Catatan Januari

Masih berada di lingkaran Januari 18:35 WIB.

Dengan sedikit kepenatan, lelah, dan bau badan yang menolak tersentuh air aku menuliskan catatan kecil perihal Januari. Menempatkan posisi duduk yang pas, memastikan notifikasi dari benda kecil bahwa orang-orang tercinta sedang berada dalam kondisi baik, sedikit mengusir dahaga dengan minum sisa air dari bekal kemarin, dan mulai menyalakan laptop dan lampu kamar.



Satu panggilan video tidak terjawab, tweet orang-orang yang masih membicarakan hal-hal yang itu-itu juga, beberapa pesan masuk via WA dan notifikasi IG yang sama sekali tidak menarik perhatianku. Aku menelan ludah. Beranjak dari rasa bosan sebab hidup orang-orangyang aku yakin juga mempengaruhi kehidupanku yang terkesan klise. Monoton. Aku yakin itu sekuat keyakinanku menertawakan pernyataanku.

Sebuah video pantai dengan nuansa senja yang dikirimkan oleh seseorang yang jauh gagal mengangkat derajat semangatku. Senja masih sama saja. Warnanya itu-itu juga. Tapi terimalah kasihku yang barangkali biasa orang-orang gunakan untuk membalas sesuatu dengan cara sederhana yang tidak mudah dilakukan oleh semua orang kutuliskan juga. Aku membalas pesannya.

Sepulang dari Jogja dan menyelesaikan segala beban di kepala untuk hal-hal yang tidak penting menurutku, tapi penting bagi orang-orang di sekitarku: skripsi. Wisuda lebih tepatnya. Bagiku, berjam-jam berada di hadapan laptop dan menulis sesuka hati lebih membahagiakan dari menuliskan karya yang kemungkinan hanya akan dipajang di lantai dua perpustakaan, menjadi tumpukan kenangan yang tidak sepadan dengan perjuangan; menghabiskan berlembar-lebar kertas menjadi satu jilid tebal yang di susun dengan sangat hati-hati, rapi, tapi miskin apresiasi.

Termasuk mempercepat jadwal menuju kota istimewa: Jogjadengan tujuan utamanya memenuhi persyaratan munaqosyah (atau biasa dikatakan ujian skripsi). Aku merasa kekonyolan sedang mengutuki diriku karena memaksa panitia ujian di Cilacs UII untuk segera mengadakan ujian SIMLA (bahasa Arab) agar besoknya mendapatkan hasil berupa sertifikat untuk mendaftar munaqosyah. Bukan hanya di UII. Panitia Tosa di PP NU Manik Mulya yang biasanya menyelenggarakan pendaftaran ataupun ujian pada hari Jumat dan Sabtu, terpaksa harus menuruti keinginanku untuk mengadakan tes Tosa (Tes of Standart Arabic) di hari Rabu. Padahal hari Kamis menjadi hari terakhir pendaftaran Munaqosyah pada periode tersebut. Meributkan, memang. Terkadang aku bosan dan memilih seperti teman-teman yang santai mengahadapi skripsi hingga tidak ingin peduli lagi. Salah siapa jadi mahasiswa?!

Hujan turun dengan deras ketika sampai di UII. Aku terpaksa menahan dingin sebab baju sedikit basah, ditambah suhu AC yang sengaja disetel lebih sejuk, mungkin. Di ruangan dugaanku benar; aku satu-satunya peserta ujian yang ngotot tes walaupun diadakan jam tujuh malam. Untung aku tidak memandangnya sebagai beban. Aku menikmatinya walaupun muak dengan aksara arab yang jelas aku buta dan bodoh mengartikan maksudnya. Penguji menuntunku mengisi identitas dan kecemasanku sedikit terobati. Setelahnya, aku hanya ingin segera melingkari 120 butir soal dan segera keluar ruangan. Mengakhiri semuanya saat malam menyisakan bekas hujan di sudut kota Jogja.

Tidak hanya mengisi waktu dengan tes di Jogja. Paginya, di tanggal dan hari yang sama, aku berangkat pagi-pagi, menembus kabut jalan dan segera menemui penyelenggara ujian atas rekomendasi dosen pembimbing yang merupakan ketua dari Pusat Pengembangan Bahasa. Lengkap sudah, nasibku harus berurusan dengan dosen yang sama. Tapi aku senang, beliau memberi solusi setelah kuceritakan permasalahanku di hadapannya tiga hari yang lalu. Barangkali baginya, aku mahasiswa yang paling suka mendesak waktu dengan beragam alasan. Seperti saat meminta ACC skripsi sedangkan aku tahu, revisi belum sepenuhnya sempurna. Dan lagi-lagi, beliau berbaik hati.

Kamu bosan dengan ceritaku perihal skripsi? Baiklah, kita balik arah. Memunguti kisah-kisah sepanjang perjalanan menelusuri jalan kecil Januari sambil berdialog tentang awalan-awalan yang baik untuk memulai hari dengan kejenuhan yang sama, aktivitas yang sama, kesibukan yang sama, dan nasib yang sama pula. Meskipun aku yakin, akan gagal juga.

Di tubuh Januari, aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menuliskan sesuatu di blog ini. Kerinduanku muncul saat mengdapati realita bahwa besok pintu Februari terbuka. Sepanjang keisengan kecil adalah menyempatkan waktu menulis di blog. Dan kali ini, sambil menulis dengan posisi jongkok demi mendapatkan mood yang baik, aku tetap menulis cacatan ini tanpa peduli akan bagaimana hasilnya. Barangkali ada yang merindukan ceritaku sebagai pengganti pertemuan. Aku selalu bersyukur dapat menyusun kalimat demi kalimat yang beberapa mungkin kau telah membacanya. Tapi aku tidak memaksa.

Menyalakan laptop, memandang layar handphone, mengambil beberapa buku, membacanya,  menulis status, membalas pesan, mengetikkan tulisan, membuat puisi, gagal dan kuhapus lagi, membuat desain, mengotak atik Corel, membuka Word, dianggurin, membuat catatan, membaca ulang karya teman, mendiskusikan rencana-rencana, membuat suatu karya, tidur, melupakannya, mengingat kembali cita-cita, menguburkannya, menunda tugas, memilih tidur saja, menutup laptop, mengisi daya, melihat notifikasi hp, mematikan lampu. Kesibukan yang biasa kulakukan di dalam kamar. Aku yakin kau paham meski tulisanku awut-awutan.

Di luar hal itu, aku banyak mengingat sesuatu. Menanggalkannya satu per satu, mengutukinya, mengumpatnya, mensyukurinya, mewujudkannya, mendoakannya, menyerahkan segalanya, membuangnya jauh-jauh, lalu berakhir menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Bukankah kehidupan memang begitu adanya?

Aku belajar menulis tidak untuk kuhapus lagi. Banyak file sampah memenuhi memori. Banyak cerita yang belum usai, puisi setengah jadi, esai yang berhenti akibat kebodohanku, tokoh cerita yang membosankan, malas membaca gara-gara dikecewakaan atau sebut saja salah bacaan (walaupun tidaka ada yang salah dengan membaca), mood memburuk, tugas menumpuk, teman-teman yang semakin kece berkarya, merasa tulisan lebih buruk dari karya sebelumnya, sampai pada pertanyaan mengapa aku rela melakukan ini semua?

Pada saat yang sama pula, ketika aku mengetik catatan ini, aku sedang menulis dengan apa adanya. Menjadi bagian dari kesederhanaan, bercita-cita dibaca orang-orang dan membuatnya bahagia. Saat aku menulis ini, aku tidak peduli alasan apa yang membuatku menulis semacam ini. Bodoh, memang. Ya, aku yang menjelma kebodohan ini.

Sampai tiba saatnya untuk karyaku dibaca. Menulis resensi sebagai salah satu sebab aku merasakan kembali kebahagiaan dan nikmat menekuni dunia kepenulisan. Januari memberi celah untuk beberapa karyaku yang barangkali akan kuingat sendiri ketika kesepian membuatku harus menghibur diri dengan keberadaan masa lalu yang lucu. Dan menulis adalah bagian dari kelucuan hidup semenjak tulisanku menjadi bahan tawaan orang-orang. Tapi untunglah, aku tidak sedang peduli saat itu. Hanya kantuk yang melanda, membuatku memilih tidur saja daripada mendengar ocehan orang-orang.

Beberapa buku telah usai kubaca. Aku menikmatinya. Tapi aku malas menyebutkannya. Beberapa tidak aku suka. Aku memilih menutupnya dan berjanji tidak melanjutkan membacanya lagi atau moodku akan kembali kritis. Ada juga beberapa buku kumpulan cerita yang membuatku terkejut atas dasar apa tuhan menciptakan ide ke kepala manusia. Kadang aku dibuatnya tertarik untuk juga menulis sebuah cerita pendek. Ya, aku pernah menulis dua cerpen bulan ini dan masih kusimpan di folder yang kuberi nama Tulisanku 2019.

Apalagi ya, aku lebih suka berlama-lama memandang hp soalnya. Sebab tidak ada yang menarik selain mengamati orang-orang berlalu-lalang di status, mengirim ucapan selamat, berita duka, ulem pernikahan berbentuk video berdurasi 1 menit, ajakan main, mengingatkan tugas akhir, deadline kerjaan, curhatan teman-teman, dan segala hiruk pikuknya. Banyak. Banyak sekali.

Sekarang aku tahu alasan mengapa aku dengan senag hati menyisihkan waktu menulis catatan membosankan ini: aku sedang membuang jauh-jauh kekhawatiran dan melampiasakan kebosanan. Meskipun alasan itu hanya 5 persen dari alasan asli. Jadi, maaf bagi yang telanjur membaca tulisan ini.

Selamat datang Februari !

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal