Bertamu ke Lawu #2
Pembosan itu telah enyah; kuncilah pintu rumah; tertawalah semua dalam
persatuan ketika pikiran bosan. Mengutip Abdul Hadi W.M. dalam Semesta Maulana Rumi hal. 192.
Aku tidak peduli kutipan di atas logis atau terlewat tidak ada sangkut
pautnya dengan perjalanan kami. Tapi ketika akan memutuskan melanjutkan tulisan
ini, digenggamanku sedang kubaca buku ini. Menarik! Kuncilah pintu rumah.
Yeah, kita pergi meninggalkan tempat tinggal menuju rumah yang lebih luas:
semesta!
Tertawalah semua dalam persatuan. Untung, aku tidak jadi menangis kala itu. Hanya di batin saja.
Sebentar saja. Percayalah padaku. Aku memang cengeng untuk hal-hal tertentu, tapi
tidak untuk sebuah rasa lapar. Meskipun kau tahu, bercabang isi kepalaku
ditambah dengan suasana hati yang seakan meruntuhkan gejolak semangatku, aku
mendayung. Mendayung lagi. Mendayung tanpa henti. Di lautan yang lebih luas
dari keluasan semesta. Kehidupan ini, aku harus menuntaskan semuanya dan segera
kembali !
Di hadapanku, ada bermacam toko buku yang gelap. Tempat biasa aku
membaca beragam buku cerita hingga bualan para peneliti di buku-buku kuno yang
nangkring di atas meja. Jenuh, sebab lampu tak juga menyala. Mungkin seperti
itulah gambaran perasaan dan pikiranku berkat hilang jejak dengan ketiga rekan
mendaki malam itu. Ya, gelap bukan main. Jelas, disempurnakan dengan
pandanganku yang kabur sebab mataku yang rabun. Bagi yang senasib denganku,
tentu sebuah tantangan berada di kegelapan dengan cahaya yang minim. Kacamata
seperti bagian dari organ tubuh yang tidak dapat dipisahkan lagi.
Barangkali membayangkan Indomart, Alfamart, atau Gramedia, atau bahkan
mall besar yang nyala cahayanya lebih terang dengan lampu belajarku akan jauh
terasa nyaman. Tapi ini bayanganku saja. Di malam setelah waktu Isya tiba—di
rumah, aku biasa menghabiskan waktu menulis, membaca, atau melukis. Tapi nihil
untuk hari ini. Kegiatan itu harus kuliburkan untuk sementara waktu. Di gunung ini,
aku hanya dapat berharap keselamatan dan kekuatan hingga kembali menampakkan
kaki di parkiran. Eh bukan. Maksudnya, di tempat kami tinggal (lagi).
Bagi seorang pemula sepertiku, Gunung Lawu memang terasa lebih
menantang dari gunung yang sebelumnya kudaki: Merbabu. Mungkin karena kondisi cuaca
yang berbeda dan medan mendaki yang memang lebih curam. Meskipun hanya berbeda
jarak dua ratusan mdpl. Ya, aku dulu mendaki di Merbabu tanggal 23-24 Juni
2018. Dari segi musim, dapat digolongkan ke dalam musim kemarau. Sedangkan ketika
di Lawu, air hujan tidak pernah berhenti turun. Sesekali gerimis, bahkan
rintiknya semakin banyak menghujani setiap helai dedaunan yang akhirnya hanya
pasrah jatuh ke tanah.
Aku tertunduk. Lesu. Seperti mekar bunga yang telah layu.
Ketidakberdayaan memelukku sangat erat sedangkan malam semakin pekat. Aku
berusaha sabar dan kembali mengatur strategi menghadapi kondisi pikiran dan
hati yang terasa sedang berkelahi di dalam keriuhan jiwa. Ambisiku redup. Tapi
belum mati. Ada nyala kecil yang harus kukobarkan kembali. Aku menghentak
sendiri keegoisanku, rasa lelah, juga kekuatan yang semakin kehabisan
daya.
Keluhan dan perkara manusia yang jatuh bangun mengalamatkan
kebingungan. Di pos tiga menuju pos empat, hanya ada keriuhan dada yang telah kumuntahkan
menjadi berpenggal-penggal diksi. Bagaimana tidak? Setiap bertemu rombongan
yang terlihat sorot senternya dari kejauhan, kami merasa menemukan jalan keluar
untuk sebuah masalah yang rumit. Hanya untuk bertanya, “pos empat apakah
masih jauh?, berapa jam lagi kami sampai di sana?, apakah bertemu dengan ketiga
laki-laki yang bla bla bla?” Kami berhasil mendapatkan satu rasa lagi yang
membuat hati kami berguncang: gusar. Mereka menjawab dengan jawaban yang tidak
kami inginkan; “Masih jauh. Butuh 20 sampai 25 menitan. Oh kami tidak
bertemu siapapun di jalan.” Atau hanya mengingatkan kami untuk hati-hati
karena jalan licin. Baiklah. Baik. Ini membuat kami sangat ‘lega’.
Hinga kami jalan lagi menuruti apa yang dikatakan pendaki yang sempat
berpapasan dengan kami. Ya, 20 hingga 25 menit. Ada pula yang mengatakan 25
sampai 25 menit. Ada lagi yang mengatakan 20 menitan sampai. Hingga kami
menemukan rombongan lain setelah berjalan 20 menitan, kami bertanya hal yang
sama perihal jarak tempuh menuju pos empat. Tapi mereka bilang, 20 sampai 25
menit sampai, hingga terakir kami bertemu pendaki lain yang turun, dan jawaban
masih sama. Betapa tidak rapuh hati kami mendengar kenyataan hidup yang
sedemikian menyebalkan? Aku ingin terbang. Sungguh. Punya dua sayap, lalu sampai
di puncak dan menemukan mereka.
Tunggu, aku merasa membutuhkan sesuatu untuk dimakan. Anggap saya
sesuatu yang dapat mengisi kekosongan mulutku, aku memutuskan untuk meminta
madu yang sempat kuberikan ke kakakku. Dia yang membawanya dan aku tak
menyangka, dia pula yang menghabiskan. Eh, bukan. Maksudku dengan adik-adikku.
Aku tidak dikasih sisa satu pun. Baiklah. Untung aku orangnya nggak
pendendam. Awas aja! Makanya aku ditawarin Naufal permen dapur alias gula
jawa. Aku bersyukur, meskipun ia membawanya tanpa dipotong dahulu menjadi
bagian-bagian kecil berukuran dadu agar mudah dinikmati. Konyol memang. Aku
harus menggigitnya dan behasil. Bagianku, aku santap sendiri dan tiba-tiba ada
rasa pahit yang menjalar menguasai lidahku. Kupikir aku sakit. Tapi apakah
sakit semendadak ini, batinku. Aku hanya berhipotesis. Menduga-duga perihal apa
yang terjadi dengan lidahku. Kupikir, ini gula jawa versi baru dengan sensasi
pahit rasa jamu. Kreatif sekali.
Semakin aku membatin, hanya membuatku berprasangka buruk dengan si
gula jawa. Maka kuputuskan bertanya kepada pemiliknya. Gila! Sontak aku kaget
ketika Naufal bilang dan membenarkan kondisi lidahku saat merasakan gulanya
berubah rasa. Benar saja, ada zat yang membuat gula menjadi terasa pahit
bagaikan empedu (ah, terlalu berlebihan). Meskipun aku tahu, sepahit pahitnya
gula, ‘dirinya’ tidak mungkin merasa sakit hati dan berubah rasa. Ternyata,
minyak wanginya Naufal yang bikin ulah. Wadahnya sedikit tumpah. Barangkali si
minyak wangi berontak dan tidak tahan dengan dingin dan gigil. Payah! Sungguh
menyebalkan! Meskipun aku tak peduli lagi dan tetap menghabiskan sisa gula jawa
yang masih mengganjal di lidahku. Ini tidak mungkin membuatku mati. Jika iya,
tanggung jawab sepenuhnya di pihak pemilik gula jawa yang ditumpahi minyak
wangi. Setidaknya, baru pertama kali ini aku merasakan minyak wangi. Meskipun
aromanya banyak dikagumi karena harum, ada sisi pahit si minyak yang jarang
orang ketahui. Nah loh!
***
Tinggal beberapa langkah lagi, kami menemukan nyala lampu dan beberapa
tenda yang didirikan. Ada suara berisik pendaki yang sedang berbincang. Kami
yakin pos empat ada di depan mata. Aku berlari mendahului Naufal dan kakakku.
Sambil memanggil nama ketiga rekanku, aku terus melangkah hingga tepat di pos
empat. Ya, tidak salah lagi ketika kupastikan dengan bertanya pada salah
seorang yang sedang berada di depan tendanya.
Aku senang. Ditambah suara sahutan dari Fauzan dan Fauzi, yang dengan
kedinginan mereka menghampiriku. Gelap. Tapi hatiku terang. Ada secercah cahaya
menerangi pikiranku. Aku lega sekarang. Kembali bertemu mereka dan berharap
segera istirahat dan membangun tenda. Tapi lagi-lagi kerumitan mencari lahan
datar memang membuat kami harus menahan gigil menjelang pergantian hari. Ya,
waktu terus berjalan hingga hampir jam sebelas malam. Aku tak tahu pasti
bagaimana malamku kala itu.
Akhirnya, kami berjalan ke atas sedikit lagi. Dengan membawa
perlengkapan yang basah karena hujan dan embun, serta pakaian yang ikut basah,
kami tetap harus bertahan menahan dingin. Hujan masih mengasilkan gerimis
seperti suara yang jatuh menjadi nyanyian bagi dahan-dahan. Kami pun
kedinginan. Tapi, setelah melihat ada semacam pertigaan jalan, kami memutus
jalan tersebut dengan mendirikan tenda di sana. Meskipun tidak terlalu luas, sebab
aku yakin tidak akan ada tempat lain untuk segera merebahkan tubuh dari lelah.
Akhirnya, tanpa peduli kami mengeluarkan tenda dan menyambutnya tanpa aba-aba. Sendainya
aku sempat memotretnya, aku yakin kau akan menertawai kami. Dalam tenda yang
sempit dan reyot, kami tidur berlima. Aku di bawah kaki mereka tanpa dengan
tubuh menekuk karena sempit. Bersyukur, masih dapat tidur nyenyak meski sempat
terbangun berkali-kali.
Ya, di tengah gulita dan rimbun pepohonan saat tengah malam, aku
terbangun. Kwluar tenda dan melihat sekitar masih digenangi hujan. Dingin
membuatku harus melakukan kebiasaan bangun tengah malam. Jika tidak, aku yakin
perutku akan sakit. Aku keluar tenda dengan melangkahi dua adikku. Sebelumnya
aku takut, tapi aku yakin di bawah masih ada tenda yang lain. Aku sendirian
mencari celah. Baik, sontak aku dikagetkan dengan tiga pendaki yang akan
melewati tenda kami menuju puncak. Mereka lewat jalan kecil yang membuat aku
tidak menyangka akan ada orang lewat di jalan ini. Kupersilakan mereka untuk
lewat dan meminta maaf karena memotong jalan. Setelah usai, aku kembali ke
tenda.
Gerimis masih terus menjadi melodi bagi Lawu di musim hujan yang
syahdu oleh rindu. Aku yakin, di rumah, ibu pasti menunggu. Ketika pagi tiba,
awan tak benar-benar bercahaya. Sebab matahari enggan menampakkan diri dan
tertutup mendung. Riuh gerimis membuat kami kesusahan membuat sarapan, apalagi
berkemas. Tenda kami basah, begitu pula dengan carrier dan perlengkapan
lainnya. Maka, dengan berat hati kami memilih tidak melanjutkan pendakian dan
bersiap turun. Pertimbangan ini kami ambil disebabkan pula kondisi adikku yang
sempat panas di sekujur tubuhnya tadi malam. Dia mengaku pusing dan aku sempat
kebingungan mencari cara menyembuhkannya. Maka setelah mendidihkan air di dalam
tenda, aku meminta mereka meminumnya dan segera tidur. Mereka menuruti perkataanku.
Kami benar-benar dihalau suasana yang membuat kami meridukan rumah.
Tanah basah, dedaunan kuyub, pepohonan dan ranting-ranting yang masih menyimpan
tetes hujan membuat kami seperti berada di sebuah musim hujan yang tidak akrab
lagi dengan daratan. Aku merasa benar-benar dibuatnya basah. Dingin menyentuh
kulit tapi berbeda dengan cuaca malam, yang tentu lebih dingin daripada pagi
menjelang siang saat kami turun menuju pos demi pos. Bertemu orang-orang dan
sedikit bercakap—basabasi yang menyenangkan.
Bagaimana kita turun dan salah salah satu dari kami harus telanjang
kaki?
Bagaimana kami akhirnya ngemil Energen?
Baiklah, lanjut part 3 ya! Hehehe.
Komentar
Posting Komentar