman subur dan tumbuh kembali. Sore
pun menjadi alasan bagi kebanyakan orang untuk melonggarkan pikiran sambil
menikmati teh atau kopi. Kesedihan dan kebahagiaan rupanya butuh spasi. Lalu
seperti akrabnya gemintang malam, kamu masih sanggup menikmati gulita dengan
menyaksikan taburan bintang juga bulan. Kau tahu darimana aku mengetahui rumus
sederhana ini?
Ibarat kau yang datang tiba-tiba, aku menangkap bayangan
senja dari percakapan kita. Kamu yang memberikan makna bahwa hidup ini perlu
dijalani dengan setulusnya cinta. Sebab mustahil akan tercipta senja dihari
berikutnya tanpa adanya kehendak Tuhan bagi utusan langit di atas sana. Tidak
mudah melukis langit bagi manusia yang banyak cakap namun miskin langkah untuk
memulainya bukan?
Adikku Indah yang berada ratusan kilo dari tempatku berada,
izinkan aku menuliskan ceritaku yang lain di hadapan Pencipta. Sebab terlalu
banyak keinginan tanpa diimbangi dengan doa, rasanya hambar seperti sprite
tanpa soda. Meskipun di hadapan-Nya aku tak pernah malu meminta dan bercerita
apa saja.
Sekarang, bunga-bunga berwarna senja yang kau pegang seakan
terbang menjadi milyaran kunang-kunang. Kau akan melepasnya bukan? Mereka akan
terbang bebas membawa mimpi-mimpimu untuk dilayangkan dihadapan Tuhan. Mintalah
apa saja sebelum pagi menjelang.
Tetaplah menjadi “Senja yang Indah” yang senantiasa menabur
bahagia dihati siapa saja.
Salam sayangku untukmu,
Senja
Seseorang yang menanti lukisan dirimu menghiasi bola mataku.
Komentar
Posting Komentar