Sehelai Surat Buat Bapak

Dulu aku pernah cerita bukan, tentang seorang laki-laki yang tak lain adalah suami ibuk? Iya, yang akhirnya ceritaku kuhapus lagi karena aku tak pernah tega menjadi tersangka bagi kekurangan orang lain.

Malam ini aku merindukan seseorang. Sangat sangat merindukan sosok ayah yang dapat kujadikan figur sebagai laki-laki teladan. Sebagai tempat bersandar ketika anak gadisnya benar-benar membutuhkan sedikitnya jawaban atas permasalahan kecilnya.

Tapi tidak. Di mataku hanya ada lukisan wajah ibu dengan jemarinya yang lembut menyentuh pundakku, lenganku, atau kakiku yang masih memar oleh luka yang barangkali kubuat sendiri (karena kesalahanku maksudnya). Kata ibu, tubuhku berontak karena tak pernah diurus. Jarang makan, bahkan kelewat lupa makan ketika sibuk di luar rumah.

Pikiranku berputar. Aku membayangkan suatu ketika masa kecilku akan terulang kembali, apakah dengan jarak aku masih dapat sedekat nadi dengan bapak? Sebab aku tersadar, bahwa kepergian seseorang bukan melulu tentang beranjak pergi dari rumah atau menutup mata untuk selama-lamanya. Bukan!

Aku berduka. Mawar kuning kembang di halaman. Biasanya, jika hujan turun mereka malu-malu menampakkan rekahnya. Tapi tidak untuk hari yang senantiasa mengembuskan nafas hujan hampir seharian ini. Aku tahu, ada yang sungguh-sungguh berkabung di kedalaman jiwa seseorang. Bisa jadi itu aku. Tapi belum tentu. Aku tak yakin secepat ini.

Kau tahu, lebam di siku membuatku tidak tahan menuliskan aksara paling menusuk ini. Sungguh melebihi patah hati. Aku tak tahu, di perayaan sepi yang kesekian kali ini, aku merasa menjadi orang yang paling khusyuk meski tak sungguh-sungguh merayakannya. Segala wujud kesepian menjelma menjadi selimut dan menutupi tubuhku. Aku sangat menggigil saat sebelum dan ketika mengetikkan huruf terakhir tulisanku. Jemariku bergetar. Sungguh.

Bapak, di mana engkau sekarang? Mengapa dengan tega kau biarkan anakmu mengemis pada Tuhan berkali-kali untuk sekadar bertanya kapan kita akan pergi bersama? Di kejauhan, aku seperti seorang perantau yang gagal pulang. Kau tahu? Sedekat jarak kita, aku mengalami hal yang sama. Menjadi asing dalam kepenatan isi kepalaku yang membuatku merasakan kesepian dalam bising kota tempatku bekerja. Apakah kau dengar kebisingan ini, wahai ayah kakakku?

Ini rumah milik siapa? Aku tak benar-benar yakin mengapa atapnya begitu rapuh dan dindingnya bergetak ketika punggungku bersandar? Aku paham bahwa bapak sangat jago dalam membangun rumah, memperbaiki perabot yang rusak, atau membuat sendiri peralatan semacam almari, meja dan rak bukuku. Bapak ahli membuat kagum diriku dengan kepandaiannya. Tapi mengapa semuanya tak lagi sama?

Bapak, izinkan aku menaruh kepalakku yang lebih rapuh dari pundakmu. Sebab aku tidak mungkin mampu menjadikan tubuhku yang ringkih ini menanggunya sendirian. Seandainya kau datang saat ini juga, ketika muntahan aksaraku belum sampai membasahi papan keyoard atau tangis mendadak pecah, datanglah kemari. Di kamar yang dindingnya kau susun dengan hati-hati. Masih dengan meja kecil tempat buku-buku di mana aku pernah memintamu membuatkannya untukku, dulu. Iya, dulu ketika kau masih suka tersenyum menghadapi tingkahku yang sealu dipenuhi keburukan ini.

Bapak sungguh kau tak ingin datang? Baiklah, aku akan menaruh kepalaku ke mana saja yang aku mau. Barangkali bantal lebih mampu menampung gundah gulanaku. Aku tidak akan berharap besar jika lenganku akan kembali kau genggam atau telapakmu menarikku perlahan, menuntun, dan mendekapku dengan kasih sayang. Aku menimbun harapan itu. Sebab aku tahu bagaiamana cerita ibu. Jadi diamlah di depan pintu dan biarkan ibu masuk dan memelukku.

Aku merindukan ibu, barangkali. Bukan bapak. Jika segala perasaanku mampu kutolak, aku memilih sendiri saja. Tanpa terlibat hidup dengan siapapun. Sebab hati dan pikiran masih memerlukan imbalan. Kasih sayang yang butuh dibalas, cinta yang butuh balasan, air mata yang butuh tampungan, beban yang butuh sandaran, bahkan jabat tangan yang butuh dua telapak untuk saling mengikat. Segalanya butuh jawaban dan aku takut tak menemu jawaban di penjuru manapun perihal keberadaanmu, bapak.

Mengapa sebegitu uniknya dirimu hingga ibu memiliki hobi baru; bercerita pagi hingga malam perilah keluh kesahnya tentang engkau, bapak? Ibu butuh sosok penenang yang menuntun dirinya mengarungi kehidupan. Mengapa kau biarkan ia berlayar sendirian? Awan mendung dan badai hujan turun. Ibu dengan kedua lengannya memeluk erat kami anak-anaknya. Kau di mana?

Seumpama sehelai daun jatuh dan tak sempat menyentuh tanah, aku ingin jadi daun kering itu; jatuh sekaligus tak menemu rumah. Agar segala milik semesta menjadi rumah dan akan kualamatkan cintaku lebih luas bagi siapa saja. Dan bukan tentangmu saja.

Terima kasih, bapak. Aku yakin kau mencintaiku.
Doaku selalu untukmu.




Senja.
Yang ingin kau baca.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Muhasabah

Contoh Teks Master of Ceremony Acara Formal