Bertamu ke Lawu #1



Sepanjang perjalanan menelusuri medan waktu, aku paham bahwa keberadaan kita bermula dari ketiadaan. Masa lalu memang telah berlalu, tapi ingatan membuatnya menemukan sesuatu yang baru untuk kembali diingat dan diramu sebagai bumbu masa depan—sekalipun berasal dari aneka macam kepedihan. Sebab petualangan mengajarkan kita untuk teguh berdiri; menopang hidup dan menemukan jati diri. Meskipun harus berkali-kali jatuh hingga hampir putus asa merenungi setiap detil kehidupan yang fana.


Hari itu, tertanggal 24 Desember, dengan keyakinan dan keinginan kuat, aku menapaki kaki gunung dengan menaruh harapan-harapan besar. Ada sesuatu yang aku temukan dan kubawa pulang. Aku tidak peduli seberapa kecil pengalaman yang akan aku dapatkan nantinya. Sebab yang terpenting adalah mencintai segala hal yang tuhan titipkan dan aku bersyukur dengan kesempatan ini.

Sebuah langkah. Kau ingat kapan kita beranjak dari tempat tidur dan mulai berjalan dengan tertatih-tatih? Ibubarangkali menjadi penyangga kita saat hampir terjatuh. Atau ayah yang senantiasa meluangkan waktu untuk sekadar mencari cara agar buah hatinya lekas berjalan. Dipanggilnya kita dari kejauhan dan dengan langkah kecil menggemaskan, tangan kita seakan memeluknya. Ya, mereka ayah juga ibu yang sedari lama mengharapkan kita dapat menghadapi setiap detil kehidupan dengan mandiri. Tapi kembali, orangtua memiliki karakter sendiri-sendiri.

Kebisingan kota sejenak kami tinggalkan. Gerimis menyapa dengan lembut seumpama embun. Menyentuh kulit dengan malu-malu. Saat itumengambil jalur Cetho, kami datang berenam. Membawa peralatan dan perlengkapan yang akan kami butuhkan untuk mendaki Gunung Lawu. Gunung ke sekian yang kurasa paling dekat jaraknya dengan tempat tinggalku. Namun baru pertama kalinya bagiku mencium aromanya yang kian menunjukkan ketentraman. Bagai menemukan persinggahan baru untuk mengusir dahaga terhadap apa-apa yang menyejukkan mata.

Aku salah satu perempuan dari rombongan kami. Satu di antaranya kakakku. Dua yang lain adalah adik kembarku yang masih duduk di bangku SMA. Mereka Karim, Fauzan, dan Fauzi. Aku bersyukur menjadi orang pertama yang mengenalkan mereka dengan gunung. Keindahan tersembunyi alam semesta yang dinginnya membuat mereka hampir kehilangan cara menggerakkan jemari untuk mendirikan tenda. Tapi aku suka menertawakan tingkah lucu mereka. Baiklah, dua lainnya lagi adalah Naufal dan Masykur. Sebut saja mereka adalah kawan baruku. Aku mengenalnya tidak lama setelah kami memutuskan untuk menyambung tali pertemanan atau barangkali lebih dari itu: persahabatan. Keduanya berasal dari pulau penyair: Madura dan sama-sama berkuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Madura. Sedikit saja kuceritakan mengapa aku sangat mengagumi pulau kecil ini. Yang paling ingin kukunjungi adalah Lombang (yang pernah ada dalam selarik puisiku). Sebuah pantai yang konon menyimpan keindahan. Aku melihatnya dari foto unggahan teman-temanku. Lihat saja, Madura dengan puisi-puisi Pakdhe Zawawi, Pakdhe Djamal D. Rahman, Kak Mahwi Air Tawar, yang bagiku aku mulai mengenal mereka sebelum mengetahui asal daerah ketiganya berasal. Ada lagi Selendang Sulaiman yang aku ketahui pandai membaca puisi dan pengagum sosok Rendra. Lambat laun, aku cukup banyak mengetahui penyair-penyair Madura; baik yang masih menghuni maupun yang singgah terutama di kota istimewa: Yogyakarta.

Masih menceritakan malam Natal yang dingin dengan angin malam di sebuah gunung. Aku mencintai keindahan dahan-dahan yang tumbuh di daerah pegunungan. Terlihat segar layaknya manusia yang sangat bersemangat menjalani kehidupan. Bukankah para pendaki juga memiliki satu jiwa semangat untuk terus berjalan mendaki medan terjal demi sebuah tujuan? Ya, diketinggian kita akan banyak melihat apa-apa yang belum pernah kita pikirkan. Satu hal saja mampu membawa kita kepada bermacam pemaknaan hidup yang layak diapresiasi. Tuhan menciptakan keindahan ini dan kemudian rasa syukur tak hentinya mengalir dari lubuk hati. Ketika langkah mencapai lelah, yang kita butuhkan hanyalah tunduk dan kepasrahan terhadap segala yang Tuhan gariskan.

Semakin tinggi justru semakin kecil. Pernah berada di ketinggian? Segala yang berada di bawah amatlah kecil seperti miniatur yang ditata dengan hati-hati. Di sana, bahkan orang-orang tak terlihat sedang melakukan apa. Yang nampak hanyalah gambaran dan bentuknya saja. Itupun hanya samar-samar. Ya, itulah kita. Di hadapan semesta, kita hanyalah makhluk kecil yang memiliki kebiasaan mengemis pada sang Maha Besar. Kita seonggok nyawa yang apabila dijatuhkan sebuah benda besar semacam longsor atau gempa, manusia bisa apa?

Aku membayangkan betapa benar jika kita hanya semut-semut kecil di rumah kita sendiri. Kita sangat miskin dan tidak ada apa-apanya di hadapan semesta raya yang begitu besarnya. Tapi di Bumi yang konon luasnya tak terkira, masih ada planet yang lebih besar. Sebut saja Jupiter. Patutkah kiranya manusia semacam kita berbangga? Seolah kitalah yang paling kaya dan sempurna di bandingkan penciptaan yang lain. Itulah gambaran kecil tentang ketinggian. Ada sesuatu yang perlu kita saksikan di bawah sana.
***

Selamat Datang. Pos Pendakian Lawu Via Ceto.

Gapura kecil dengan atap berselimut daun padi kering seperti menyambut setiap jiwa dari berbagai pelosok tanah air. Di pintu masuk ini, kami sempat mengabadikan foto dengan meminta bantuan sepasang sejoli yang mungkin selepas jalan-jalan di area Candi Ceto untuk berhenti sejenak. Mereka bersedia. Kami senang. Dengan muka polos masing-masing, kami percaya diri untuk sampai puncak dengan kompak dan selamat.

Kami melihat ketinggian nampak dekat dengan pandangan. Namun tidak semudah mata memandang, langkah justru beribu-ribu lebih lama menapak di tubuh Lawu yang membuat kami untuk menghentikan langkah untuk beristirahat sejenak demi melanjutkan misi. Alon-alo asal kelakon. Akhirnya batinku mengatakan ungkapan pepatah jawa agar tidak tergesa-gesa demi mencapai keamanan dan kenyamanan kami mengatur strategi, tenaga, juga mental yang harus terus dikondisikan.

Ya, tidak mudah berada di ketinggian yang berbeda situasi dengan kondisi di mana kita biasa tinggal. Di gunung, hawa berkali lipat lebih dingin, penuh tanaman liar, dan jalur daki yang terjar dan tinggi. Intinya, harus menyiapkan betul-betul jiwa dan raga seperti halnya memerangi nafsu untuk tidak kembali ke zona nyaman dalam beberapa hari. Sebab terkadang membayangkan tidur di kasurdi rumah sendiri memang jauh lebih nyaman dan aman. Hehe.

Pantang menyerah. Akhirnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan hingga sapai di pos satu, dua, dan tiga. Kami sempat mengambil air, istirahat, dan menuruti kehendak perut untuk berhenti dan istirahat sejenak. Megambil jeda untuk bernapas. Mengayuh kembali motivasi untuk gerak. Menghalau kemalasan dan jalan. Aku sempat khawatir dengan kondisi kedua adikku. Mereka banyak diam, walaupun jelas keberadaan mereka selalu di depanku. Langkah mereka begitu cepat. Kadang aku perlu mengingatkan mereka untuk berhenti sejenak. Sebab aku merasa perlu istirahat karena napas yang tersengal.

Alhamdulillah, mereka masih dikaruniai kekuatan untuk terus melanjutkan perjalanan. Sedangkan kakakku, selalu berada di dekatku. Meskipun beban carrier diserahkan kepadaku. Di dalamnya berisi tenda dan perlengkapannya, SB, dan beberapa alat yang tentu tidak ada makanan barang satu pun. Nanti kuceritakan bagaimana aku kebingungan menahan lapar. Ya, jangan tertawa dulu.

Sore hari, sekitar pukul 5. Aku kurang tahu pasti. Aku tidak peduli dengan waktu kala itu. Hanya bertanya jam berapa, lalu melupakannya. Kadang bersikap sepertiku juga diperlukan agar terbebas dari belenggu masa lalu. Nah. Lanjut, kami terlalu lama berhenti di pos 3, menurutku. Sebab perjalanan di pos 4 akan menghabiskan berjam-jam dan tidak mungkin akan sampai tepat waktu sesuai dugaanku. Tapi kami tetap berjalan. Tidak memikirkan bagaimana akhirnya ketika kami tiba-tiba kedinginan da lapar, sedangkan jalur lawu penuh dengan rawa dan jarang ada lahan kosong untuk mendirikan tenda.

Kebandelan kami yang tidak disengaja ini membawa dampak buruk bagi kami. Di jalan menuju pos 4, kami terpisah. Fauzan, Fauzi, Masykur berada di depan. Aku, kakakku dan Naufal berada jarak agakjauh di belakang. Tapi yang aku sesali, kenapa mereka terus jalan tanpa menunggu kami yang di belakang? Sehingga kami tidak perlu teriak dan menanggung khawatir sebab tidak ada sahutan ketika kami bertiga memanggil nama mereka. Oh tidak, aku dan Naufal yang berteriak. Kakakku terlalu pendiam untuk hal semacam ini. Melihatnya kuat berjalan hingga pos 4, aku sudah sangat bersyukur.

Fauzan, Fauzi, dan Masykur. Ketiga orang ini yang membuatku hampir putus asa dan ingin meneteskan air mata. Bukan karena cengeng. Bayangkan, aku kelaparan, sedangkan kami yang di belakang tidak membawa bekal apapun. Beka di bawa mereka yang duluan langkah di depan. Bagaimana tidak ingin menangis? Tambah lagi, suasana malam yang mencengangkan membuat kami ketakutan jika harus berpisah seperti ini. Jalur semakin gelap, pendaki jarang yang lewat. Jalan licin dan becek sebab hujan tidak henti-hentinya mengguyur Lawu kala itu. Sedangkan lagi, aku kelaparan. Biasanya aku dapat menahannya. Tapi kali ini beda. Aku merasa tubuhku lemas dan tidak berdaya lagi melangkahkan kaki.

Pikiranku tertuju ke kedua adikku. Di mana mereka? Aku ketakutan. Di gunung yang gelap, aku hanya ingin bersama-sama. Apalagi, mereka belum terbiasa dengan cuaca dingin dan bau gunung. Kekhawatiranku beranak pinak. Aku kebingungan harus melakukan apa. Teriak pun, mereka tak menjawab. Seketika aku ingin menyerah. Aku ingin berhenti saja. Aku merebahkan tubuh karena lelah, dan gelapnya membuatku kehilangan akal mencari tahu keberadaan adikku.

Tapi kembali semangat itu muncul. Meskipun berjalan dengan sangat hati-hati, kami tetap memutuskan sampai di pos 4. Berharap mereka bertiga menunggu di sana. Dengan terus meminta dan berdoa, aku tidak henti-hentinya memanjatkan harap. Bertemu mereka dan segera mendirikan tenda. Dari sini aku mengeri, bahkan sesederhana cita-cita, selalu membutuhkan perjuangan yang tidak cukup dikatakan sederhana. Semuanya butuh perjuangan yang nyata dan besar untuk mencapainya.

Apa yang membuatku bersemangat?
Apakah yang terjadi di pos 4?
Tunggu cerita selanjutnya di postingan setelah ini.
Hehe.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal