Semuanya Telah Berubah
Lama ngga ngeblog, rasanya kangen juga. Dulu, blog seperti
buku harian yang menceritakan pengalaman selama berkunjung ke suatu tempat,
menemukan momen istimewa, atau sekadar meracau. Sekarang semuanya berubah. Wajar,
dahulu tentu akan berbeda dengan masa sekarang. Tapi, sepandai-pandainya, kita
harus tetap bersyukur dengan apa saja yang tuhan karuniakan.
Banyak kisah yang tidak tertulis di sini. Pengalaman hidup
hanya lewat seperti hembus angin. Kebahagian-kebahagian yang lewat juga seolah
hanya cukup untuk menambal kekhawatiran dan kesedihan. Rasanya semuanya akan
sama dan biasa saja. Meski sebelumnya, rasa penasaran itu tentu ada. Baiklah, saya
hanya akan meracau di sini. Membicarakan hidup saya sendiri. Tentang saya
sebagai seorang perempuan, kakak, pendidik barangkali, dan sebagai orang yang
masih belajar arti kehidupan.
Dulu sekali, saya pernah berpikir untuk dapat meraih
cita-citaku dengan tetap menyembunyikan siapa aku sebenarnya. Bahkan orang lain
tidak perlu tahu bagaimana wujud asliku, wajahku, perilakuku, dan segala
tentang aku. Semuanya akan tersimpan rapat dan cuku karya-karya saja yang
berbicara, eksis, dan dibaca banyak orang. Tapi, apa yang terjadi sekarang?
Kamu mungkin mengenalku sebagai seseorang yang mungkin saja
bertemu di jalan, di kampus (sebagai kakak tingkat, pejuang beasiswa, atau di
acara diskusi kecil), di warung makan, di perlombaan, atau kenal lewat
perantara teman kita. Tidak menjadi mustadil jika kita memang sengaja
dipertemukan oleh waktu, jarak, maupun semesta—yang luasnya—bisa jadi hanya
sejarak pandangan mata kita. Orang jauh bisa menjadi dekat, perbedaan mampu
menyatukan, bertemu orang baru dengan pemikiran yang tidak pernah kita kenal
pun, bisa menjadi ajang kita untuk terus belajar. Setiap waktu akan menjadi
arena atau jalan untuk menapak jejak meskipun penuh lelah dan keringat. Belum lagi,
masalah muncul seiring mengenal dan dikenal lebih banyak orang.
Beberapa hari ini, saya merasa sangat lelah. Lelah membuat
kepuraa-puraan yang harus saya tampakkan di media sosial. Kenyataan hidup saya
lebih menantang ketimbang komentar-komentar pedas yang orang lain sengaja
tujukan kepada saya. Tapi saya senang, masih ada yang peduli dengan apa yang
saya perbuat dan lakukan. Baik di depan atau di belakang layar. Sebab di sini,
kadang saya merasa butuh ‘diperhatikan’. Benar, saya senang diperhatikan meski
akan sesakit dan sejatuh apapun dari pada didiamkan. Sebab yang saya temui
akhir-akhir ini, hanya seolah baik-baik saja—lalu saya sepakat jika yang nampak
tidak mampu menggambarkan yang tidak nampak. Serupa hati manusia, misalnya. Orang-orang
di sekitar tidak akan mengetahui yang sejujurnya tentang kita: sedang sedih
atau bahagia. Atau lebih parahnya, berpura-pura merasa baik-baik saja.
Tuhan menganugerahkan air mata, saya yakin akan sangat
berguna bagi manusia. Benar saja. Saya pun selalu butuh mengalirkannya, tanpa
perantara apa-apa, kadang hati pun turut merasakan getirnya mengalir. Atau tangis
bahagia yang membuat bibir ini tersenyum. Banyak cara manusia sembunyi dan
menyembunyikan semuanya.
Jangan anggap saya bersedih sebab menuliskan hal ini. Media
sosial, interaksi, jalinan, keramahtamahan, sopan santun, perselisihan, dan
sebagainya selalu kita temui dan tidak pernah alpa mewarnai hidup kita. Seperti
ini, misalnya: beberapa bulan lalu, saya sempat menuliskan kegelisahan dengan orang
yang saya sayang: bapak. Akhir-akhir ini, saya merasa bapak lebih baik. Tapi tidak
semudah membalikkan telapak tangan, ada yang menerimanya dengan catatan seolah
semua telah telambat, ada pula yang memilih diam dan seakan-akan waspada jika
kejadian yang tidak diharapkan (seperti dulu) terulang lagi. Maka diterima atau
tidak, berubah atau tidak, semuanya tidak akan bisa sama. Waktu berotasi, bumi
berotasi dan tidak ada yang benar-benar diam. Dan saya pun berubah.
Sekarang saya bukan hanya berpikir bagaimana dapat menjadi
sukses seperti gambaran kebanyakan orang. Berpndidikan tinggi, mendapatkan
gelar, mapan secara ekonomi, memiliki pasangan, dan tentu penghasilan yang
melimpah. Menyenangkan memang, hidup normal seperti umumnya manusia lainnya. Menikmati
hidup sesuai takarannya dan selalu berasa di zonanya sendiri. Jalan yang satu—yang
ditempuhnya sendiri mengikuti alur laju yang biasanya orang-orang lalui.
Saya tidak akan menyalahkan waktu, takdir, lebih-lebih tuhan
yang membawa saya terbang sejauh ini. Justru saya bersyukur tanpa harus
membandingkan dengan kehidupan orang lain. Orang yang terlihat luarnya merasa
susah dan kepayahan. Padahal, saya yakin dan berdoa pasti hatinya bahagia. Ya,
tidak ada yang bisa membaca hatiku, juga hatimu. Itulah guna hati, kepekaan,
isyarat, aba-aba, dan kawanannya sehingga kita perlu mempelajarinya. Selalu dan
tidak pernah kenal jeda.
Saya pikir, saya adalah orang yang berbeda dan tidak mungkin
ada yang menyamai. Eh tapi saya bukan tuhan ya. Sebab kadang saya merasa tidak
diterima, disingkirkan, sedangkan saya hanya menjalani naluri saya sebagai
seorang insane beserta dengan potensi, keinginan, dan harapan yang mungkin juga
berbeda-beda dengan orang lain. Saya berpuisi sejak lama. Melukis menjadi hobi
pertama sejak bersekolah TK. Bahkan menari, juga hobi baru yang gagal
dikembangkan karena tuntutan jika muslimah tidak boleh berlenggat-lenggot di
hadapan banyak orang dan dipertontonkan. Saya menerima. Saya menuruti apa yang
lingkungan saya mau.
Dulu, yang saya tahu hanya tunduk sesuai norma, sesuai
kebiasaan, sesuai apa yang terbaik menurut orang-orang. Sialnya, kadang saya
tidak sadar bahwa pertanyaan “mengapa” layak diajukan. Sehingga saya tahu apa
yang saya lakukan dan katakan. Kebodohan saya inilah yang membuat saya merasa
gagal menjadi manusia yang dibekali akal dan pikiran. Tapi, sejujurnya tidak
semengenaskan ini sih. Saya hanya melebih-lebihkan. Gagal maksud saya adalah
terlambat bertanya dan memilih zona aman dengan menjadi seorang penurut. Itu hal
baik, tapi harus smart. Seharusnya. Atau memang, pintar dan bodoh sama saja?
Semuanya telah berubah. Aku telah berubah. Kamu pun
telah berubah.
Komentar
Posting Komentar